Rabu, 25 Juni 2008

Perlukah Nelayan di Beri Subsidi BBM?

Per 24 Mei lalu, pemerintah positif menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Dampak dari kebijakan ini jelas dirasakan oleh seluruh masyarakat, dengan tanpa terkeculai. Lihat perkembangan sector perikanan tangkap. Nelayan yang notebene merupakan ujung tombak perikanan tangkap kini dibuat pusing tujuh keliling. Sudahlah harga solar naik, subsidi buat para nelayan pun juga dikurangi. Jika sudah begini, nelayan pun harus berhitung seribu kali jika ingin turun melaut.
Catatan Pringgo—Sungai Pinyuh

SAAT ini aktivitas nelayan di kecamatan Sungai Pinyuh, kabupaten Pontianak tidak lagi seperti dulu. Beberapa tahun yang silam, setiap hari puluhan bahkan mungkin ratusan kapal nelayan terlihat turun melaut. Setelah seharian mencari ikan, sore harinya mereka selalu pulang dengan membawa ratusan ton ikan segar. Tapi itu dulu.
Lain dulu, lain pula sekarang. Semenjak kabar kenaikan BBM solar dikumandangkan di media massa, saat itu juga dunia perikanan berubah 180 derajat. Pendapatan nelayan yang dulunya terbilang lumayan, sekarang menjadi pas-pasan. Bahkan kurang. Biaya operasional turun melaut kini membengkak, lantaran harga BBM solar kini telah menembus angka Rp5.500 per liter. Itu harga jual di SPDN. Bagaimana di tingkat pengecer? Sudah barang tentu harga jualnya jauh lebih besar.
Sadar akan peliknya persoalan yang ada, sejak beberapa pekan terakhir nelayan Sungai Pinyuh beramai-ramai meninggalkan solar. Keberadaan BBM yang satu ini kemudian diganti dengan minyak tanah. Pilihan beresiko ini terpaksa diambil hanya demi satu alas an, yakni lebih ekonomis. Benarkah demikian, jawabnya tentu saja tidak selamanya benar. Pasalnya, peralihan penggunaan BBM solar ke minyak tanah sangatlah beresiko.
Spuyu atau norshell mesin yang biasanya bersih, kini menjadi mudah kotor. Jika sudah begini, setiap tiga bulan sekali alat ini harus diganti baru. Selain bermasalah pada spuyu, penggunaan minyak tanah juga berakibat mesin mudah panas. Parlin, nelayan tradisional, membenarkan adanya kejanggalan tersebut. Meski tahu akan bahaya yang akan ditimbulkan, namun baginya hal itu dianggap sebagai sesuatu yang biasa. “Kalau mesin cepat panas, saya rasa hal itu wajar. Sebab, BBM yang digunakan adalah minyak tanah. Bila mesin rewel, solusinya hanya satu, yakni biarkan mesin istirahat sejenak. Itu saja,” ungkap bapak dari dua anak ini.
Sudah selesaikah persoalan yang dihadapi nelayan? Jawabnya tentu saja belum. Selain di hadapkan pada persoalan kenaikan harga BBM yang tidak lumrah, para nelayan tradisional juga mendapat ujian dari alam. Hasil tangkapan yang diperoleh ternyata tidak sebanding dengan biaya operasional . ketimpangan ini muncul karena alam mungkin sedang kurang bersahabat.
Sebagaimana diungkapkan oleh Radian, nelayan tradisional, saat ini jumlah ikan yang ada di laut tidak lagi melimpah. Mengapa? Karena saat ini sedang musim angin Selatan. Berdasarkan pengalaman yang diwariskan secara turun temurun oleh para leluhur, di musim ini ikan memang sulit di dapat. Kalaupun berhasil di tangkap, jumlahnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. “Tangkapan kami tidak menentu. Terkadang banyak, terkadang sedikit. Malah pernah kami tidak dapat ikan sama sekali. Bila sudah begini, pengeluaran menjadi lebih besar dari pada pemasukan. Kami tekor,” ungkapnya lirih.

Pinjaman Koperasi Tidak Banyak Membantu
Problematika yang dihadapi para nelayan kecil di daerah adalah minimnya modal usaha. Akibat tidak seimbangnya pemasukan dan pengeluaran, tak sedikit nelayan yang terlilit hutang piutang. Posisi mereka menjadi amat sulit manakala modal usaha yang ada merupakan hasil berhutang dengan para rentenir. Bunga pinjaman yang tinggi benar-benar membuat nelayan kecil menjadi tercekik.
Pernah ada koperasi yang mencoba untuk menawarkan pinjaman modal usaha. Dengan iming-iming kemudahan ini dan itu, mereka mencoba untuk meringankan beban yang dihadapi para nelayan kecil. Tapi sayang, apa yang mereka tawarkan ternyata masih jauh dai harapan. Para nelayan lebih memilih meminjam modal usaha dengan para agen pengumpul ikan ketimbang dengan koperasi.
Lasannya simple, yakni meminjam uang ke pihak agen jauh lebih mudah. Disamping itu, pengembaliannya juga lebih fleksibel. Saat hasil tangkapan sedang banyak, maka sebagian dari hasil penjualan ikan dapat digunakan untuk mengangsur pinjaman. Tapi begitu hasil tangkapan menurun, si agen dengan bijaksana memberi kelonggaran untuk mengangsur cicilan. Soal bunga pinjaman, besarannya dapat di nego.
Apakah pinjaman dari agen pengumpul ikan ini merupakan solusi yang baik. Jawabnya tentu saja tidak. Besaran uang pinjaman yang diberikan ke nelayan ternyata dibatasi. Paling tinggi hanya Rp500 ribu. Jika ingin meminjam lebih banyak dari itu, si nelayan harus memberi jaminan berupa barang berharga. Sunggu miris memang. Tapi apa mau dikata, mungkin sudah demikian lika liku hidup nelayan kecil.

SPDN Belum Tersentuh Subsidi Nelayan
Keberadaan Solar Paket Dealer Nelayan (SPDN) di tengah-tengah nelayan kecil seyogyanya menjadi oase yang menyejukkan. Ditengah kemelut kelangkaan BBM solar, SPDN ternyata mampu menyediakan BBM solar yang berkualitas. Tapi sayang, harga jualnya sama dengan harga jual yang tertera di SPBU. Artinya, baik nelayan maupun kendaraan umum (palagi pribadi—Red) sama-sama tidak mendapat subsidi . harga jualnya adalah sama, yakni Rp5.500 per liter untuk BBM solar.
Menurut penuturan Agus Suyanto, petugas pengelola SPDN Koperasi LEPP M3 Sungai Pinyuh, pihaknya selalu menyediakan stok BBM solar yang lebih dari cukup. Dalam sebulan, SPDN-nya mendapat quota BBM solar sebesar 24.000 liter. Dari jumlah tersebut, yang laku terjual kepada nelayan hanya 8.000 liter saja. Karena setiap bulan SPDN harus menebus DO yang di keluarkan Pertamina, maka quota 16.000 liter solar terpaksa di lempar kepada nelayan di kecamatan lain.
Langkah ini menurutnya terpaksa diambil agar kelangsungan penebusan DO di Pertamina tetap berjalan normal. Ketika di tanya soal rendahnya minat nelayan untuk membeli solar, secara terbuka Agus mengatakan bahwa hal itu lebih dikarenakan harga jual BBM solar terbilang tinggi. Ini terjadi lantaran pemerintah tidak member subsidi BBM solar kepada para nelayan. “Lagi pula nelayan sekarang lebih senang menggunakan minyak tanah ketimbang solar,” terangnya.
Meski daya beli para nelayan masih sangat mimin, SPDN LEPP M3 Sungai Pinyuh tetap berupaya memberi pelayanan yang prima. Melalui ketersediaan BBM solar yang memadai, SPBU ini tetap melayani kebutuhan nelayan akan solar kapan pun juga. “Kami tetap member yang terbaik kepada nelayan,” ungkapnya.

Tidak ada komentar: