Minggu, 28 Juni 2009

Kawin Kontrak Rendahkan Martabat Perempuan

PONTIANAK—Kawin kontrak atau mut’ah kian marak terjadi antara lelaki Timur Tengah dengan perempuan lokal. Di tanah Jawa, kawasan wisata Puncak, Bogor selalu menjadi tempat terfavorit untuk melangsungkan kawin kontrak. Ironisnya semua itu dilakukan atas dasar alasan ekonomi, bukan atas dasar tujuan dari pernikahan yang sesungguhnya. Persoalan mulai terasa semakin rumit manakala perkawinan tersebut menghasilkan keturunan.

Dalam perspektif dunia Islam, kawin kontrak jelas tidak di benarkan. Kawin kontrak bertentangan dengan tujuan persyari’atan akad nikah, yakni membangun ikatan keluarga yang langgeng (mitsaqan ghalidzha) yang dipenuhi dengan sinar kedamaian (sakinah), saling cinta (mawaddah), dan saling kasih-sayang (rahmah).

Selain berseberangan dengan ajaran keislaman, dimana masyoritas umat Islam di Indonesia penganut paham Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah), pelaksanaan kawin kontrak juga bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam yang sifatnya mengikat. Bagimana tanggapan organisasi keislaman menyikapi persoalan ini?

Majelis Ulama Indonesia (MUI) ternyata tidak tinggal diam. Dalam fatwanya, MUI telah mengharamkan terjadinya kawin kontrak atau mut’ah. Dalilnya adalah Quran Surah Al Mukminun (23) ayat 5-6, yakni “Dan (diantara sifat mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya kecuali terhadap istri atau jariah mereka maka sesungguhnya mereka (dalam hal ini) tidak tercela”.

Ayat di atas menurut Ketua MUI Kalbar, dr H Achmad Zaim M.Kes, menjelaskan hubungan kelamin hanya di perbolehkan kepada wanita yang telah bestatus istri atau jariah yang sah. “Wanita yang diambil sebagai jalan mut’ah tidak berfungsi sebagai jariah. Akad mut’ah bukan akad nikah,” katanya kepada Pontianak Post, Kamis (14/5) kemarin.

Beberapa alasan yang mendasari pemikiran itu adalah mut’ah tidak saling mewarisi, sementara akad nikah menjadi penyebab memperoleh harta warisan; iddah mut’ah tidak seperti iddah nikah biasa; dengan akad nikah menjadi kuranglah hak seseorang dalam hubungan dengan kebolehan beristri empat, sedangkan mut’ah tidaklah demikian; dengan melakukan mut’ah, seseorang tidak dianggap menjadi muhsan, karena wanita yang diambil dengan jalan mut’ah tidak berfungsi sebagai istri. Mut’ah tidak menjadikan status wanita sebagai istri dan tidak pula berstatus jariah.

Persoalan mut’ah ini di diskusikan MUI Kalbar dengan Ayatullah Syah Yusuf Ghomii, seorang ahli fiqih pada pusat kanjian Islam di Ghom, Iran, September 2005. Kepada rombongan MUI Kalbar, mantan hakim agung di Iran itu menegaskan meskipun masyarakat Islam di Iran berpaham Syiah, namun mereka tidak sepakat dengan praktik poligami, terlebih dilakukan tanpa persetujuan istri.

Pandangan yang sama juga di sampaikan oleh Pimpinan DPW Muhammadiyah Kalimantan Barat, Drs Pabali Musa MAg. Dikatakan, Islam tidak membenarkan kawin kontrak atau mut’ah. Di jaman Rasullullah SAW, ketika Islam mulai berkembang, mut’ah memang pernah ada, tapi kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim:

“yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat”.

Kenapa dibolehkan? Karena ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat yang ikut perang merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah memberikan keringanan (rukhshah) bagi para sahabat ketika itu.

Jika di kompirasikan dengan keadaan sekarang, maka mut’ah jelas tidak lagi sesuai. Pasalnya, pelaku mut’ah yang sebagian beragama Islam asal Timur Tengah telah nyata-nyata melakukan mut’ah dengan dalil senang-senang atau berwisata. “Mut’ah yang mereka lakukan hanya mementingkan cinta sesaat dan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Mut’ah bisa di katagorikan sebagai praktik perdagangan orang yang terselubung,” ungkap Pabali.

Apa pandangan pakar hukum terhadap kawin kontrak? H Rusdi Said SH MH, pakar hukum dari Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura mengaku kurang sependapat dengan adanya kawin kontrak atau mut’ah. Menurutnya, kawin kontrak telah menodai aturan hukum positif. Demi memuaskan nafsu syahwat, para pelaku kawin kontrak terkadang menghalalkan secara cara, termasuk memalsukan dokumen domisili, status perkawinan, serta keterangan kewarganegaraan yang dikeluarkan Kedutaan Besar Negara yang bersangkutan.

Rusdi juga menegarai, maraknya kawin kontrak yang terjadi antara pria asing dengan perempuan local terjadi karena ada campur tangan pihak ketiga (calo, red), yang notebene adalah warga Indonesia sendiri. “Kedengarannya memang amat miris. Disaat Negara kita getol mengumandangkan anti perdanganan orang di negeri orang, ternyata praktik tercela itu dilakukan oleh anak negeri sendiri,” ungkapnya sedih.

Untuk menghindari terjadinya efek ikutan dari kawin kontrak, Rusdi meminta kepada aparat penegak hukum untuk bisa bertindak tegas. Bila perlu, pelaku maupun calo kawin kontrak di ganjar dengan hukuman yang berat. Bagaimana caranya? Lakukan razia pada lokasi-lokasi yang disinyalir kuat sebagai sarang pelaksanaan kawin kontrak. Jika petugas mendapati ada pasutri (pasangan suami istri) yang tidak bisa menunjukkan Surat Nikah serta KTP yang berstatus menikah dan memiliki alamat yang berbeda, maka mereka layak di curigai sebagai pasangan kawin kontrak. “Semua itu hanya bisa dilakukan jika semua pihak menunjukkan etiket yang baik,” imbuh Rusdi.(go)

Tidak ada komentar: