Sabtu, 27 Juni 2009

Menyusuri Pesona Kampung Bansir


HARI menjelang petang. Matahari mulai tampak kemerahan saat aku dan beberapa sahabat tiba di Kampung Bansir. Sambil berjalan kaki meniti geretak kayu belian (ulin), kami pun diajak menikmati pesona senja di kampung yang sarat akan sejarah tersebut. Menurut informasi yang diperoleh dari salah seorang sahabat, Kampung Bansir termasuk kawasan pemukiman tua.

Dulunya sebagian besar masyarakat yang tinggal Kampung Bansir adalah warga keturunan Arab. Berdasarkan cerita orang-orang tua disana, nama Bansir diambil dari nama pendiri kampung tersebut, yakni Syekh Umar bin Achmad Bansir. Peninggalan sejarah yang samapi saat ini masih tetap terpelihara adalah Masjid Baitul Makmur Kampung Bansir.

Mesjid Baitul Makmur usianya hampir setara dengan Kota Pontianak. meski data lengkap mengenai kapan masjid itu berdiri sulit ditemukan, namun yang patut dikenang adalah ketokohan Syekh Umar. Dia merupakan salah satu Qadi di Kerajaan Pontianak di masa pemerintahan Sultan Syarif Abdurrahman bin Habib Husain Alkadrie (1771—1808).

Tanpa terasa, geretak kayu belian yang kami susuri telah membawa kami ke Mesjid Baitul Makmur. Mesjid ini bentuknya sangat artistic. Letaknya persis di tepian Sungai Kapuas. Meski usianya terbilang tua, namun mesjid ini tetap masih di fungsikan oleh masyarakat setempat dalam menunaikan ibadah sholat lima waktu.

Puas melihat-lihat Mesjid Baitul Makmur, kami pun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki kembali. Sembari menikmati suasana senja yang mulai temaram, salah seorang sahabat menyampaikan bahwa pada bulan suci Ramadhan, tepatnya malam ke dua puluh satu hingga hari raya Idul Fitri menjelang, masyarakat Kampung Bansir kerap membunyikan meriam karbit.

Meriam karbit ini dibuat dari bahan kayu belian (ulin). Disebut meriam karbit karena mesiu yang digunakan adalah karbit. Ukuran meriam karbit yang dimainkan terbilang besar, yakni berdiameter 30 sentimeter dengan panjang 4- 6 meter. Suara khas yang menggelegar dari kedua sisi Sungai Kapuas kerap terdengar saling bersautan. Atraksi ini jelas menjadi data tarik tersendiri bagi para wisatawan nusantara maupun mancanegara.

Puas menikmati pesona senja di tepian Sungai Kapuas, kami pun berniat mencari tempat untuk beristirahat. Pilihan untuk melepas lelah akhirnya jatuh di sebuah kafe yang letaknya persis di tepi Sungai Kapuas. Kantin Pa’ We, namanya.

Pemilik kafe ini terbilang sangat kreatif. Dengan memanfatkan papan dan kayu bulat, mereka membuat sebuah bangunan terapung yang bentuknya mirip dengan Kapal Lancang Kuning. Agar bisa tampil menarik, bangunan tersebut di warnai dengan warna-warna cerah. Warna kuning terlihat amat kentara.

Karena tidak ingin melepaskan pesona keindahan Sungai Kapuas di kala senja, kami pun sepakat untuk menikmati kuliner istimewa yang di tawarkan Kantin Pa’We. Setelah mengorder panganan serta minuman ringan, kami menyempatkan diri untuk berfoto bersama di atas kantin terapung tersebut. Beberapa menin kemudian, pesanan yang diminta pun datang. Rak gelombang yang datang menerpa membuat kantin terapung mengalun. Bila sudah begini, rasanya seperti sedang berada di dalam sebuah kapal. Sungai Kapuas benar-benar menawarkan berjuta keindahan kepadfa setiap insan.(Pringgo)

Tidak ada komentar: