Rabu, 25 Juni 2008

Mengenang Tragedi Mandor Berdarah, 28 Juni 1944

Menggali Nilai Sejarah Melalui Fakta
oleh: Dr. Ir. Mardan Adijaya, MSc

Pendahuluan
Sejarah bukanlah semata-mata peristiwa masa lampau, tetapi merupakan kontinuitas peristiwa masa lampau, melalui peristiwa masa kini menuju peristiwa masa depan (Yesterday, today and tomorrow). Apapun yang terjadi saat ini tidak terlepas dari masa lampau, dan akan menentukan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Sejarah adalah soko guru yang paling berharga dari sebuah peradaban. Sebuah sejarah melahirkan cerminan yang dapat kita jadikan sebagai referensi untuk melangkah ke masa depan yang lebih baik.

Bangsa yang tidak mau belajar dan peduli sejarahnya, akan kehilangan peradabannya. Dahulu kala Romawi adalah sebuah bangsa yang besar yang melahirkan pemikir-pemikir hebat, sastrawan-sastrawan terkenal dan negarawan-negarawan yang handal. Konon pada masa pemerintahan Odoaker (476 M), telah dilakukan suatu kekeliruan besar dalam pengambilan kegijakan. Beliau, dengan rasa egonya, mengeluarkan aturan yang menutup sejarah kebesaran kaisar pendahulunya dengan melarang rakyat mengenang, memperingati bahkan mengabadikan sejarah dalam bentuk apapun (patung dan tulisan). Akhirnya, lambat laun Romawi tenggelam ditelan zaman.

Kalau kita menoleh pada perilaku kesadaran kita selama ini terhadap sejarah dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya, maka perlu kita bertanya pada diri kita sendiri, seberapa jauh tindakan kita meninggalkan sejarah dan menganggapnya sebagai dongeng usang. Sebagai contoh perhatian kita terhadap suatu kejadian besar di Kalimantan Barat yang terjadi beberapa puluh tahun yang silam, yaitu peristiwa tragedi kemanusiaan yang sangat mengerikan dan menoreh luka yang sangat dalam pada bangsa ini. Begitu besar jumlah anak bangsa yang berasal dari daerah ini, yang telah gugur dalam peristiwa tersebut akibat kebengisan bangsa lain pada waktu itu. Satu generasi pejuang lenyap dalam suatu tebasan pedang angkara murka penjajah; gugur untuk suatu cita-cita gila, bukan hanya ekspansi wilayah tetapi ekspansi kaum.

Ironinya, kita hampir melakukan kesalahan yang sama dengan pemerintahan Odoaker-romawi, dengan dalih sebagai bangsa pemaaf. Akibatnya, bangsa ini hampir selalu membuat kesalahan yang sama dari waktu kewaktu; ingin melangkah maju untuk membangun bangsa, tetapi tidak tahu dari mana dimulai, apa yang harus dihindari dalam mengambil langkah, dan mau melangkah kemana sebagai tujuan masa depan.

Belajar dari kemajuan bangsa lain, yang maju namun tidak pernah melupakan sejarah bangsanya dan tetap berpegang pada adat budayanya, maka pelaksanaan kegiatan pelestarian nilai kepahlawan, keperintisan, kejuangan dan kesetiakawanan sosial Kalimantan Barat 2006, yang diselenggarakan dinas sosial dan pemberdayaan masyarakat propinsi Kalimantan Barat merupakan suatu langkah yang strategis dan perlu didukung penuh. Dan diharapkan tulisan ini dapat menggugah kesadaran kita sebagai anak bangsa untuk lepas dari keterpurukan multi dimensi yang melanda kehidupan sosial, kemasyarakatan dan kenegaraan negeri ini, dan bangkit dari kematian hati nurani yang terjadi selama ini.

Kilasan peristiwa seputar Tragedi Mandor
Kalimantan Barat mengalami sejarah yang sangat panjang tentang pahit getirnya masa penjajahan dari bangsa lain, dari masa kolonial belanda sampai masa pendudukan jepang. Sepanjang itu pula, sejarah telah membuktikan bergitu banyaknya perlawanan terhadap para penjajah itu dan antek-anteknya. Namun dari sekian banyak peristiwa tersebut, ada suatu peristiwa yang sangat signifikan sebagai suatu tragedi kemanusiaan, dan dapat dijadikan pemicu kesadaran kita dalam melestarikan nilai kepahlawan, keperintisan, kejuangan dan kesetiakawanan sosial di Kalimantan Barat. Peristiwa itu adalah tentang genocide di Mandor pada tahun 1944; tanpa mengurangi makna dari catatan sejarah yang lainnya.

Tragedi mandor berawal sejak peralihan kekuasaan dari tangan belanda ke pemerintah pendudukan jepang. Menyusul keberhasilan jepang menghancurkan Pearl Harbor 7 Desember 1941 dan penguasaan atas Guam 10 Desember 1941, kekuatan armada jepang bergerak cepat ke wilayah asia tenggara. Penetrasi kekuatan militer jepang sangat rapi dan cepat ke wilayah tersebut. Khusus di Kalimantan Barat, pendudukan dimulai dengan serangan udara atas kota Pontianak pada tanggal 19 Desember 1941 (dikenal dengan peristiwa kapal terbang sembilan), kemudian ke beberapa tempat lain seperti singkawang, sanggau ledo, mempawah, ngabang, dan sanggau. Kurang lebih 2500 jiwa melayang akibat serangan udara ini. Mayat bergelimpangan di sana sini, terutama korban banyak berasal dari masyarakat sipil, rua dan muda, laki maupun perempuan.

Pihak Belanda tidak dapat berbuat banyak, dan sebagian besar melarikan diri ke arah pehuluan. Namun jepang terus mendesak posisi belanda, apalagi dengan pendaratan pertama jepang di Pemangkat 29 Januari 1942, maupun yang masuk lewat darat dari perbatasan Serawak; tentara jepang tersebut berasal dari kesatuan angkatan lautnya.

Sepanjang jalan, tentara bermuka bengis dan garang, dengan menggunakan umbai-umbai ditengkuknya, merampas makanan dan sepeda masyarakat. Mereka memburu belanda dan KNIL (serdadu melayu) kehutan-hutan dan bukit-bukit. Semula kedatangan mereka dielukan masayarakat, yang dikira akan membantu membebaskan Indonesia dari tangan belanda, tetapi pada kenyataannya tentara yang berbicara dan menulis dangan bahasa yang ‘aneh’ ini bahkan sangat beringas.

Pada tanggal 6 Februari 1942, Pontianak telah sepenuhnya diduduki. Kemudian pemerintahan di Kalimantan Barat sepenuhnya beralih ke tangan Minseibu (minsei: pemerintahan sipil) pada bulan Juli 1942. Sejak saat itu telah dimulai penangkapan-penangkapan terhadap warga belanda maupun warga indonesia yang dianggap memberontak.

Segenap penjuru kota-kota di kalbar digelimangi ketakutan. Perbuatan keji dan amoral yang dilakukan tentara pendudukan, merupakan pemandangan sehari-hari; baik tindakan semena-mena dan main hakim sendiri, maupun perkosaan terhadap perempuan belia dari semua golongan warga. Dengan sedikit tuduhan yang dilakukan oleh pengkhianat bangsa, maka penamparan, penjemuran dan pemenggalan kepala bukanlah hal yang aneh.

Banyak tenaga muda yang diperkerjakan di perusahaan-perusahan jepang tanpa diberi upah, kecuali makanan. Mereka bekerja di perusahaan penggergajian kayu jepang di siantan, tayan, sintang, sanggau, pontianak dan sambas, dan perusahaan uranium dan penggilingan karet di serajin, serta pemintalan tali di ngabang. Selain itu perekonomian lebih bersifat barter barang; bukan uang kontan.

Biasanya untuk menghindari penangkapan, orang lebih suka mengaku sebagai petani; karena jepang sangat membutuhkan produksi pangan untuk kepentingan perangnya. Oleh sebab itu lama kelamaan, intensitas perdagangan dari dan ke perhuluan menjadi semakin berkurang. Kelaparan dan kurang gizi melanda rakyat. Banyak rakyat yang harus antri untuk memperoleh bahan pangan. Mereka banyak yang menggunakan pakaian ala kadarnya, bercelana tambal, karung gandum bahkan dari karung goni.

Untuk mengurangi pengaruh penjajah belanda sebelumnya, jepang melakukan beberapa hal antara lain:
menghalau orang belanda ke kamp konsentrasi atau membunuhnya;
meratakan monumen-monumen, dan mengganti nama jalan dan lorong yang berbau belanda;
melakukan japanisasi di segala bidang, termasuk penggunaan penanggalan jepang kigenreki sebagai ganti penanggalan barat (tahun 1942 menjadi 2602), dan pemakaian bahasa jepang dan huruf kanji, hiragana dan katagana.

Kondisi demikian itu membuat rasa kebangsaan subur dikalangan bangsa indonesia; terutama para tokoh masyarakat, cendikiawan dan kaum muda. Mereka mulai membentuk berbagai organisasi yang berpura-pura mendukung jepang namun sebenarnya akan memberontak. Ada juga yang melakukan perlawanan lansung seperti yang dilakukan pangsuma dengan laskar majang desanya.

Menyusul kekalahan jepang dengan sekutu, jepang menjadi panik. Maka mulailah diadakan penangkapan besar-besaran terhadap pemuka masyarakat. Mereka dituduh sebagai mata-mata musuh, kaki tangan amerika dan anti nippon. Jumlah orang yang ditangkap jepang tidaklah pasti. Yang pasti jumlah terbesar adalah mereka yang tinggal di perkotaan dan sekitarnya. Penangkapan besar-besaran berlangsung pada 24 Mei 1944 saat berlangsungnya konferensi Nissinkai (organisasi pemuda yang dipelopori Raden Pandji Moh. Zubir Notosoedjono dan dr. Roebini; yang direstui jepang); karena sebelumnya, Nissinkai telah banyak melakukan perundingan rahasia dan memprovokasi huru hara di berbagai tempat. Pertemuan itu sendiri adalah taktik jepang untuk memudahkan penangkapan para tokoh masyarakat. Selain penangkapan dilakukan di gedung pertemuan, juga dilakukan penangkapan di rumah-rumah kediaman para tokoh. Mereka dibawa dan ditutup kepalanya dengan kain dan sungkup; peristiwa ini dikenal dengan istilah PENYUNGKUPAN. Mereka yang telah ditangkap, tidak pernah diketahui nasibnya lagi.

Akhirnya nasib para tawanan Jepang menjadi jelas setelah koran BORNEO SHIMBUN edisi nomor 135 tahun II tertanggal 1 Juli 1944 (1 sitigatu 2604) memberitakan sebagai berikut:
Komplotan besar jang mendoerhaka oentoek melawan Dai Nippon soedah dibongkar sampai ke akar-akarnja. Salah satoe Angkatan Laoet di Pontianak jang sedjak dahoeloe mengethoei tentang tersemboenjinja rantjangan komplotan melawan Dai Nippon jang sangat besar oekoerannja di daerah Kalimantan Barat, Pontianak, Singkawang dan sekitarnja sebagai poesatnja, senantiasa meneroeskan pengintipan dengan seksama, hingga pada soeboeh tanggal 23 Zyugatu tahoen jang lampaoe melangsoengkan penangkapan besar jang pertama, dan pada soeboeh tanggal 24 Itigatu tahoen ini dioelangi penangkapan besar sekali lagi.

Sedjak itoe pemeriksaan teliti telah diteroeskan terhadap Dokoh Pontianak serta beberapa ratoes orang jang bersangkoetan jang soedah ditahan, maka achirnya terbongkar dengan sendjata-sendjatanja komplotan besar oentoek melawan Dai Nippon jang sangat mengedjoetkan orang. Oleh karena itoe baroe-baroe ini dalam sidang Madjelis Pengadilan Hoekoem Ketentaraan Angkatan Laot kepala-kepala komplotan serta lain-lainnja telah didjatoehkan hoekoeman mati, maka pada tanggal 28 Rokugatu merekapoen telah ditembak mati.

Jadi jelaslah sejumlah besar kaum bangsawan, para sultan dan raja, cerdik dendikia, tokoh berpengaruh yang telah ditangkap, akhirnya dihukum mati paada tanggal 28 Rokugatu 2604 yang bersamaan dengan tahun masehi 28 JUNI 1944.

Berdasarkan nama tokoh yang dilampirkan dalam penerbitan yang sama, namun sebenarnya banyak catatan lain tentang jumlah mereka yang dihukum mati secara semena-mena. Setelah jepang menyerah kalah kepada sekutu, didapat keterangan jumlah yang telah dibunuh mencapai lebih 21.000 orang. Bahkan Komandan Tokkeitai Letnan dua Yamamoto di depan pengadilan militer sekutu mengakui, Dai Nippon menargetkan 50.000 jiwa harus mati di Borneo. Hal ini sejalan dengan doktrin Jendral Hideki Tojo sebagaimana pendudukan jepang di korea, yaitu membunuh bangsa jajahan baik pria dan wanita yang berusia di atas 12 tahun, untuk menjepangkan generasi mudanya agar tunduk dibawah LANGIT KEPUNYAAN KAISAR.

Pada waktu jepang kalah, tentara Australia yang mewakili pasukan sekutu di Kalimantan Barat, memasuki daerah Mandor dengan penunjuk jalan Saiyan Tiong sebagai Guncho Mandor. Ketika memasuki daerah terlarang di zaman jepang, maka didapati ribuan mayat korban pembantaian yang terserak di tengah lapangan di kawasan terlarang tersebut. Dan ketika digali, masih banyak lagi korban yagn dikubur seadanya. Diperlukan waktu 3 bulan untuk menguburkan korban dalam 10 kuburan massal. Fakta terakhir diketahui dari para pekerja tambang emas ranpa izin (PETI) yang sering mendapatkan tengkorak manusia saat mereka menggali emas. Jadi berapkah jumlah sebenarnya korban pembantaian di Mandor? Yang jelas mereka adalah para syuhada dan pejuang bangsa ini. Dengan kenyataan ini, walaupun banyak korban pembantaian dipendam di berbagai tempat lainnya di Kalimantan Barat, tetapi jumlah terbesarnya berada di MAKAM MANDOR.

Analisis Aspek Nilai Kepahlawanan dan Kejuangan
Membahas tentang sejarah dari berbagai objek, baik itu nama tokoh, nama kota, nama tempat, nama negara, nama daerah ataupun kejadian-kejadian selalu merupakan topik yang menarik untuk dikaji. Ilmu sejarah umumnya didefinisikan sebagai bidang disiplin ilmu yang mempelajari rekaman kronologi suatu peristiwa (yang mempengaruhi suatu bangsa atau negara), dilandasi dari pengujian yang kritikal terhadap bahan-bahan bukti (yang dapat mengungkap tentang penyebab terjadinya). Agar sebuah kejadian sejarah dapat diungkap secara akurat ketersediaan barang bukti yang autentik sangat dibutuhkan. Disebabkan keunikan dari tiap-tiap kejadian sejarah, tiap periode sejarah mempunyai Satu corak unik tersendiri, sebagai footprint dari kejadian tersebut.

Tiap-tiap periode sejarah mempunyai corak tersendiri dan merupakan hasil interaksi dengan periode sebelumnya. Keunikan setiap periode sejarah tersebut perlu dilihat sebagai suatu footprint sejarah yang bernilai luar biasa. Sayangnya banyak dari kita menganggap itu hanya suatu bagian dari perjalanan hidup dan dilalui begitu saja tanpa memperhatikan corak seperti apa yang ditinggalkan kejadian tersebut dan nilai-nilai apa yang dapat diangkat disesuaikan dengan perkembangan yang ada.

Kejadian Mandor misalnya harus dianggap sebagai suatu kejadian sejarah yang luar biasa. Yang dimaksudkan dengan luar biasa disini bisa dilihat dari beberapa hal, yaitu (1) sebagai suatu tindakan genocide, yang mengorbankan begitu banyak jiwa dan dari berbagai jenjang umur, (2) meninggalkan pertanyaan besar tentang kerukunan dan kebersamaan diantara berbagai etnis, agama, dan profesi saat itu, (3) melihat fakta dan indikasi bagaimana mudahnya mengabaikan dan melupakan kejadian besar tersebut.

Bagi kita sebagai anak-cucu pewaris korban Mandor merasa terpanggil untuk mengangkat kejadian Mandor ke permukaan, dan menjadikan kejadian Mandor tersebut menjadi salah satu parameter dalam mengukur seberapa jauh kepedulian kita akan kejadian sejarah dan seberapa jauh kita mampu mengangkat footprint dari kejadian tersebut untuk mengangkat sebanyak-banyaknya nilai-nilai Adiluhung yang dapat diwariskan bagi cucu-cucu pewarisnya; penerus bangsa Indonesia. Dan sekaligus menggunakan tonggak sejarah tersebut sebagai sources (sumber-sumber) pemicu lahirnya nilai-nilai luhur sebagai bangsa Indonesia yang berbudi luhur dan bermartabat, serta mengaplikasikan dan mengekspresikannya dalam mengisi pembangunan bangsa di masa kini. Sangatlah disayangkan, karena begitu disibukkannya kita dengan tujuan hidup mengejar kemuliaan di dunia dan seakan-akan kita melupakan bahwa begitu besarnya nilai-nilai budaya yang melekat pada kejadian besar tersebut.

Pada prinsipnya dari suatu kejadian bersejarah banyak hal yang dapat dicermati (1) apa latar belakang terjadinya (2) apa faktor pendukung dan penghambat (3) bagaimana kronologis dari kejadian tersebut (4) apa akibat dari kejadian tersebut dalam bentuk footprint yang tinggal di masa kini (bentuk fisik dan non-fisik) (5) nilai-nilai apa yang dapat diangkat.

Suatu kejadian sejarah pada dasarnya terwujud dari adanya interaksi antara berbagai macam faktor yang berlaku pada saat itu dan corak utamanya banyak ditentukan oleh pelaku utama sejarah itu sendiri.

Kejadian Mandor di Kalimantan Barat merupakan bagian footprint dari Periode Sejarah Penjajahan Jepang. Maka corak dari footprint yang ditinggalkannya tersebut banyak ditentukan oleh ideologi dan perilaku dari pelaku utamanya, yaitu bangsa Jepang maupun bangsa yang dijajah (Indonesia).

Siapapun pelaku utama sejarah, pada prinsipnya sejarah mengandung dua makna adanya ‘cause and effect’ sampai suatu kejadian muncul. Kejadian Mandor tersebut dapat dibagi menjadi beberapa aspek utama, yaitu (1) aspek sumberdaya manusia, (2) aspek kerukunan, (3) aspek pengkhianatan, (4) aspek penjajahan, (5) aspek kepedulian. Aspek tersebutlah yang meninggalkan footprint sejarah dari Kejadian Mandor tersebut. Dan bagi kita sebagai pewaris perlu mengkaji dan mencermati dan memahami footprint tersebut agar kita dapat bangkit dari keterpurukan sebagai bangsa yang besar, atau kondisi ini bisa disebut sebagai proses Rebound.

Proses ini dapat diekspresikan dalam dua cara, secara fisik ataupun non-fisik. Secara fisik misalnya dalam bentuk (1) pendirian monumen sejarah Mandor, (2) mengkompilasi berbagai hal yang berkaitan dengan Mandor dan memuatnya dalam buku-buku formal pendidikan sekolah, (3) mengkaji berbagai tokoh-tokoh yang terlibat dan mengenangnya sebagai nama-nama jalan atau bangunan fisik lainnya, yang didukung oleh Perda, (4) mengkaji nilai luhur yang terkait ataupun nilai budipekerti yang tidak baik.

Pihak pemerintah harus berlaku sebagai motor penggerak proses Rebound. Program-program pemerintah harus ikut mempertahankan bahkan mengembangkan situs-situs sejarah maupun penamaan jalan dan tempat yang ada kaitannya dengan sejarah lokal. Kemudian pemerintah harus memacu program pendidikan untuk mengisi kehilangan satu generasi, termasuk pula dukungan dana dan perda; selain ikut memperjuangkan keinginan masyarakat agar negara mantan penjajah ikut memperhatikan dan membangun daerah dan masyarakat mantan jajahannya yang telah tercabik atas perbuatannya.

Sampai sejauh ini kesan utama yang dapat kita tangkap adalah bahwa banyak dari kita tidak menganggap kejadian tersebut sebagai suatu “Monumen” dalam arti sebenarnya. Yang dimaksud monumen oleh banyak pihak hanyalah suatu tugu yang bercerita tentang kejadian besar di masa lalu pernah terjadi. Padahal monumen disini harus diartikan lebih dalam, yaitu Monumen yang telah menoreh dan meninggalkan luka yang begitu dalam, dan monumen yang mampu memancarkan energi yang begitu besar dan mampu memberikan tenaga akselerasi yang besar bagi kita sebagai korban untuk maju dari rasa pedih dan mencapai kejayaan sebagai bangsa yang luhur dan bermartabat. Sebagai contohnya, kejadian Hiroshima dan Nagasaki diyakini oleh kebanyakan bangsa Jepang sebagai monumen pemicu kemajuan bangsa Jepang. Dan mereka dengan konsisten menurunkan rasa pedih tersebut dari generasi ke generasi. Bukan berarti mereka hanya semata-mata ingin menimbulkan rasa dendam tetapi lebih dari itu monumen tersebut dijadikan sebagai energi pemantik kemajuan bangsa Jepang seutuhnya. Kita semua sepakat bahwa mereka berhasil.

Lalu bagi masyarakat Kalbar? Dianggap angin lalunya kejadian Mandor tersebut apakah karena kita memang bangsa yang pemaaf ?. Saya rasa kita semua akan merasa malu untuk mengatakan “ya”, mengingat sejauh ini Kalimantan Barat sudah mengalami kejadian “konflik Etnis” paling sedikit 10 kali. Kalau memang kita bangsa yang pemaaf tentunya kejadian konflik etnis tersebut tidak perlu terjadi. Atau kita menganggap bahwa “tindakan Genocide’ adalah suatu hal yang lumrah. Begitu jelas terlihat bahwa tidak ada pencerahan batin yang bermuara dari kejadian Genocide Mandor tersebut. Atau dapat dikatakan kita diambang gagal mengangkat nilai-nilai luhur dan sekaligus kepedihan yang terkait dengan kejadian Mandor tersebut demi kemajuan bangsa ini. Maka dapat diasumsikan bahwa pengkajian Aspek kepedulian, aspek kerukunan dan aspek sumberdaya manusia kurang berhasil. Lalu, harus menyalahkan siapa ? Yang pasti itu adalah tugas kita bersama, pemerintah dan masyarakat yang seharusnya mempertahankan “Jati diri”.

Kalau kejadian Mandor dianggap sebagai suatu Kejadian Sejarah yang besar. Pihak pemerintah, terutama bagian Pengkajian Sejarah harus sudah mensosialisasikan hasil-hasil pengkajian, penulusuran dan analisa atas kejadian Mandor. Keluaran yang kita harapkan bukan hanya sekedar sebuah angka, tetapi lebih dari itu. Kita menunggu pengkajian tentang azas HAM (hak azazi manusia), nilai-nilai budaya yang terkait, kelemahan dan kekhilafan kita dan banyak lagi hal penting lainnya yang terkait. Dari segi Forensik, apakah sudah dilakukan pengkajian footprint dari para korban Mandor. Seharusnya apa yang terkubur di Mandor belum selesai. Kita belum mempunyai data yang menyeluruh tentang korban-korban Mandor tersebut. Begitu banyak hal yang belum terungkap. Misalnya saja kejadian pembantaian muslim di Bosnia, penelitian forensik DNA terus berjalan malah dibiayai oleh badan dunia untuk mengungkap footprint dari para korban. Seharusnya kita belajar dari kejadian-kejadian lain di belahan dunia, bagaimana mereka menghargai “Jasad Manusia” sebagai barang yang sangat berharga. Apakah di Indonesia nyawa manusia begitu murahnya ? Kalau memang kita sadar bahwa satu jasad manusia adalah sepadan dengan miliaran kata-kata, lalu kapan kita mulai meneliti dan melakukan aktivitas “Forensik”. Kapan suatu buku kompilasi tentang berbagai aspek atas kejadian Mandor terwujud? Atau kita memang tidak pernah menunggu dan telah mengabaikan kejadian tersebut.

Kalau jawaban yang terakhir adalah “Benar”. Maka tugas besar dari aspek sejarah Mandor yang harus kita angkat adalah “ Menyadarkan bangsa ini” bahwa kejadian Mandor adalah kejadian besar tentang kepedihan, keterpurukan suatu bangsa. Jangankan berbicara soal hal-hal diatas, mengkompilasi berbagai footprint sejarah yang terkait, ternyata kita masih pada tahap “Memantikan Api energi” yang dapat dijadikan sebagai bahan pembakar semangat untuk bangkit dan maju meraih cita-cita luhur bangsa ini. Bahkan begitu parahnya ketidakpedulian kita terhadap peristiwa Mandor tersebut, apabila dilihat dari dekat Makam mandor sudah tidak seperti waktu baru dibangun dulu begitu asri, dilindungi dengan pepohonan yang hijau nan asri. Sekarang ini makam Mandor sudah mengalami banyak pengrusakan, dimana terdapat banyak bekas galian emas dari kegiatan PETI dan gundul akibat dari penjarahan hutan. Kerusakan Mandor, Konflik Etnis, Pemimpin yang bathil itu semua merupakan fakta yang cukup untuk bercerita bahwa kita belum jauh beranjak dari Aspek kepedulian dari adanya kejadian besar kepedihan bangsa ini.

Penutup
Dari paparan tentang kilas balik peristiwa Mandor dan analisis aspek nilai kepahlawanan dan kejuangan, maka berkaitan dengan tema :kajian perubahan status makam juang mandor menjadi taman makam pahlawan, areal makam juang tersebut mempunyai nilai strategis yang sangat penting. Sudah sewajarnya areal itu untuk ditetapkan sebagai TAMAN MAKAM PAHLAWAN.

Selain itu, berbagai perangkat lunak harus dikembangkan antara lain:
penetapan perda tentang hari berkabung daerah pada setiap tanggal 28 Juni, yang diikuti dengan pengibaran bendera setengah tiang dan libur daerah;
memperjuangkan ketingkat nasional dan bahkan internasional mengenai peristiwa genocide yang pernah terjadi di daerah Kalimantan Barat;
memasukkan dalam aktivitas pendidikan berupa mulok sejarah lokal di tingkat SD sampai dengan ke jenjang yang lebih tinggi;
Pembuatan buku-buku sejarah dan pengumpulan data/dokumen tentang berbagai hal yang berkaitan dengan sejarah;
Melakukan penelitian ilmiah seperti forensik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai data korban.

Tidak ada komentar: