Minggu, 28 Juni 2009

Tingginya Nilai UAN Belum Bisa Jadi Ukuran

PONTIANAK—Tingginya angka kelulusan UAN (Ujian Akhir Nasional) tidak bisa dijadikan ukuran utama dalam menilai kecerdasan anak. Nilai hasil ujian hanya merupakan pelengkap dari 190 faktor penyebab kecerdasan seseorang. “Sepertinya kurang bijaksana jika mengatakan seseorang kurang cerdas hanya karena nilai hasil ujiannya anjlok,” kata Dr Leo Sutrisno, pakar pendidikan dari FKIP Untan.

Kecerdasan seorang anak dapat diakibatkan oleh banyak factor. Dari sekian banyak factor penyebab kecerdasan, factor keberuntungan kememegang peranan yang cukup penting. Disebut demikian karena kebanyakan ahli mengakui bahwasannya sebagian besar ilmu pengetahuan yang ada di dunia ini ada karena pengaruh factor kebetulan.

Dalam kontek UAN, banyak ditemukan peserta ujian yang gagal memenuhi standarisasi nilai kelulusan. Kerja keras yang mereka lakukan, seperti mengikuti bimbingan belajar, entah kenapa tiba-tiba saja tidak banyak membantu. Sebaliknya, siswa yang mempersiapkan diri dengan apa adanya, tidak mengikuti bimbingan belajar, justru berhasil memenuhi standarisasi kelulusan.

Meski factor keberuntungan turut serta mempengaruhi hasil ujian, bukan berarti para siswa harus pasrah. Dalam menghadapi UAN, idealnya para siswa harus belajar lebih giat lagi. Misalnya dengan memperdalam mata pelajaran yang akan di ujian atau melakukan diskusi terbuka dengan guru tentang prediksi materi pelajaran yang akan di ujikan kelak. “Evaluasi sebaiknya dilakukan pula pada proses pembelajaran. Guru hendaknya cerdik dalam membidik materi pelajaran mana yang nantinya bakal di ujikan di UAN,” sarannya.

Soal ketersediaan guru mata pelajaran untuk SMA/SMK serta SMP/MTs, untuk wilayah perkotaan, persoalan seperti ini tentu tidak ditemukan. Tapi bagaimana dengan sekolah yang ada di daerah terpencil? Berdasarkan informasi yang diperoleh dari salah seorang rekan dosen yang ditugasi mengawas pelaksanaan UAN, pada sebuah kecamatan di Kapuas Hulu, disana ad SMA yang tidak memiliki guru pelajaran matematika.

Karena mata pelajaran tersebut masuk dalam jajaran mata pelajaran yang di ujikan, maka mau tidak mau kepala sekolah, yang kebetulan lulusan sarjana pendidikan kimia, berperan sebagai guru matematika. “Saya tidak tahu persis berapa tingkat kelulusan pelajaran matematika di sekolah itu. Tapi, terlepas dari itu semua, ketiadaan guru mata pelajaran jelas berpengaruh kualitas hasil ajar di sekolah,” ungkapnya.

Persoalan seperti ini merupakan bagian dari factor penghambat kelulusan peserta UAN. Untuk mengatasinya, satu-satunya jalan adalah pemerintah daerah harus menambah jumlah guru mata pelajaran. Khusus kepada sekolah yang kebetulan kurang begitu banyak meluluskan siswanya di tahun ajaran ini, sebaiknya mulai dari sekarang pisak sekolah melakukan evaluasi kegiatan belajar mengajar.

Kalau boleh menyarankan, kata Leo, para siswa sebaiknya diberikan pelajaran yang bersifat umum ketika mereka memasuki kelas 7 dan 8 (untuk SMP/MTs) atau kelas 10 dan 11 (untuk SMA/SMK). Saat beranjak ke kelas berikutnya, mereka sudah harus mendapat pendalaman materi pelajaran yang akan di ujian di UAN. Melalui pola pembelajaran yang demikian, anak memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuan diri.(go)

Tidak ada komentar: