Senin, 30 Maret 2009

Demokrasi “Pilih Saya” Semakin Popular


PONTIANAK---Pengamat social politik dari Universitas Tanjungpura, DR Zulkarnaen mengatakan saat ini demokrasi “pilih saya” sudah semakin popular di Indonesia. Paradigma baru ini lahir seiring dengan terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu.

Bagi para calon legislatif (caleg) bernomor banyak, putusan MK merupakan angin surga. Sebaliknya, bagi para caleg bernomor wahid, hal itu merupakan sebuah tantangan dalam pemenangan pemilu. “Dalam konteks ini, kedudukan parpol dan caleg cendrung setara,” katanya.

Merasa memiliki nilai tawar yang sama, tidak sedikit caleg yang mulai mengesampingkan peran parpol pengusungnya. Dalam setiap kesempatan, banyak caleg yang lebih menonjolkan visi dan misi pribadi kerimbang visi dan misi parpol. Kondisi seperti ini dalam ranah demokrasi jelas tidak menyehatkan. Marketing politik yang terbentuk lebih mengarah pada personal, bukan kepartaian.

Bila euforia politik ini tidak segera di rubah, di khawatirkan popularitas parpol di mata konstituennya akan buruk. Terlebih jika sebuah parpol mengalami konflik internal dengan calegnya sendiri. “Jika perselisihan itu terekspos ke public, maka hal itu akan berdampak pada pencitraan partai,” terang Zulkarnaen yang juga dosen di Fisip Untan ini.

Untuk bisa menepis kekhawatiran tersebut, ada baiknya jika parpol melakukan konsolidsi secara internal. Upaya ini penting untuk dilakukan agar kesolidan parpor dengan para calegnya tetap terpelihara. Disamping persoalan internal, parpol juga di hadapkan dengan persoalan eksternal. Salah satunya adalah munculnya kegamangan pemilih dalam menentukan pilihan hatinya.

Indikasi kearah sana saat ini sudah mulai terasa. Banyaknya caleg yang memasang atribut kampanye di sejumlah sudut keramaian kota sedikit banyak telah membuat bingung warga, yang notebene merupakan para pemilih. Alur pemikiran mereka mulai tidak terarah manakala setiap caleg selalu menampilkan visi dan misinya. Manisan politik itu terasa semakin menggoda ketika issu social kemasyarakatan di angkat sebagai komuditi politik. “Bila sudah begini, besar kemungkinan akan banyak kertas suara yang tercentang lambang parpol dari pada nama atau nomor caleg,” pungkasnya.(go)

Tidak ada komentar: