Rabu, 25 Juni 2008

Makam Juang Mandor, Catatan Sejarah Yang Terlupakan

Masyarakat Kalimantan Barat memiliki catatan tersendiri terhadap masa pendudukan Jepang. Empat puluh tahun yang silam, tepatnya 28 Juni 1944, ratusan bahkan mungkin puluhan ribu rakyat dibunuh secara kejam oleh tentara Dai Nippon. Pembantaian massal ini dilakukan di tanah Mandor. Sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang telah gugur, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat membangun sebuah monument, yang kemudian diberi nama Makam Juang Mandor. Bagaimana nasibnya kini?
Catatan Pringgo—Mandor

ASRI dan nyaman. Dua kata itu mungkin dirasa tepat untuk menggambarkan suasa di kompleks Makam Juang Mandor. Rerumputan hijau yang menghampar terlihat rapi seperti habis di pangkas. Begitu pula dengan tanaman hias. Dari kejauhan, enam orang lelaki paruh baya terlihat asyik membersihkan taman Kantor Pelayanan Informasi Pariwisata Mandor. Meski kondisinya sudah tidak lagi tampak selayaknya kantor, namun lokasi tersebut tetap mendapat perhatian khusus oleh mereka bertiga.
Arif (50), salah seorang dari pekerja, mengungkapkan kegiatan bersih-bersih ini telah lima hari yang lalu dimulai. Dia bersama lima rekannya yang lain sudah membersihkan seluruh kompleks Makam Juang Mandor. Tak hanya taman, ke 10 makam juga turut dibersihkan. Jarak antara satu makam dengan makam yang lain terbilang cukup jauh. Dari 10 makam tersebut, ada dua makam sepertinya mendapat perlakuan ekstra. Kedua makam itu adalah makam 5 dan makam 10.
Makam 5 mendapat perhatian lebih karena makam ini memiliki ukuran yang lebih panjang dari pada makam yang lain. Sementara makam 10 di istimewakan lantaran disana merupakan tempat peristirahatan para panembahan dari sejumlah kerajaan di Kalimantan Barat, seperti Kerajaan Matan, Kerajaan Sambas, Kerajaan Pontianak, Kerajaan Kubu dan lain sebagainya. Mereka tewas dibantai tentara Jepang dan dikuburkan secara massal, dan kuburan dalam satu lubang yang sama. “Sesuai arahan dari petugas Pemda Landak, kami diminta untuk membersihkan kompleks Makam Juang Mandor. Bersih-bersih ini merupakan agenda rutin kami yang dilaksanakan menjelang tanggal 28 Juni,” terangnya sembari membakar tumpukan rumput kering.
Apa yang dikatakan Arif memang benar adanya. Seluruh kompleks pemakaman kini memang telah bersih. Kesan bersih juga tertangkap pada diorama yang ada di dinding monument Makam Juang Mandor. Warna kuning keemasan yang terdapat diseluruh diorama tampak resik dan mengkilap. Diorama yang ada di monument bersejarah ini menggambarkan kekejaman tentara Jepang terhadap penduduk pribumi. Semuanya detail peristiwa sadis itu tampak jelas tergambar dalam setiap bagian diorama. Di bawah Tugu Pancasila, disana terdapat sebuah prasasti kecil bertuliskan “Kuburan Korban Pendjadjahan Japan1942-1945”. Di bagian lain prasasti terpat pula tulisan “Tidak Cukup Anda Kenang Tapi Ku-Harap Anda Teruskan Semangat Juangmu Untuk Memerangi Segala Bentuk Penjajahan”. Sepintas, kata-kata tersebut amat sederhana. Namun, dibalik itu semua tersirat makna yang dalam.

Berbeda Dengan Dahulu
Kondisi Makam Juang Mandor sekarang berbeda dengan lima atau sepuluh tahun yang lalu. Ketika itu, kompleks pemakaman ini selalu tampak ramai dikunjungi para wisatawan mancanegara dan nusantara. Selain di kunjungi para turis, tempat ini juga kerap didatangi para pelajar dan mahasiswa. Suasana akan terasa lebih ramai manakala memasuki masa liburan. Keramainan yang ada juga merangsang para wirausaha untuk menjaring rupiah. Disana sini terdapat banyak orang yang berjualan aneka makanan dan minuman. Melihat suasana yang ramai, adalah tepat kiranya jika Makam Juang Mandor ini disebut sebagai objek wisata sejarah. Tapi itu dulu.
Bagaimana dengan sekarang? Pasca kerusuhan antar etnis yang terjadi pada tahun 90-an, suasana di kompleks Makam Juang Mandor terlihat sangat sepi. Bahkan cendrung lengang. Wisatawan yang dulunya ramai datang untuk berdarmawisata, sekarang tidak pernah lagi ada. Kalaupun ada, mereka adalah para pelajar dan mahasiswa. Kerumunan para pedang minuman dan makanan juga tidak lagi kelihatan. Pada salah satu areal Makam Juang Mandor, disana sudah berubah fungsi menjadi areal PETI (Pertambangan Emas Tanpa Izin). Meski sekarang sudah tidak ada lagi, namun bekas-bekas peninggalan dari para “pengrusak alam” ini masih dapat ditemui dengan mudah. Lokasi bekas PETI kini berubah menjadi danau-danau mati, tanpa berpenghuni. Tanah yang dulunya subur makmur, kini telah berubah menjadi padang gersang tanpa tetumbuhan. Semua ekosistem alam punah, tak bersisa.
Keadaan yang tidak kalah menyedihkan juag terjadi pada lampu taman. Jika sebelumnya terlihat terang benerang, kini semuanya padam. Kompleks Makam Juang Mandor pun menjadi gelap gulita. Suasana gelap yang demikian oleh sejumlah pasangan muda mudi ternyata mendatangkan ‘kesenangan’ tersendiri. Pada malam-malam tertentu, belasan pasanga insan berlainan jenis terlihat duduk berpasang-pasangan. Tak hanya duduk-duduk, terkadang mereka juga melakukan perbuatan tak senonoh. Biasanya, pasangan yang sedang kasmaran ini memilih tempat-tempat yangmereka anggap aman dari pantauan umum.
Menyikapi krisis dekadensi moral yang ada, aparat Trantib Kecamatan Mandor pun bereaksi. Bersama pemuka adat dan tokoh masyarakat setempat, mereka melakukan patrol keliling. Hasilnya, belasan pasangan terjaring. Oleh para pemuka adat, mereka diberi sanksi adat yang cukup berat. Bahkan, untuk mencegah agar para pasangan muda tersebut tidak bermuat mesum lagi, Ketua Timanggong Mandor memasang beberapa papan pengumuman di sejumlah tempat. Papan pengumuman itu bertuliskan “Dilarang Mengambil Kayu/Pasir dan Melakukan Perbuatan Maksiat di Areal Makam Juang Mandor. Apabila Melanggar Akan di Kenakan Sanksi Hukum Adat”.

Lupa Akan Sejarah Sendiri
Peristiwa Mandor Berdarah memaqng sudah lama berlalu. Kendati demikian, tidak ada lasan bagi kita untuk melupakannya begitu saja. Sebagai anak bangsa, sudah sepatutnya apabila kita mengetahui peristiwa bersejarah itu. Tapi, apakah generasi muda sekarang mengetahui sejarah Mandor Berdarah? Jawabnya tentu saja bisa “ya” dan bisa pula “tidak”.
Atri, misalnya. Siswi SMPN 01 Mandor ini mengaku tidak tahu secara persis tentang peristiwa yang terjadi di tanah kelahirannya. Menurut dia, pengetahuan tentang sejarah Mandor Berdarah hanya di ketahui lewat buku-buku bacaan. Itu pun sifatnya terbatas. “Juju saja Bang, saya tidak tahu sejarah Mandor Berdarah secara rinci,” ungkapnya kepada penulis.
Minimnya pengetahuan tentang sejarah Mandor Berdarah sendiri tidak hanya dialami oleh mereka yangmasih duduk di bangku SMP, tetapi juga dirasakan oleh kalangan mahasiswa. Menurut cerita dari Ismail Upran, Kasi Trantib di Kecamatan Mandor, pernah suatu ketika dirinya didatangi seorang mahasiswa asal Mandor, yang kebetulan kuliah di salah satu univeristas swasta terkemuka, di Amerika Serikat. Kepadanya, si mahasiswa tadi mengatakan bahwa dirinya pernah di buat malu oleh salah seorang mahasiswa Amerika. Saat dia bertanya tentang sejarah Mandor Berdarah, mahasiswa asal Mandor ini ternyata tidak mengetahui secara persis. Dan yang lebih memalukan lagi, ternyata mahasiswa Amerika tadi malah mengetahui secara persis, detail peristiwa Mandor Berdarah.
“Kepada saya, mahasiswa yang bersangkutan lantas minta di sejelaskan secara rinci, runutan cerita peristiwa mandor Berdarah. Dia juga mengaku amat berdosa tidak mengetahui sejarah bangsanya sendiri. Bagi saya, pengakuan jujur yang demikian merupakan sikap seorang ksatria,” ujar Ismail yang lahir di kecamatan Sakura, kabupaten Sambas ini.
Menyikapi kondisi yang demikian menyedihkan tersebut, adalah sebuah sikap yang tidak bijaksana jika kita mencari-cari siapa yang bertanggungjawab. Persoalan seperti itu, menurut Ismail, sebenarnya tidak perlu terjadi jika seluruh elemen bangsa mau memberikan penjelasan sejarah yang benar kepada generasi muda. Sebagai penerus bangsa, mereka wajib untuk tahu sejarah bangsanya sendiri. Siapakah yang bertugas itu menyampaikannya? Jawabnya tentu saja semua pihak, baik itu para pengajar, orangtua, tokoh masyarakat, tokoh adat dan lain sebagainya. Bila perlu, agar sejarah yang ada tidak bias, pemerintah melalui dinas terkait menerbitkan sebuah bahan ajar yang nantinya di sampaikan dalam mata pelajaran muatan local di sekolah. “Untuk lebih menumbuh kembangkan semangat nasionalisme, saya sangat sependapat jika setiap tanggal 28 Juni ditetapkan sebagai hari berkabum daerah. Bial perlu, setiap sekolah, dinas serta instansi pemerintah menggelar upacara penaikan bendera setengah tiang, tanda berkabum,” usulnya.

Tidak ada komentar: