Rabu, 29 April 2009

Pegadaian Konsen di Kredit UMKM

PONTIANAK—Hingga 31 Maret 2009 Perum Pegadaian Cabang Pontianak telah mengucurkan 12 milyar kredit untuk UMKM. Dari 245 nasabah Kreasi (Kredit Angsuran Sistem Fidusia), 5 persen diantaranya malah ada yang telah mengembalikan pinjaman. Pemberian kredit lunak ini merupakan bukti nyata kepedulian Perum Pegadaian dalam meningkatkan usaha di sektor ril.

Tidak seperti kredit usaha kecil lainnya, Kreasi ditujukan kepada para pengusaha mikro dan kecil dengan menggunakan konstruksi penjaminan kredit atas dasar fidusia. Kredit atas dasar fidusia merupakan pengikatan jaminan dengan lembaga pengikatan jaminan yang sempurna dan memberikan hak yang preferent kepada kreditor, dalam hal ini adalah lembaga jaminan atau fidusia.
Beberapa alasan mendasar dari debitur untuk mengikuti program Kreasi ini adalah prosedur untuk mendapatkan uang jauh lebih mudah, cepat dan berbunga ringan, yakni 0,9 persen per bulan flat. Yang paling penting lagi, barang jaminan tetap dapat digunakan untuk menjalankan segala aktivitas. Khusus Kreasi, barang yang di jaminkan oleh debitur ke kami hanya BPKB mobil atau motor saja.

Pemberian pinjaman uang kepada para pengusaha mikro dan kecil dengan menggunakan konstruksi penjaminan kredit atas dasar Gadai. Faktor pertimbangan utama dalam pemberian pinjaman tetap dilihat dari analisa cashflow-nya. “Kreasi hanya diberikan kepada nasabah yang memiliki usaha. Nilai pinjaman untuk setiap nasabah adalah dimulai dari Rp 3 juta sampai dengan Rp100 juta,” terang Andi Ibrahim, Manajer Cabang Perum Pegadaian Pontianak.

Berbeda dengan tahun sebelumnya, per tahun suku bunga yang berkalu di Kreasi terbilang cukup tinggi, yakni 1,45 persen dari nilai pinjaman/kredit. Seiring dengan lahirnya program pemerintah dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi di sektor ril, tingkat suku bunga Kreasi juga ikut melunak. Sekarang, suku bunga kreasi hanya 0,9 persen per bulan flat. Kemudahan lain yang di tawarkan adalah pemberian jangka waktu kredit yang cukup panjang, yakni 12 bulan sampai dengan 36 bulan.

Soal syarat untuk memperoleh Kreasi, kata Andi, semua terbilang sederhana. Calon kreditur harus memiliki usaha sendiri, tempat tinggal dan tempat usaha tetap. Usaha mereka minimal telah berjalan selama 2 tahun. Memiliki kendaraan atas nama sendiri dan nomor kendaran local. Usia kendaraan untuk sepeda motor maksimal 5 tahun dan untuk mobil maksimal 15 tahun.(go)

Senin, 20 April 2009

Masyarakat Adat Jangan Dikesampingkan

PONTIANAK—Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Barat, Drs Cornelius Kimha meminta kepada pemerintah pusat untuk memperhatikan nasib masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan. Mereka layak di perhatikan karena hutan merupakan bagian dari kehidupannya.

Pernyataan ini disampaikan Kimha dalam acara evaluasi implementasi peraturan perundangan di bidang konservasi sumber daya alam. Kegiatan ini digelar Kamis (16/4) kemarin, di Hotel Mahkota. Tampil sebagai pembicara I Made Subadia, Staf Ahli Menteri Kehutanan Republik Indonesia.

Beberapa peraturan yang di kaji antara lain revisi PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa; PP Nomor 68 Tahun 1998 tentang kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam; dan PP Nomor 18 Tahun 1994 tentang pengusahaan pariwisata alam di zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.

Usai mengikuti sesi focus group discussion dengan sejumlah pejabat serta tokoh masyarakat, kepada Pontianak Post dia mengungkapkan selama ini keberadaan masyarakat adapt yang tinggal disekitar hutan selalu termarjinalkan. Rata-rata kehidupan mereka masih jauh dari kata sejahtera. Keadaan tampak semakin memprihatinkan manakala hak ulayat dari masyarakat adat di ‘rampas’. Hutan yang sejak lama menjadi tumpuan hidup masyarakat adat beralih fungsi menjadi areal perkebunan.

Akibat perlakukan yang tidak adil ini, masyarakat adat di buat seperti tamu di daerahnya sendiri. Pola seperti inilah yang menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat yang akhirnya dapat memicu konflik horizontal dan vertikal. “Kami berharap kedepannya pola kerja yang demikian harus di ubah. Melalui revisi peraturan perundangan yang kita bahas bersama ini, kami berharap kehidupan masyarakat adat dapat semakin baik,” ungkapnya.(go)

Gerakan Sosial dan Politik Bergabung?


PONTIANAK—Mampukah gerakan social dan politik di gabungkan. Pertanyaan yang cukup menggelitik ini ternyata banyak menuai tangapan dari sejumlah elemen masyarakat. Dalam di diskusi public yang di gelar di Hotel Kini, Senin (20/4) kemarin, oleh eLPaGaR (Lembaga Pemberdayaan Pergerakan Rakyat) dan Demos (Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi), para peserta sependapat bahwa kedua gerakan tersebut layak untuk di sandingkan.

Kesamaan cara pandang ini ada setelah Christina Dwi Susanti (Demos) memaparkan hasil Resurvai Nasional (2007) dengan tema “Satu Dekade Reformasi,Maju dan Mundurnya Demokrasi di Indonesia”. Dalam risetnya, Demos menemukan adanya indeks (semakin besar angkanya, semakin buruk) yang memperlihatkan ketidakpercayaan masyarakat yang memburuk kepada para elite, baik politisi maupun aparat pemerintah, dua tahun belakangan ini jika dibandingkan dengan riset Demos sebelumnya (2003–2004).

Misalnya soal kepatuhan pejabat pemerintah dan pejabat publik terhadap rule of law (indeks 2004, 16; 2007, 45), kemampuan parpol atau kandidat untuk memperjuangkan isu-isu vital dan kepentingan publik (indeks 2004, 24; 2007, 36), kemampuan partai dan kandidat untuk membentuk dan menjalankan pemerintahan (indeks 2004,24; 2007,38).

Meski tidak sepenuhnya merupakan representasi masyarakat, sedikit banyak kajian ini memperlihatkan adanya indikasi ketidakpercayaan masyarakat yang semakin tinggi. Jika pemerintah tidak hati-hati, maka derajat kepercayaan masyarakat bisa menggiring pada sebuah kondisi ketidakpatuhan sosial.

“Kondisi yang demikian secara tidak langsung telah memunculkan gerakan sosial. Tapi sayang, gerakan sosial yang ada cendrung terkotak-kotak. Misalnya, kelompok buruk getol memperjuangkan kenaikan UMP, kelompok guru minta peningkatan kesejahteraan, kelompok perempuan ingin diakui kesamaan haknya dan lain sebagainya,” terangnya di hadapan peserta diskusi public yang sebagian besar adalah akademisi, aktivis social, jurnalis dan politisi professional.

Mampukah kelompok social ini melakukan perubahan? Untuk bisa melakukan sebuah perubahan, ternyata kelompok social ini tidak bisa melakukannya sendiri. Mereka sadar, bahwa keberadaannya tidak memiliki nilai tawar yang tinggi dalam pengambilan kebijakan. Sebagai solusinya, banyak dari anggota kelompok social yang melakukan gerakan politik tanpa harus bergabung dengan partai politik. Dengan berjuang di jalur politik, setidaknya suara dari kelompok gerakan social bisa menjadi bahan referensi dalam pembahasan kebijakan public di tingkat parlemen.

Guna menjembatani kepentingan social dan politik, Demos memandang perlu adanya Blok Politik Demokratis (BPD). Melalui BPD, Demos yakin akan tercipta kesamaan visi dan misi dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. “Anggota BPD ini bisa datang dari individu, kelompok social, masyarakat adat, tokoh masyarakat dan lain sebagainya,” jelas Christina.

Adanya penggabungan antara gerakan social dan politik ini dibenarkan oleh Sentot Setyosiswanto dari Elsam (lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat). Menurutnya, gerakan social dan politik memilikihubungan korelasi yang positif. Keduanya saling mengisi. Corak perjuangan dari gerakan social dan politik terasa semakin jelas dan focus setelah pemerintah membuka keran demokrasi di Pemilu 9 April lalu. Melalui system suara terbanyak, semua calon legislative dan calon anggota DPD-RI memiliki peluang yang sama untuk mewakili kepentingan rakyat. “Dalam pemilu kali ini, perinsip keterwakilan langsung benar-benar di junjung tinggi. Rakyat diberi kewenangan penuh untuk memilih wakil-wakilnya secara langsung,” ungkapnya.

Ungkapan yang sama juga di sampaikan oleh S Masiun (POR Pancur Kasih). Dikatakannya, produk kebijakan public yang ada saat ini erat kaitannay dengan kepentingan politik. Untuk bisa membuat sebuah produk kebijakan public, maka diperlukan campur tangan kelompok politik. Bicara mengenai persoalan politik, maka hal itu merupakan rencana kerja jangka panjang. Untuk bisa melakukan perubahan social yang revolusioner, diperlukan pemaduan kekuatan gerakan social dan politik. “Gerakan social tidak akan ada artinya jika tanpa di barengi dengan gerakan politik. Begitu pula sebalikmya,” tegas dia.

Cerminan adanya penggabungan antara gerakan social dan politik ini sekarang ada di Nangroe Aceh Darussalam. Berdasarkan peraturan perundangan yang ada, pemerintah pusat membolehnya partai local ikut menjadi kontestan pemilu. Partai local yang dimaksud antara lain Partai Aceh, Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), Partai Bersatu Atjeh (PBA), Partai Daulat Atjeh (PDA), Partai Rakyat Aceh (PRA) dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA). “Partai local di Nangore Aceh Darussalam ini ada karena pemerintah memberi hak otonomi khusus. Dengan munculnya fenomena partai local, maka celah memperjuangan kepentingan rakyat menjadi lebih terbuka,” paparnya.

Munculnya gerakan social dan politik yang teraktulasiasi dalam bentuk partai local ini menurut Gusti Suryansah, pengamat politik dari Universitas Tanjungpura, merupakan sebuah fenomena yang wajar. Mengapa demikian? Karena adanay sebuah keseragaman dalam menjadikan semuanya perjuangan suci dan doktrin itu berhasil menampilkan pengabdian, nafsu mengejar kekuasaan, persatuan dan kerela berkobanan yang militan. Semuanya lahir dalam rahim rasa kekecewaan atau ketidak puasan. Alasan inilah yang menjadi pendorong utama dari adanya berbagai perubahan yang terjadi terhadap realita social, politik dan ekonomi. “Tujuan dari gerakan social dan politik ini hanya satu, yakni ingin mengubah sebuah keadaan menjadi lebih baik di masa yang akan datang,” pungkasnya.(go)