Kamis, 13 Desember 2007

Koruptologi, llmu Pengetahuan dan Kebijakan Pemberantasan Korupsi

Catatan Pringgo—Pontianak

Korupsi merupakan tindak kejahatan yang pada mulanya masuk dalam studi kriminologi. Namun, karena korupsi telah berkembang dan merupakan tindak kejahatan yang berbeda dengan kejahatan pada umumnya, maka diperlukan penelaahan yang lebih spesifik. Oleh karena itu, dengan pertimbangan kebebasan akademik, lahirlah sebuah cabang ilmu baru yang diberi nama "koruptologi" sebagai sempalan dari kriminologi. Seperti apa bentuk dari ilmu baru ini? Berikut ulasan dari Prof. DR. Hj. Redatin Parwadi, M.A, Guru Besar pada Fisip Universitas Tanjungpura.

Korupsi sekarang telah menjadi isu pembangunan dunia (global issue). Seirinng dengan bertambahnya waktu, korupsi cendrung menunjukkan peningkatan yang semakin meluas. Akibatnya, keberadaannya semakin mengancam eksistensi bangsa Indonesia. Untuk menanggapi kondisi demikian, penyelenggara negara seperti MPR, DPR, Pemerintah, dan lembaga tinggi lainnya terpanggil dengan memberikan komitmen yang tinggi terhadap pemberantasan korupsi. Komitmen tersebut diwujudkan dalam ketetapan, berbagai undang-undang, dan keputusan/instruksi presiden tentang pemberantasan korupsi. Pemerintah sendiri telah menetapkan tanggal 9 Desember sebagai Hari Pemberantasan Korupsi, dan diikuti dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No.5 Tahun 2004, tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Berangkat dari kondisi yang demikian, lahirlah koruptologi sebagai ilmu. Disebut demikian karena koruptologi telah memenuhi persyaratan ilmiah. Poedjawijatna (1982), menyatakan bahwa pengetahuan dapatdimasukkan ke dalam kategori ilmu, jika memenuhi beberapa sifat ilmiah yaitu: berobyek, bermetode, bersistem dan universal.

Koruptologi terdiri dari kata korupsi, corrupt, corruptus, yang berarti korupsi dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Koruptologi adalah ilmu pengetahuan sistematik yang menelaah korupsi dalam berbagai aspek, termasuk peraturan perundang-undanngan, dan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan mengenai korupsi.

Dilihat dari asal katanya, korupsi berasal dari bahasa Latin, corruptus yang berawal dari akar kata corrumpere yang berarti merusak dan menghancurkan (Amir Satoso, 2004), atau coruptio (Nurdjana, 2005), yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Di dalam bahasa Inggris, korupsi berasal dari kata corrupt, yang berarti jahat (Kamus Inggris-lndonesia, 1992). Dengan demikian pengertian korupsi dilihat dari asal katanya, berarti suatu tindak kejahatan yang mempunyai akibat kerusakan, kebobrokan, dan kehancuran.

Ditilik dari aspek definisinya, Syed Hussein Alatas (dalam Azra, 2004), mengartikan korupsi sebagai penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi (corruption is the abuse of trust in the interest of private gain).

Berdasarkan definisi tersebut menurutnya ada beberapa macam korupsi: 1) korupsi transaktif, yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan dua pihak dalam bentuk suap, dimana yang memberi dan yang diberi sama-sama mendapatkan keuntungan; 2) korupsi ekstortif, yaitu korupsi yang dilakukan dengan pemaksaan oleh pejabat, sebagai pembayaran jasa yang diberikan kepada pihak luar, si pemberi tidak ada alternatif lain; 3) korupsi investif, yaitu korupsi yang dilakukan seorang pejabat karena adanya iming-iming tentang sesuatu yang akan menghasilkan dimasa mendatang; 4) korupsi nepotistik, yaitu korupsi yang terjadi karena adanya perlakuan khusus bagi keluarganya atau teman dekat atas sesuatu kesempatan mendapatkan fasilitas; 5) korupsi otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat mendapat keuntungan, dengan jalan memberikan informasi kepada pihak luar yang sebenarnya harus dirahasiakan; dan 6) korupsi suportif, yaitu korupsi yang dilakukan secara berkelompok dalam satu bagian atau divisi dengan tujuan untuk melindungi tindak korupsi yang mereka lakukan secara kolektif.

Berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. UU Nomor 20 Tahun 2001, KPK menjabarkan tindak korupsi menjadi 7 kelompok dan diperinci lagi menjadi 30 jenis tindak korupsi dan Tindak Pidana Lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi berjumlah 6 jenis. Ke 7 kelompok tersebut adalah: Korupsi yang mengakibatkan kerugian negara (ada 2 jenis tindak korupsi); Korupsi yang berkaitan dengan suap-menyuap (ada 12 jenis tindak korupsi); Korupsi yang berkaitan dengan penggelapan dalam jabatan (ada 5 jenis tindak korupsi); Korupsi yang berkaitan dengan pemerasan (ada 3 jenis tindak korupsi); Korupsi yang berkaitan dengan perbuatan curang (ada 6 jenis tindak korupsi); Korupsi yang berkaitan dengan benturan kepentingan dalam pengadaan (ada 1 jenis tindak korupsi); dan Gratifikasi (ada 1 jenis tindak korupsi).

Koruptologi Sebagai Cabang Ilmu
Koruptologi sebagai cabang ilmu baru memenuhi syarat ilmiah berikut ini: Koruptologi sebagai ilmu pengetahuan harus berobyek. Ilmu pengetahuan membatasi pembahasan pada pokok soal tertentu sebagai obyek. Obyek koruptologi adalah perbuatan yang dikategorikan tindak korupsi, orang (manusia) yang melakukan tindak korupsi, dan masyarakat dimana pelaku korupsi berada.

Korupsi kini telah melanda negara diseluruh dunia. Korupsi bukan tindakan mencuri uang, tetapi lambat laun sudah merasuk ke dala mental, moral, tata nilai, dan cara berfikir, sehingga menimbulkar daya rusak yang luar biasa terhadap sikap, perilaku, dan nalar berfikir seseorang. Walaupun pemerintah dan masyarakat Indonesia sekarang sedang giat-giatnya memberantas korupsi, namun hasilnya belum sesuai dengan tuntutan rakyat. Pemberantasan korupsi terkesan seperti berjalan ditempat. Sangat menarik pendapat Faisal Jabar (Koran Tempo, 9 Agustus 2007), yang menyatakan: "Saya merinding membayangkan jutaan manusia ditangkap karena melakukan korupsi. Undang Undang Anti Korupsi merumuskan 30 jenis tindak korupsi. Bila Undang Undang Nomor31 Tahun 1999 konsisten ditegakkan, maka semua pegawai negeri sipil akan antre didepan penjara. Negara serta merta berantakan bila penegak hukum menerapkan ke-30 jenis korupsi itu". Lebih ekstrem lagi pernyataan Abdullah Hehamahua (dalam Koran Tempo, 9Agustus 2007) yang menyatakan: "Berdasarkan 30 jenis perbuatan korupsi yang ditetapkan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999, maka harus ditangkap 3,7 juta PNS, semua anggota DPR, DPRD, Presiden, Wakil Presiden, para menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, DirekturBUMN/BUMD, para Rektor, dosen, guru, pemimpin pesantren, dan mahasiswa".

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia telah sedemikian endemis, meluas seperti penyakit yang menghinggapi hampir seluruh masyarakat. Senayan yang seharusnya mem-back-up, ternyata didalamnya sedang dilanda gonjang-ganjing terjadinya korupsi, seperti diungkapkan dalam Sorga Para Korutor, dalam sub judul Bancaan Uang Rakyat di Senayan. Korupsi di Indonesia semakin menjadi-jadi, bergeser meluas ke daerah setelah manajemen pemerintahan berubah melalui kebijakan otonomi, dimana dana APBN sekitar 80% dialokasikan di daerah. Kekhawatiran saya dalam pemekaran suatu wilayah, adanya alasan tersembunyi yaitu ikut-ikutan berebut kueh nasional untuk dikorup. Hal ini, menyimpang dari tujuan utama otonomi yaitu mendekati kepentingan rakyat dan mempercepat pembangunan di daerah.

Dua pernyataan tersebut (Jabar dan Hehamahua) harus dimaknai bahwa korupsi di Indonesia sudah pada tahap yang mengkhawatirkan, dan perlu segera diberantas. "Sakitnya" bangsa ini akibat korupsi. Hal ini seperti diungkapkan Sjahrir (2004) bahwa korupsi di Indonesia saat ini seperti penyakit kanker pada stadium yang tidak bisa disembuhkan. Kita tinggal menunggu matinya sang penderita: Republik Indonesia tercinta. Pemberantasan korupsi di Indonesia sudah pada jalan yang benar. Perangkat lunak berupa peraturan perundang-undangan sudah disiapkan, demikian pula perangkat keras berupa organisasi dan lembaga yang menangani korupsi telah tersedia. Sistem dan mekanisme kerja sudah ditetapkan. Data terakhir di tahun 2007, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia, menunjukkan peningkatan dari tahun yang lalu. Berikut ini disajikan beberapa contoh korupsi yang terjadi dalam era reformasi. Di lembaga perbankan kasus korupsi yang menonjol adalah kerugian negara akibat BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) sebesar Rp.150 trillyun, Kasus korupsi paling akhir adalah pembobolan bank BNI sebesar Rp. 1,7 trillyun. Di legislatif dalam hitungan milliar, hampir seluruh DPRD (provinsi, kota, kabupaten) melanggar PP.110 Tahun 2000 (dana operasional dewan). Korupsi di legislatif ini telah menyeret seluruh anggota dewan di suatu provinsi, bahkan mantan ketua DPRD ada yang dihukum karena kasus korupsi. Di lingkungan eksekutif korupsi sudah berlangsung lama, antara lain kasus yang menonjol dilakukan oleh seorang kepala bagian di suatu kabupaten sebesar Rp. 36 milliar dan kasus korupsi yang sama telah menyeret seorang gubernur kepenjara. Di lingkungan yudikatif korupsi dilakukan dalam bentuk jual beli perkara, uang sogok untuk memperingan tuntutan dan hukuman. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa korupsi yang dilakukan oleh birokrat hanya merupakan bagian kecil yang muncul dari sebuah gunung es (korupsi).

Disamping korupsi dilakukan para pejabat negara, banyak kekayaan negara yang dicuri dengan jalan diselundupkan (pasir laut, bahan baker minyak, kayu, kekayaan laut, satwa langka, dan lain-lain), yang keseluruhannya mencapai jumlah Rp.300 trilliun setiap tahun, suatu jumlah yang luar biasa fantastis.

Penanganan Korupsi
Langkah penting dalam menangani korupsi adalah menetapkan kebijakan pemberantasan korupsi. Kebijakan yang dimaksud disini adalah kebijakan publik. Kebijakan publik diputuskan oleh lembaga-lembaga negara atau pemerintah suatu negara, karena masyarakat menghadapi masalah. Contoh: Kebijakan Pengentasan Kemiskinan dikeluarkan, karena masyarakat Indonesia menghadapi masalah kemiskinan. Pada saat ini, rakyat Indonesia sedang menghadapi masalah korupsi. Oleh karena itu, diputuskan Kebijakan Pemberantasan Korupsi. Dengan demikian, hakekat kebijakan adalah sebagai problem solver. Kebijakan publik menurut Anderson (1979), adalah rancangan program-program yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga dan pemerintah, untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di masyarakat. Senada dengan pendapat Anderson, Edwards dan Sharkansky (1978), mengartikan kebijakan publik sebagai suatu tindakan pemerintah yang berupa program-program pemerintah untuk pencapaian sasaran atau tujuan. Definisi terakhir mempunyai makna lebih sempit yaitu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, sedangkan pendapat Anderson lebih luas, selain kebijakan pemerintah, lembaga lain dapat mengeluarkan kebijakan yang akan menjadi acuan bersama dalam suatu program, misalnya MPR mengeluarkan ketetapan sebagai dasar penyusunan undang-undang yang dibuat DPR bersama Pemerintah.

Kebijakan Pemberantasan Korupsi di Indonesia, antara lain tertuang dalam UUD 1945; Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998, tentang Penyelenggara Negara Bebas Korupsi Kolusi, dan Nepotisme; UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Besih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; UU No. 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. UU No. 20 Tahun 2001, Keppres dan Inpres (Inpres 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi), serta peraturan perundangan-undangan lain sebagai pendukung.

Kebijakan pemberantasan korupsi mencakup dua aspek yaitu: pertama, pemberantasan atau penindakan terhadap kasus korupsi yang telah dan sedang terjadi melalui tahapan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai proses peradilan selesai; kedua, pencegahan yaitu usaha untuk menghalangi, bersifat tindakan berkesinambungan dengan tujuan untuk meminimalisir atau menghilangkan terjadinya tindak korupsi di kemudian hari. Pelaksanaan penindakan korupsi ditinjau dari aspek manajemen dapat dilakukan dengan menerapkan fungsi-fungsi manajemen. Menurut Terry (dalam Manullang, 2002), secara sederhana fungsi pokok manajemen terdiri atas: planning, organizing, actuating, dan controlling, yang biasa disingkat POAC. Demi kepentingan analisis, fungsi-fungsi tersebut dapat dibedakan seperti penjelasan berikut ini.

Planning (Perencanaan). Perencanaan adalah suatu kegiatan untuk memutuskan apa-apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian perencanaan bersifat futuristik. Pengorganisasian (Organizing). Fungsi pengorgani-sasian meliputi penyusunan lembaga, pengisian personil, pengaturan hubungan antara lembaga-lembaga, termasuk pembagian kerjanya. Prinsip organisasi yang penting dalam penindakan korupsi adalah pembagian kerja dengan membagi habis fungsi penindakan korupsi dalam lembaga yang telah dibentuk, menumbuhkan persepsi yang sama antar lembaga tentang visi dan misi penindakan korupsi, serta koordinasi.

Actuating (Pelaksanaan). Setelah perangkat lunak dipersiapkan, lembaga telah dibentuk, prosedur kerja ditetapkan, dan segala sumber daya disiapkan, langkah selanjutnya adalah tahap pelaksanaan. Obyek penindakan korupsi adalah tindakan (perilaku) yang dapat dikategorikan sebagai tindak korupsi sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Sebelum dilakukan pemeriksaan oleh lembaga lembaga pengawasan, terlebih dahulu disusun jadual kegiatan pemeriksaan, yang disebut Rencana Program Kerja Pengawasan Tahunan (RPKPT).

Pada saat ini, pemberantasan korupsi di Indonesia berada pada situasi yang kondusif. Indonesia telah mengalami perubahan penting menuju masyarakat yang dicita-citakan, yaitu komitmen seluruh rakyat untuk bersama-sama memberantas korupsi. Presiden dan kabinetnya mempuyai komitmen kuat dalam usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat, dengan salah satu program strategis pemberantasan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin berperan dengan dukungan instansi penegak hukum lainnya. Rakyat semakin berani untuk memperoleh informasi serta melaporkan dugaan adanya korupsi yang dilakukan oleh siapapun. Gerakan pemberantasan korupsi telah menjadi gerakan massal, dengan slogan-slogan yang selalu mengingatkan untuk tidak berbuat tindak korupsi, seperti Jangan Coba-Coba Korupsi, Berantas Tikus-Tikus Koruptor, Koruptor Identik Teroris, KoruptorTidak Layak Hidup di Indonesia, Korupsi adalah Kejahatan yang Harus Diberantas.Pada saat ini pemberantasan korupsi memang mengedepankan tindakan represif, tetapi untuk kepentingan jangka panjang tindakan preventif sangat penting, mengingat bahwa korupsi di Indonesia sudah merambah dalam segala aspek kehidupan. Seperti yang dijelaskan Ismawan (1999) bahwa korupsi yang menjamur, oleh banyak pihak dipercaya sebagai budaya. Oleh karena itu, dalam pencegahannya harus ada visi preventif, berupa usaha perubahan orientasi prinsip kehidupan dari materialistis menuju kebahagiaan berdasar agama.

Tidak ada komentar: