Jumat, 14 Maret 2008

Menemukan Kembali Modal Sosial di Kota Global

Lebur Dalam Bhineka Tunggal Ika

Saat membaca buku Francis Fukuyama, The Great Disruption: Human Nature and the Reconstruction of the Social Order, NY: The Free Press, 1999, disana ditemukan sebuah kesadaran baru yang berkembang di negara-negara maju. Uniknya, kesadaran baru tersebut ramai-ramai ditiru oleh sejumlah Negara “kurang maju”. Inti dari kesadaran baru itu adalah kembali kearah sesuatu yang “tidak kelihatan” sebagai dasar mentalitas manusia untuk situasi baru (globalisasi). Seperti apa yang dimaksud dengan yang tidak kelihatan itu?

Catatan Pringgo--Mempawah


Menurut penjabaran dari REV. FR. Johanes Robini Marianto , O.P, Direktur Centre for Research and Inter-Religious Dialogue (CRID) Indonesia, yang dimaksud dengan tidak kelihatan disini ini bukanlah nilai-nilai agama (paling tidak menurut Francis Fukuyama), tetapi nilai-nilai yang akan menjadi pijakan bersama di dalam hidup bermasyarakat. Nilai-nilai tersebut akan menjadi perekat dan titik tolak di dalam hubungan kemasyarakatan.

Apa arti dari Social Capital (SC) dalam benak Francis Fukuyama? SC itu merupakan seperangkat nilai-nilai yang diyakini atau disepakati dan dihidupi bersama oleh sebuah kelompok masyarakat sehingga mereka bisa hidup bersama sebagai satu unit masyarakat dan saling bekerjasama. Nilai yang paling dasar adalah kepercayaan (trust) yang bisa merekatkan semua pihak. Masih menurut Francis Fukuyama, nilai-nilai seperti kebenaran, kewajiban satu dengan yang lain dan saling berbagi dan kolaborasi. Sepenting apakah SC itu? Francis Fukuyama dalam bukunya mengatakan tanpa SC sebagai perekat maka sebuah masyarakat akan terdisintegrasi (pecah). Kalau ditilik lebih dalam, konsep SC akan menjadi sangat pentingbagi kehidupan masyarakat, tidak hanya masyarakat modern (negara maju), tetapi juga bagi masyarakat yang hidup di jaman globalisasi.

Globalisasi yang intinya semua pihak bisa saling bertemu dan dipertemukan, terutama oleh kemajuan tehnologi informasi dan komunikasi membutuhkan sebuah perangkat untuk bisa hidup bersama secara damai. Dengan hadirnya era globalisasi dengan segala tawaran yang ada orang di hadapkan pada pengambilan sikap. Dalam pengambilan sikap ini, lanjut Robini, bisa berbentuk positif (menerima begitu saja globalisasi) atau negative (menolak begitu saja globalisasi). Namun masalahnya bukan “either…or…” (pilih atau menolak). “Kita menerima atau tidak dunia ini bergerak terus setiap saat. Kita hidup sekarang pada sebuah kenyataan yang namanya globalisasi. Ini sebuah fakta lepas dari keputusan menerima atau menolak. Pengambilan sikap yang arif bukanlah menerima atau menolak, tetapi bagaimana menyiasasti sebuah kenyataan,” ujar Robini yang kerap disapa Romo ini.

Kebudayaan Dalam Jendela Commensurate Pluralism

Satu masalah yang paling besar ketika berhadapan dengan kenyataan globalisasi adalah bagaimana menyikapi “yang satu dan yang jamak”. Lima puluh tahun yang silam, kita mungkin masih bisa menerima ada masyarakat yang tertutup dan tidak terjamah oleh pengaruh luar. Bahkan masyarakat bisa saja homogen. Namun sekarang, kita hidup di lingkungan dimana setiap orang saling bertemu antara satu dengan lain, dalam keadaan yang berbeda.

Di sinilah kita bisa melihat bahwa integrasi sosial lama menjadi kabur dan bisa saja menjadi dipertanyakan kevalidannya. Orang bisa saja mengatakan menolak total dan kembali kepada yang orang punyai (yang satu/tunggal/monolitik), namun pilihan tersebut sama tidak mungkinnya dengan mengatakan memilih semua (jamak/pluralisme total). Yang pertama akan mengalami sebuah clash (konflik) dan yang kedua akan kehilangan jati-diri. Di sinilah konsep SC sangatlah diperlukan. Kita perlu mencari sebuah konsensus baru kemasyarakatan di mana terdapat aturan-aturan atau nilai-nilai yang bisa saja baru atau sudah ada dan dimiliki oleh semua kebudayaan yang kiranya bisa menjadi basis bersama/konsensus bersama sehingga tidaklah terjadi disintegrasi sosial.

Untuk kembali kepada jaman firdaus (monolitik) tampaklah tidak mungkin lagi dan hanyalah khayalan utopia. Dan untuk memaksakkan semua orang ikut apa yang kita mau (monolitik) jugalah tidak mungkin. Semua pihak harus mempunyai kapasistas untuk saling menyesuaikan diri. Ungkapan “di mana bumi dipijak, langit dijunjung” menjadi setengah benar. Karena pihak lain yang datang pun perlu diterima dan semua pihak perlu menyesuaikan diri kembali karena masyarakat tidaklah monolitik lagi. Di dalam situasi demikian, pencarian SC menjadi penting dan untuk menemukan SC yang bisa merekatkan bersama perlulah sebuah paradigma baru, yaitu pluralisme.

Pluralisme yang dimaksud disini, kata Romo Robini, bukanlah total pluralisme kehilangan jati-diri, melainkan “commensurate pluralism,” yang artinya membedakan antara isi (substansi) dan bentuk (format). Di setiap kebudayaan pasti ada nilai-nilai yang bisa merekatkan hidup bersama (mis. Toleran, saling berbagi, dsb) dan ini merupahkan jati diri dari setiap kebudayaan sebagai shared-values sebuah kelompok. Ketika bertemu dengan pihak (kebudayaan) lain yang mempunyai nilai-nilai (konsep) demikian yang kurang lebih sama maka akan keluar sebuah konsensus baru yang intinya ada nilai-nilai yang di-share bersama dan dijadikan sebagai titik tolak komunikasi antar kebudayaan sehingga bisa menjadi perekat di situasi baru.

Nilai-nilai tersebut tentu nantinya tidaklah mono-interpretasi lagi (dimonopoli oleh sebuah kelompok), melainkan bisa berkembang kearah extended-meaning (arti/makna yang telah diperluas) di dalam situasi baru justru karena pertemuan antar budaya tersebut. Namun arti yang diperluas bukanlah total baru di dalam karena masing-masing pihak punya konsep tersebut (berakar di dalam tradisi) dan hanya karena pertemuan dengan pihak lain akhirnya sama-sama saling menyumbangkan arti dan menafsirkan kembali arti dari sebuah hal yang sama-sama dimiliki sehingga bisa diterima semua pihak dan menjadi perekat hidup bersama di dalam situasi baru. “Inilah format baru tanpa menghancurkan isi (jati diri),” terangnya.


Bhineka Tunggal Ika

Motto atau falsafah hidup bangsa Indonesia, Bhineka Tunggal Ika, memang menarik untuk disimak. Inti dari motto tersebut adalah biarpun jamak, namun tetap membentuk satu kesatuan. Lantas, apa yang menyebabkan terjadinya kesatuan? Jawabannya sederhana, yakni adanya kesamaan visi kebangsaan. Visi kebangsaan itu timbul karena adanya pengalaman sejarah (pengalaman kolonialisme dan perjuangan kemerdekaan). Pelajaran pertama dari motto tersebut adalah membentuk sebuah komunitas atau masyarakat pluralis yang sehat dan merekatkan perlu ada dua elemen dasar, yaitu visi bersama dan pengalaman sejarah.

Visi bersama di dalam pembahasan kita untuk semangat/mentalitas pluralisme adalah visi kebangsaan/nasionalisme itu sendiri (bahwa kita semua bangsa Indonesia tanpa kecuali) dan kita ingin hidup bersama secara damai demi pembangunan. Tanpa adanya visi tersebut, yang intinya semangat kebangsaan (nasionalisme) dan keterbukaan akan pihak lain untuk hidup berdamai demi sesuatu yang berguna bagi kemajuan, hal ini tidaklah mungkin. Hal kedua adalah pengalaman sejarah. Apakah kita bisa menggali pengalaman sejarah yang membuat kita terdorong untuk meninggalkan cara pandang monolitik dan berganti ke arah pluralis?

Untuk ke arah pluralisme kita memerlukan sebuah paradigma baru. Inti paradigma baru itu adalah kesatuan sebagai visi dasar, mencari kesamaan fundamental di antara perbedaan yang tampak, dan melihat kenyataan dari sisi atau dimensi lain. “Inilah yang saya maksud dengan mencoba lakukan dengan menawarkan dua konsep yang mungkin filosofis, namun merupahkan paradigma yang bisa berguna, yaitu konsep kesatuan transcendental dan konsep analogi. Kedua konsep ini berhubungan satu sama lain dan mengandaikan satu sama lain,” papar Romo Robini yang juga Vice Director Centre for Studies of East Asia Area (PUKKAT) State Islamic University (UIN) “Syarif Hidayatullah” Jakarta.

Dilihat dari maksudnya, kesatuan yang ingin dituju bukanlah kesatuan monolitik, artinya semua sama saja (homogenitas). Ini namanya univocal. Di balik semua yang kelihatannya berbeda tetap ada kesamaan, minimal sesame manusia. Adalah tidak mungkin bila tidak ada berbeda tanpa disertai kesamaan. Perbedaan total yang ada adalah sesuatu yang mustahil. Kondisi seperti itu dinamakan ekuivokal. Di balik semua, yang berbeda mesti diklasifikasikan lagi, baik antara perbedaan substansial maupun perbedaan aksidental.

Perbedaan substansial hanyalah terjadi apabila substansi/esensi/zat hal yang satu berbeda dengan hal yang lain, misanya antara binatang dengan manusia. Antara zat/esensi/substansi yang sama mungkin atau bisa saja atau bahkan ada yang pasti terdapat perbedaan. Namun perbedaan ini tidaklah merubah zat/esensi/substansi. Inilah yang dinamakan perbedaan aksidental. Apa implikasinya bagi kesatuan transcendental? Bahwa kesatuan yang kita tuju itu berdasarkan kesamaan substansi/zat/esensi/kodrat tanpa menghilangkan perbedaan yang aksidental. Ini adalah kesatuan di dalam perbedaan. Kesatuan demikian tidaklah akan menciptakan homogenitas (semua sama saja dan harus sama saja). Kesatuan homogen mengkhianati kodrta terdalam dari tata ciptaan dan semesta.

Setiap kebudayaan tentulah ada persamaan: sama-sama dihasilkan manusia dan demi manusia serta anggota sebuah kelompok kebudayaan adalah manusia dan mempunyai/memiliki nilai-nilai universal yang di semua kebudayaan ada (mis: tidak boleh membunuh sesame, tidak boleh mencuri, dsb). Manifestasi atau bagaimana menwujudkannya di dalam norma-norma kongkret dan “bungkusnya” akan berbeda satu sama lain. Maka jauh dari saling menegasi/konflik, seharusnya semua kebudayaan bisa menyatu dan berkolaborasi. Maka adalah sikap yang aneh dan terbelakang kalau kita berani menghakimi sebuah kebudayaan superior atau inferior. Kita harus berterima kasih kepada aliran post-modernisme yang membantu kita meninggalkan sikap “orientalisme” yang merupahkan aliran klasik abad XVIII-XIX yang membedakan kebudayaan modern (maju dan pasti bagus/positif) dan tradisional/primitive (pasti negative dan terbelakang). Semua kebudayaan sama uniknya dan sama-sama mempunyai eksistensi yang sah di dunia ini.

“Konsep lain yang perlu kita kembangkan adalah analogi. Analogi mengatakan dua hal, pertama mengungkap realitas ada persamaan dan perbedaan pada waktu yang sama. Ini hal yang sama ketika menjelaskan kesatuan transcendental (maka tidak perlu dielaborasi lebih lanjut). Kedua berbicara realitas lebih besar dari pada yang kita bisa definisikan. Realitas itu bukan hanya dilihat/didefinisikan dari segi “apa itu,” tetapi bukan ini serta bukan itu,” ungkapnya.

Kemampuan manusia untuk menangkap realitas itu terbatas, terutama usaha untuk mendefinisikan sebuah realitas. Kadangkala kita begitu yakin dengan definisi kita sendiri atas kelompok kita sendiri dan kelompok orang lain. Padahal ini hanya satu sisi yang kita bisa tangkap. Dunia realitas adalah dunia yang tetap ada “misteri” yang tidak bisa diterangkan secara lengkap, apalagi didefinisikan. Maka ada tempat di mana terdapat “ruang kosong penuh misteri yang harus mengundang kekaguman dan kontemplasi.” Kebudayaan dalam bentuk manifestasinya yang tampak hanyalah ekspresi atau ungkapan lahir yang bisa dibaca dari realitas kemanusiaan yang misteri dan tidak bisa didefinisikan total.

Kalau S. Freud mengakui bahwa ada peranan “bawah sadar,” maka banyak tokoh-tokoh kebudayaan setelah dia bicara juga pengaruh “bawah sadar” dalam kebudayaan. Dan kalau kita bicara “bawah sadar” kita bicara mengenai sesuatu yang misteri (tidak gampang digali total). Maka dari itu setiap hal yang melibatkan manusia pasti ada sisi misterinya karena manusia sendiri adalah sebuah misteri. Maka dari itu, adalah terlalu cepat untuk menghakimi dengan gaya “orientalisme” tentang sebuah kebudayaan, apalagi ekspresinya. Sikap yang kedua yang dibutuhkan dalam paradigma pluralisme adalah: memberikan “ruang kosong” pada rasio dan hati menghadapi sebuah misteri hidup dan manusia dengan segala manifestasinya.


Kembali Kepada Social Capital (SC)

Di dalam ekonomi dikenal financial capital, yakni hal yang berhubungan dengan uang atau permodalan, human capital (berhubungan dengan SDM), bahkan Physical capital (gedung dan pra-sarana). Francis Fukuyama mengatakan masih perlu ditambah satu, yaitu social capital. SC inilah yang akan membuat masyarakat tidak akan disintegrasi (pecah) dan konflik. Dalam konteks globalisasi tampaknya pertemuan budaya satu sama lain akan semakin terasa. Hal ini tentu tentu tidak bisa kita hindari. Di dalam bukunya yang terbaru Anthony Giddens, Runaway World: How Globalization is Reshaping Our Lives, London: Profile Books, 2002, dikatakan bahwa globalisasi tidak hanya membuat orang tertarik keluar dari dirinya menuju dunia, namun juga membuat orang semakin tertarik ke dalam dirinya, yaitu sadar akan identitasnya yang lain.

Khusus mengenai hal kedua (tertarik ke dalam) akan terjadi penguatan identitas diri dan kalau tidak dilakoni dengan baik akan membawa benturan satu sama lain (konflik). Justru karena indikasi serius demikian perlulah diubah cara pandang kita akan “yang lain” dengan paradigma (cara pandang) yang baru. Selain itu perlu ditemukan kembali SC yang pasti terdapat di masing-masing kebudayaan yang karena di era global ini bertemu satu sama lain akan saling memberi-menerima sehingga terciptalah semua consensus baru kebudayaan manusia yang lebih baik dan manusiawi. Ini yang disebut oleh A. Guddens sebagai “cosmopolitan tolerance.” Semoga.

Rabu, 12 Maret 2008

Dibalik Perayaan Cap Go Meh di Tahun Imlek 2559

Meraih Kebahagiaan di Tahun Tikus Tanah

Menurut perhitungan penanggalan bulan, Imlek 2559 ini merupakan tahun ‘Tikus Tanah’. Dalam 12 deret shio yang ada, tikus berada pada urutan pertama. Sebagian masyarakat Tionghoa percaya bahwa orang-orang yang terlahir di tahun tikus ini diramalkan akan menjadi seniman kehidupan.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Catatan Pringgo—Sungai Pinyuh


DALAM astrologi Tiongkok kuno, setiap awal perhitungan tahun selalu ditentukan dengan satu tanda binatang. Tidak seperti dengan pandangan dunia barat, sifat dari tanda bintang atau zodiac selalu mengalami perubahan. Untuk tahun Imlek 2559 yang bertepatan dengan tahun 2008 Masehi, masyarakat Tiongkok menamainya dengan tahun Tikus Tanah.
Di tanah Tiongkok, tikus dianggap sebagai mahluk yang selalu aktif dan energik. Kendati tangkas, namun dia tidak bisa melakukan perencanaan secara jelas dan mendetail. Tikus lebih senang menggunakan kekayaan intelektual dan tetap optimis serta percaya diri dalam menyelesaikan segala bentuk persoalan.

Menurut pandangan Atong, penjaga Pekong Sam Sing Kiung atau Vihara Tri Dharma Bhakti di kecamatan Sungai Pinyuh, dalam kehidupan sosial tikus memiliki kehangatan yang amat besar, terutama kepada keluarganya. Tikus tanah mengandung makna musim semi, pembaharuan, inovasi, pertumbuhan dan kemajuan. Oleh karenanya, unsur elemen tanah terasa begitu kental melekat padanya. “Tahun ini seluruh masyarakat berharap hal-hal yang bagus untuk kesuksesan dalam pekerjaan, kepindahan rumah tinggal dan berdirinya sebuah perkongsian baru,” terangnya.

Sebagai bentung pengharapan, tak sedikit warga masyarakat Tionghoa yang tinggal di kecamatan Sungai Pinyuh dan sekitarnya memanjatkan doa kepada tiga dewa di Pekong Sam Sing Kiung. Tiga dewa yang menjadi pengharapan itu adalah Dewa Penjaga Laut atau Shin Mu Nyiong, Dewi Kesuburan atau Kwan Im dan Dewa Kemakmuran atau Choi Sin. “Melalui ritual pembakaran hio serta Chin Thin (tiruan uang kertas), para jemaat berharap para dewa yang bersemayam di Pekong Sam Sing Kiung,” ungkapnya sembari terus melipat Chin Thin.

Dalam tahun tikus tanah ini, Atong warga masyarakat Tionghoa harus percaya bahwa tahun baru Imlek akan membawa semangat serta pikiran yang baru. Ibarat kertas putih, tahun baru Imlek merupakan awal dari sebuah penulisan sejarah di babak kehidupan yang baru. “Kita berharap, di tahun Imlek 2559 ini Tikus (shio Tikus) dapat menjadi perlambang kecerdasan dan keuletan dalam mencari rezeki,” pintanya.

International Bidar Race di Gelar di Sambas

Dihadiri Mantan Perdana Menteri Malaysia, Datuk Tan Sri Mahathir Muhamad

MEMPAWAH—Untuk kedua kalinya kabupaten Sambas akan menjadi tuan rumah lomba sampan berskala internasioanal. Kegiatan yang bertajuk LAMS (Lembaga Adat Melayu Serantau) International Bidar Race atau Lomba Sampan Bidar Internasional ini sedianya akan digelar 18-20 Juli 2008, di Sirkuit Muare Ulakan.

Kepastian akan digelarnya event bergengsi diungkapkan Abdi Nurkamil, Koordinator LAMS Kalbar, saat berkunjung ke Graha Pontianak Post Biro Pinyuh, Selasa (4/3) kemarin. Dikatakan olehnya, LAMS International Bidar Race 2008 ini merupakan terusan dari kegiatan serupa sebelumnya yang digelar pada 2001 lalu. Ketika itu, puluhan ribu masyarakat kabupaten Sambas dan sekitarnya tumpah ruah di Muare Ulakan untuk menyaksikan puluhan peserta lomba sampan dari dalam dan luar negeri beraksi.

Berangkat dari kesuksesan acara yang telah lalu, pihaknya berkeinginan untuk kembali menggelar kegiatan yang sama pada tahun ini. Salah satu alasan yang mendasari dipilihnya tahun 2008 sebagai waktu pelaksanaannya karena pada tahun ini pemerintah tengah melaksanakan program Visit Indoensia Year 2008. “Kita ingin lomba sampan ini menjadi kalender even tahunan di kabupaten Sambas, pada khususnya dan Kalimantan Barat pada umumnya,” ungkap putra pendiri LAMS, Datuk H Mawardi Rivai ini.

Dikatakan Abdi, rencana pelaksanaan LAMS International Bidar Race 2008 ini sebenarnya telah ada sejak 2007 lalu. Ketika itu, dalam sebuah pertemuan terbatas di Istana Alwazikhubillah, Sambas, dirinya bersama almarhum Pangeran Ratu Sambas, H. Winata Kesuma atau Pangeran Wempi telah bersepaham untuk menggelar lomba sampan berskala internasional di ‘Bumi Serambi Mekkah’ Sambas.

Disamping akan dijadikan sebagai agenda wisata tahunan, kegiatan tersebut rencananya juga akan disandingkan dengan peringatan HUT (Hari Ulang Tahun) dari Pangeran Ratu Sambas, HUT pemindahan ibukota Sambas serta menyukseskan program Visit Indonesia Year 2008 dan Kalbar Tourism 2010. Dalam LAMS International Bidar Race 2008, untuk pertama kalinya akan digelar nomor 20 pendayung, dengan memperebutkan piala bergilir dari Ketua LAMS Kalbar Bapak H Morkes Effendi.

Disamping menyuguhkan LAMS International Bidar Race 2008, pihaknya juga akan menggelar lomba sampan se-Kalbar, katagori delapan pendayung. Untuk nomor dayung yang satu ini, para peserta akan berkompetisi memperebutkan piala bergilir Gubernur Kalbar. Selain itu, pada kesempatan yang sama juga akan diadakan Lomba Sampan Nusantara (LSN) V, katagori delapan pendayung, memperebutkan piala bergilir dari Yang Dipertuan LAMS, Datuk Suhaili bin Abdurrahman.

Pemuda yang sebentar lagi akan menerima penghargaan Doktor Honoris Causa (HC)
dari pemerintah Inggris ini juga menjelaskan, disamping lomba sampan, pihaknya juga akan melaksanakan serangkaian kegiatan lain, seperti pengukuhan pengurus LAMS
Kalbar, peresmian Rumah Melayu di kabupaten Ketapang, pelaksanaan seminar
adat Melayu dengan menghadirkan sejumlah pakar Melayu di Indonesia dan
internasional. “Malam hari setelah pelaksanaan lomba sampan, kita akan menggelera acara hiburan Malam Pesona Nusantara.

Ketika disinggung soal keterlibatan peserta? Secara terbuka penerima penghargaan dari Perdana Menteri Malaysia, Abdullah Badawi atas dedikasinya sebagai generasi pelopor pemuda Melayu yang tahun lalu ini menjawab sejumlah Negara sahabat telah memastikan diri untuk hadir sebagai peserta LAMS International Bidar Race 2008. Berdasarkan catatan yang ada, Negara yang telah memastikan hadir di ajangbergengsi itu antara lain negara bagian Malaysia seperti Sarawak, Labuan, Miri, Malaka, Pulau Pinang. Tidak ketinggalan Singapura, Filipina dan Brunai Darussalam.

Di tingkat nasional, peserta akan datang Provinsi Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Riau serta Jawa Barat. Dan di tingkat regional, peserta akan datang dari Kota
Pontianak, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sambas, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sintang, Kabupaten Melawi, Kabupaten Sekadau, Kabupaten
Ketapang, Kabupaten Kapuas Hulu serta dua kabupaten baru, yakni Kabupaten Kubu Raya dan Kabupaten Kayong Utara. “Jika tidak ada halangan, insyaallah mantan Perdana Menteri Malaysia, Datuk Tan Sri Mahathir Muhamad juga akan hadir menyaksikan LAMS International Bidar Race 2008,” terang Abdi.(go)

Menilik Ritual Robo-Robo dari Masa ke Masa

Semua Bermula dari Rasa Syukur Kehadirat Allah SWT

Setiap tahun, di Rabu terakhir bulan Sapar (berdasarkan penanggalan Islam) masyarakat kabupaten Pontianak selalu menggelar ritual Robo-Robo. Dalam acara tahunan ini, warga mengadakan makan bersama di alam terbuka. Uniknya lagi, siapa saja boleh bergabung tanpa harus saling kenal antara satu dengan yang lain. Konon kabarnya, tradisi makan bersama seperti ini telah berlangung sejak ratuasan tahun yang silam. Seperti apa bentuk ritual Robo-Robo dahulu?

Catatan Pringgo—Mempawah

SECARA umum ritual Robo-Robo merupakan sebuah kegiatan yang digelar dalam rangka memperingati kedatangan Opu Daeng Menambon ke Kota Mempawah. Prosesi ritual Robo-Robo biasanya dimulai dengan upacara tolak bala di muara Sungai Mempawah. Bertindak sebagai pemimpin upacara adalah Raja Mempawah, Pangeran Ratu Mardan Adijaya Kusuma Ibrahim.

Usai memimpin upacara yang kental dengan nuansa Bone ini, Raja Mempawah beserta keluarga besar Istana Amantubillah dan para tamu undangan yang lain melakukan Makan Seprahan, yaitu makan bersama di Kraton Amantubilah, Mempawah. Selain menyuguhkan menu manakan dan minuman khas keraton, dalam acara itu juga disuguhkan aneka hiburan tradisional Mempawah, seperti Tundang (Pantun Berdendang), Japin, Gurindam dan lain sebagainya.

Jika hal itu merupakan gambaran kegiatan Robo-Robo yang sekarang, lantas bagaimana dengan kegiatan Robo-Robo tempo dulu? Menurut menuturan Raja Mempawah, Pangeran Ratu Mardan Adijaya Kusuma Ibrahim, ritual Robo-Robo itu dari dulu hingga sekarang ini tetap tidak mengalami perubahan. Berdasarkan catatan yang ada, katanya, ritual ini telah berlangsung sejak Opu Daeng Menambon atau pangeran Mas Surya Negara menjejakkan kaki pertama kali di ‘Bumi Galaherang’ Mempawah, sekitar tahun 1148 Hijriah atau 1737 Masehi.

Sedikit menoleh kebelakang, jauh hari sebelum Opu Daeng Menambon memerintah di tanah Mempawah, Patih Gumantar ternyata telah lebih dulu mendirikan Kerajaan Bangkule Rajakng di Pegunungan Sidiniang. Masa kejayaan dari kerajaan ini memudar seriring dengan gugurnya Patih Gumantar dalam perangan Kayau Mengayau (memenggal kepala manusia) melawan Kerajaan Biaju atau Bidayuh di Sungkung (sekarang kecamatan Siding, kabupaten Bengkayang).

Beberapa abad kemudian, kira-kira tahun 1610 kerajaan Kerajaan Bangkule Rajakng bangkit kembali dibawah pemerintahan Raja Kudong. Pusat pemerintahannya pun dipindahkan, dari Sidiniang ke Pekana (sekarang Karangan). Kerajaan yang baru ini tidak ada sangkut pautnya dengan Patih Gumantar. Setelah Raja Kudong wafat, pemerintahannya diambil alih oleh Panembahan Senggaok. Dari perkawinanya dengan puteri Raja Qahar dari Kerajaan Baturizal Indragiri, Sumatera, mereka diakruniai seorang anak perempuan yang bernama Mas Indrawati. “Seorang ahli nujum pernah mengatakan bahwa suatu saat nanti ketika istri Panembahan Senggaok melahirkan seorang anak perempuan, maka tahta kerajaan akan diperintah oleh raja dari kerajaan lain,” ujar Mardan Adijaya.

Seiring dengan berjalannya sang waktu, ternyata ramalan si ahli nujum itu benar adanya. Setelah pemerintahan Panembahan Senggaok berakhir, kerajaan tersebut akhirnya diperintah oleh Opu Daeng Menambon. Ketika berlayar dengan mempergunakan 40 kapal layar khas Bugis, dari Matan (sekarang Ketapang) menuju Sebukit, Mempawah, Opu Daeng Menambon bersama para pengikut setianya disambut oleh Pangeran Adipati.

Makan Saprahan di Bawah Naungan Langit
Dalam setiap perayaan ritual Robo-Robo, disana selalu diadakan Makan Saprahan atau makan bersama. Tak seperti kegiatan makan bersama kebanyakan, pada makan saprahan ini semua warga tua-muda melakukannya di bawah naungan langit terbuka. Biasanya, kegiatan makan bersama ini digelar di halaman rumah.

Mengapa demikian? Karena menurut sejarahnya ketika Opu Daeng Menambon tiba di tanah Mempawah, tepatnya di Kula Mempawah, saat itu rombongan disambut oleh Pangeran Adipati dengan upacara makan saprahan. Dalam penyajiannya, seluruh lauk pauk dihidangkan dalam sebuah baki atau nampan besar. Satu saprah biasanya diperuntukan untuk empat atau lima orang.

Perjamuan ini pada jaman dulu dilaksanakan di alam terbuka, tepatnya di tepi Sungai Mempawah, tempat dimana 40 kapal layar Bugis yang membawa Opu Daeng Menambon bersandar. Adapun rute perjalanan dari rombongan Opu Daeng Menambon ini adalah perairan Kuala Sungai Mempawah di Desa Benteng menuju ke Muara Sungai Mempawah.

Melalui makan saprahan, Pangeran Adipati ingin bersyukur kehadirat Allah SWT atas nikmat keselamatan yang dtelah diberikan-Nya kepada Opu Daeng Menambon yang telah selamat menempuh perjalanan jauh, dari Matan ke Mempawah. Dalam acara makan saprahan itu, selain Opu Daeng Menambon dan Pangeran Adipati, turut serta pula para kerabat kerajaan. “Menurut cerita yang diwariskan secara turun temurun, pada waktu itu Opu Daeng Menambon yang bergelar Pangeran Mas Surya Negara bercerita kepada Pangeran Adipati tentang suka duka selama dalam perjalanan dari Matan ke Mempawah,’ terangnya.

Dari dialog yang dilakukan sembari bersantap bersama itu, muncul ide-ide baru dalam meningkatkan pembangunan kerajaan. Salah satu ide yang tercetus kala itu adalah penerapan system hukum Syara’ atau hukum Islam yang mengatur tentang ibadat, mu’amalat, munakahat serta kinayat.

Ibadat, yakni hukum yang mengatur persoalan peribadatan seperti sholat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya. Mu’amalat, yakni hukum yang mengatur tentang jual-beli, sewa menyewa, pinjaman, membuka perusahaan, pertanahan dan lain sebagainya. Munakahat, adalah hukum yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan perdata seperti masalah kekeluargaan, pernikahan, warisan, perceraian dan sebagainya. Sementara Kinayat sama dengan hukum pidana yang mengatur pencurian, perampokan, pembunuhan dan sebagainya.

Menuai Nilai Luhur Kebersamaan
Dibalik dari kisah bersejarah kedatangan Opu Daeng Menambon ke Mempawah, sesungguhnya tersimpan nilai-nilai moral yang amat tinggi. Salah satunya, adalah terciptanya rasa kebersamaan antara raja dengan rakyatnya, para petinggi dan bawahan, orang kaya dengan orang miskin dan lain sebagainya. “Lewat makan bersama, semua persoalan yang rumit insyaallah menjadi mudah untuk dipecahkan. Bagaimana tidak. Melalui kegiatan makan bersama, secara tidak langsung tercipta sebuah jalinan komunikasi langsung,” terang Mardan Adijaya menjabarkan.

Budaya warisan leluhur seperti ini hendaknya harus terus dipertahankan bahkan dikembangkan. Mengapa? Karena diera pembangunan yang ada sekarang ini, komunikasi antara pemimpin dan mereka yang dipimpin bisa dibilang amat rendah. Pemimpin sibuk dengan segala bentuk urusan pembangunannya, sementara rakyat juga sibuk mencari figure empat mereka mengadukan keluh kesahnya. Untuk membangkitkan semangat kebersamaan yang mulai memudar, antara atasan serta bawahan tersebut, tidak ada salahnya jika Robo-Robo dijadikan momentumnya.

Prosesi Jiarah di Makam Opu Daeng Menambon

Mardan: Jangan Pernah Lupakan Sejarah

SEBUKIT RAMA—Puluhan motor air dari berbagai ukuran, Selasa (4/3) pagi berlayar menyusuri Sungai Mempawah. Iring-iringan ini bergerak dari perairan Kuala Mempawah menuju ke Sebukit Rama, untuk melakukan jiarah di makam Opu Daeng Menambon, pendiri kerajaan Mempawah. Selain membawa serta kerabat Istana Amantubillah, rombongan yang dipimpin oleh Raja Mempawah, Pangeran Ratu Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim, ini juga mengikut sertakan ratusan Laskar Istana Amantubillah (LIAM) dan masyarakat umum.

Kompleks pemakaman Sebukit Rama ini berada 25 kilometer dari Kota Mempawah. Untuk dapat kesana, para pejiarah bisa menggunakan jalur sungai dan darat selama kurang lebih satu jam. Selama dalam perjalanan, iring-iringan puluhan perahu motor yang berhiaskan warna kuning emas ini terlihat seperti rombongan pembesar kerajaan, layaknya jaman Kerajaan Mempawah tempo dulu.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, seluruh rombongan akhirnya sampai dengan selamat di Sebukit Rama. Disana, Raja Mempawah memimpin prosesi nyekar di makam Opu Daeng Menambon. Menurut catatan sejarah yang ada, pendiri kerajaan Mempawah yang bergelar Pangeran Mas Surya Negara ini menjejakkan kaki pertama kali di ‘Bumi Galaherang’ Mempawah sekitar tahun 1148 Hijriah atau 1737 Masehi.

Dalam prosesi ritual yang berlangsung khitmat tersebut, Pangeran Ratu Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim, memimpin pembacaan doa selamat kehadirat Allah SWT untuk Opu Daeng Menambon beserta para leluhur lainnya. Usai memimpin doa, kepada para kerabat, laskar serta masyarakat yang hadir, Raja Mempawah berpesan agar seluruh masyarakat kabupaten Pontianak, khususnya generasi muda, untuk jangan pernah melupakan sejarah.

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu ingat akan sejarah bangsanya sendiri. Oleh karenanya, saya berpesan kepada seluruh masyarakat kabupaten Pontianak dengan tanpa terkecuali untuk ingat akan sejarah daerahnya. Ingat, kesultanan Mempawah bukan milik dari etnis Melayu saja, tetapi merupakan milik dari semua etnis,” katanya dengan suara lantang.

Sebagai pelurusan jati diri, lanjutnya, terbentuknya kesultanan Mempawah ini tidak lepas dari dukungan semua etnis. Baik itu Bugis, Melayu, Dayak bahkan Tiong Hoa. Sebagai bukti catatan sejarah, armada perang laut kesultanan Mempawah dahulu kala pernah dipegang oleh seorang Laksamana Tiong Hoa yang bernama Lo Tai Pak. Berangkat dari keanekaragaman suku bangsa yang ada, kesultanan Mempawah bertekad untuk menempatkan posisi Istana Amantubillah, Mempawah sebagai simbol kebudayaan dan payung untuk semua budaya. Berbekal semangat ke-Bhineka Tunggal Ika-an, Istana Amantubillah ingin menjadi payung sekaligus mendorong terciptanya budaya multi-kultural, bahkan multi-agama.(go)

Perahu Bedar membawa rombongan Raja Mempawah

Pelaksanaan Robo-Robo di Kuala Mempawah

Mempererat Persatuan dan Kesatuan Bangsa Lewat Budaya

Raja Mempawah, Pangeran Ratu Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim, mengatakan bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki budaya. Lewat pengembangan nilai-nilai budaya yang ada, persatuan dan kesatuan bangsa dapat dipererat. Aktualisasi jiwa budaya itu dapat disimak dari pelaksanaan ritual Robo-Robo. Seperti apa prosesinya?

Catatan Pringgo—Mempawah

AWAN mendung yang sedari pagi menggantung di atas ‘Bumi Galah Herang’ Mempawah ternyata tidak membuat surut niat masyarakat setempat dalam menggelar ritual Robo-Robo. Dibawah rintik hujan, suasana di sekitar daerah Benteng hingga Kuala Mempawah tampak penuh sesak oleh masyarakat yang ingin menyaksikan prosesi Robo-Robo tersebut. Maklum saja. Ritual yang telah dilaksanakan secara turun temurun ini dipimpin langsung oleh penguasa kerajaan Mempawah beserta para keluarga dan kerabat Istana Amantubillah.

Jika ditilik dari asal muasalnya, pelaksanaan Robo-Robo sebenarnya dilakukan sebagai bentuk penghormatan atas kedatangan rombongan Opu Daeng Menambon beserta istrinya, Ratu Kesumba, di Kuala Mempawah. Rombongan datang dengan menggunakan 40 buah Perahu Bedar atau Bidar dari tanah Kerajaan Matan (sekarang kabupaten Ketapang). Karena kedatangan dari keluarga Pangeran Mas Surya Negara ini jatuh pada Rabu terakhir bulan Syafar, tahun 1148 Hijriah atau 1737 Masehi, maka peristiwa bersejarah tersebut dikenang dengan acara Robo-Robo.

Dalam pelaksanaan Robo-Robo itu sendiri, prosesinya dimulai dengan kegiatan makan Syafaran di alam terbuka. Acara ini dipusatkan dihalaman Istana Amantubillah, Mempawah, dengan melibatkan seluruh kerabat keraton. Kegiatan yang sama juga dilakukan oleh masyarakat kabupaten Pontianak. Uniknya, dalam makan Syafaran ini siapa saja boleh ikut bersantap bersama tanpa harus saling kenal terlebih dahulu.

Usai menggelar makan Syafaran, Raja Mempawah beserta rombongan keluarga kerajaan meninggalkan Istana Amantubillah untuk menuju ke perairan di daerah Benteng. Dari sana, dengan kawalan Laskar Amantubillah rombongan Raja Mempawah berlayar menuju Muara Sungai Mempawah dengan menggunakan Perahu Bedar atau Bidar. Prosesi ini merupakan bagian dari acara napak tilas perjalanan Opu Daeng Menambon dari kerajaan Matan menuju Mempawah.

Setelah tiba di Muara Sungai Mempawah, Pangeran Ratu Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim memimpin ritual Buang-Buang. Acara yang sarat akan unsur magis ini merupakan symbol dari penyingkiran hawa jahat yang diyakini akan mengganggu kelancaran perjalanan rombongan. Dalam ritual Buang-Buang ini, Raja Mempawah membuang beberapa sesaji ke laut. Isi dari sesaji tersebut antara lain telur ayam putih, beras kuning serta sekapur sirih. Pembuangan sesaji ini diiringi dengan pembacaan doa tolak bala.

Selesai bermunajat kehadirat Allah SWT, rombongan kembali melanjutkan perjalanan menuju tepian Kuala Mempawah. Menurut catatan sejarah yang ada, zaman dahulu kala ketika Perahu Bedar atau Bidar yang ditumpangi rombongan Opu Daeng Menambon hendak bersandar di tepian Kuala Mempawah, dari atas perahu Opu Daeng Menambon melemparkan seluruh bekal makanan yang tersisa kearah masyarakat pesisir yang menyambutnya. Saat itu, masyarakat saling berebutan untuk mencicipi bekal dari Opu Daeng Menambon. Ini semua dilakukan hanya karena ingin memperoleh berkah dari Opu Daeng Menambon. Rentetan peristiwa bersejarah ini oleh para keturunan Opu Daeng Menambon terus dilestarikan sebagai upaya penghargaan atas nilai-nilai sejarah serta leluhur.

Karena seluruh rombongan Raja Mempawah telah tiba dengan selamat di Kuala Mempawah, maka oleh masyarakat kedatangan tamu agung tersebut dirayakan dengan menggelar Makan Saprahan. Acara makan bersama ini dilakukan di Istana Amantubillah Mempawah dengan menyuguhkan aneka menu istimewa, khas keraton.

Adapun menu istimewa yang dipersembahkan kepada para tamu agung itu antara lain nasi dengan lauk opor ayam putih, sambal serai udang, selada timun, ikan masak asam pedas dan sop ayam putih. Untuk panganan pencuci mulut, disuguhkan kue sangon, kue jorong, bingke ubi, putu buloh serta pisang raja. Sementara untuk minumannya, disediakan air serbat yang berkhasiat memulihkan stamina badan.

Dalam makan saprahan ini, pelaksanaannya harus dilakukan sesuai dengan aturan. Sesuai dengan adapt istiadat yang ada, makan saprahan ini dipimpin oleh seorang kepala saprah. Dia merupakan orang yang dituakan yang paham akan seluk beluk agama. Sebelum mulai bersantap, kepala saprah akan memanjatkan doa syukur kehadirat Allah SWT atas nikmat makanan dan minuman yang diberikan-Nya.

Tata cara yang sama jauh sebelumnya telah diterapkan oleh Pangeran Adipati dalam menjamu Opu Daeng Menambon. Ketika itu, Pangeran Adipati merasa sangat bernyukur kepada Allah SWT yang telah memberi nikmat keselamatan kepada rombongan Opu Daeng Menambon. Sembari menikmati hidangan saprahan yang ada, Pangeran Adipati melakukan diskusi-diskusi ringan kepada Opu Daeng Menambon.

Persoalan yang dibahas kala itu adalah seputar tata pemerintahan serta hukum Negara. Dari dialog ringan itu, muncul ide-ide baru dalam meningkatkan pembangunan kerajaan. Salah satu ide yang tercetus kala itu adalah penerapan system hukum Syara’ atau hukum Islam yang mengatur tentang ibadat, mu’amalat, munakahat serta kinayat. Ibadat, yakni hukum yang mengatur persoalan peribadatan seperti sholat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya. Mu’amalat, yakni hukum yang mengatur tentang jual-beli, sewa menyewa, pinjaman, membuka perusahaan, pertanahan dan lain sebagainya. Munakahat, adalah hukum yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan perdata seperti masalah kekeluargaan, pernikahan, warisan, perceraian dan sebagainya. Sementara Kinayat sama dengan hukum pidana yang mengatur pencurian, perampokan, pembunuhan dan sebagainya.

Belajar dari makan saprahan yang ada, Pangeran Ratu Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim, melihat ada sebuah makna yang tersirat didalamnya. Makna yang dimaksud adalah semangat kebersamaan dalam menjalin persatuan dan kesatuan bangsa. Sebagai pewaris Istana Amantubillah, dirinya merasa terpanggil untuk menjadikan institusi yang dipimpinnya sebagai wadah penyatuan simpul sosio cultural. Sebagai pamong budaya, Istana Amantubillah ingin mengubah image keraton sebagai merupakan cagar budaya.

Melalui upaya merevitalisasi nilai-nilai luhur serta mensinergiskan peran sitana senagai paying dalam system social kemasyarakatan, Istana Amantubillah ingin menggandeng pemerintah dan pihak-pihak lainnya untuk melestarikan budaya warisan leluhur. Lewat gelaran ritual Robo-Robo yang ada, Istana Amantubillah akan berupaya keras merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan menjalin kerjasama lintas etnis serta lintas agama.