Rabu, 28 Maret 2012

Bima Suci

Lakon ini amat digemari di kalangan kasepuhan karena mengandung permenungan mendalam tentang asal dan tujuan hidup manusia (sangkan paraning dumadi) dan menjawab kerinduan hidup dalam perjalanan rohani orang jawa untuk bersatu dengan Tuhan (manunggaling kawulo Gusti; curiga manjing warangko). Begitu disenangi dan diulang-ulang sebagai bahan permenungan, maka kisah ini memilik variasi-variasi bahkan menyimpang dari lakon awalnya, tergantung siapa yang menyalin kisah ini, siapa dalang yang memainkan lakon dalam pertunjukan wayang. Poerbotjaroko, tahun 1940 menyelidiki variasi-variasi naskah dan menemukan kurang lebih 29 buah naskah Bima Suci. 19 buah naskah tersimpan di Universitas Leiden Belanda. Dalam disertasinya untuk memperoleh gelar doctor tahun 1930, Prijohoetomo membandingkan dua kisah : Nawaruci dan Dewaruci. Kitab Nawaruci yang juga dikenal dengan nama Sang Hyang Tat-twajnana (kitab tentang hakekat hidup) ditulis oleh Empu Siwamurti (th. 1950-an) dengann latar belakang budaya Kerajaan Majapahit. Pada jaman itu mistik Islam mulai masuk dalam budaya Jawa, dan kisah Nawaruci digubah menjadi lakon Dewaruci (dengan dimasuki unsur-unsur Islam) dan dipentaskan dalam dunia perwayangan. Alur ceritera Dewaruci/Bima Suci dipengaruhi oleh kisah Markandeya dari India. Di kisahkan Markandeya mengarungi kedalam samudera dan berjumpa dengan anak kecil. Anak kecil itu bernama Narayana, jelmaan dari Dewa Wisnu. Narayana meminta Markandeya masuk dalam tubuhnya untuk menyaksikan seluruh isi alam semesta. Dalam kisah ini tokoh Bima tidak ada. Dari berbagai kisah Bima Suci yang bervariatif itu dapat ditemukan benang merahnya. Alkisah, Bima atas perintah gurunya (Durno) mencari “Banyu Perwitasari”. Dalam perjalanan mencari air kehidupan, Bima menuju hutan Tikbrasara (berarti landeping cipta) yang terletak di gunung ReksaMuka (yang artinya Mata). Di hutan ini Bima dihadang oleh dua raksasa Rukmuka (berarti kamukten) dan Rukmokala (yang berarti Kamulyan). Bima mampu mengalahkan ke dua raksasa itu. Untuk memperoleh “inti sari pengetahuan sejati” (Perwitasari), Bima harus melalui samadi (yang dilambang dengan hutan Tibaksara dan gunung Reksomuka =Mata/pemahaman yang mendalam). Bima tidak bisa mencapai titik penyatuan mata batin dalam samadi kalau tidak ‘membunuh’ pikiran tentang kamukten dan kamulyan. Kisah selanjutnya, Bima tahu bahwa air ‘perwitasari’ tidak terletak di hutan Tikbrasara yang ada di gunung Reksamuka, tetapi di dasar samudera. Maka perjalanan dilanjutkan ke dasar samudra (samudra pangaksama=pengampunan). Dalam samudra bertarung dengan naga (symbol kejahatan/keburukan) dan Bima berhasil membunuhnya. Untuk memperoleh air perwitasari tidak cukup dengan membuang kamukten dan kamulyan tetapi harus juga berani mengampuni kepada orang-orang yang bersalah dan membunuh kejahatan yang ada dalam dirinya (masuk samudra pengampunan dan membunuh naga kejahatan). Setelah melampaui berbagai rintangan, akhirnya Bima ketemu Dewaruci, yang persis dengan dirinya namun dalam ukuran kecil. Bima masuk ke badan Dewaruci melalui telinga kanan dan di dalam diri Dewaruci, Bima melihat seluruh isi semesta alam. Bima dengan samadi secara benar : menutup mata, mengatur nafas, konsentrasi dengan pikiran dan perasaan yang bersih (Cipta Hening). Dalam samadi ini, Bima menerima Terang atau wahyu sejati dalam samadi: “manunggaling kawula gusti”, kesatuan manusia dengan Tuhan. Dalam jati diri terdalam, manusia bersatu dengan Tuhan. Kemanunggalan ini yang menjadikan manusia mampu melihat hidup yang sejati. Dalam istilah kejawen: Mati sakjroning urip, urip sakjroning mati. Inilah perjalanan rohani untuk masuk dalam “samudera menanging kalbu”.

Tidak ada komentar: