Rabu, 12 Maret 2008

Prosesi Jiarah di Makam Opu Daeng Menambon

Mardan: Jangan Pernah Lupakan Sejarah

SEBUKIT RAMA—Puluhan motor air dari berbagai ukuran, Selasa (4/3) pagi berlayar menyusuri Sungai Mempawah. Iring-iringan ini bergerak dari perairan Kuala Mempawah menuju ke Sebukit Rama, untuk melakukan jiarah di makam Opu Daeng Menambon, pendiri kerajaan Mempawah. Selain membawa serta kerabat Istana Amantubillah, rombongan yang dipimpin oleh Raja Mempawah, Pangeran Ratu Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim, ini juga mengikut sertakan ratusan Laskar Istana Amantubillah (LIAM) dan masyarakat umum.

Kompleks pemakaman Sebukit Rama ini berada 25 kilometer dari Kota Mempawah. Untuk dapat kesana, para pejiarah bisa menggunakan jalur sungai dan darat selama kurang lebih satu jam. Selama dalam perjalanan, iring-iringan puluhan perahu motor yang berhiaskan warna kuning emas ini terlihat seperti rombongan pembesar kerajaan, layaknya jaman Kerajaan Mempawah tempo dulu.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, seluruh rombongan akhirnya sampai dengan selamat di Sebukit Rama. Disana, Raja Mempawah memimpin prosesi nyekar di makam Opu Daeng Menambon. Menurut catatan sejarah yang ada, pendiri kerajaan Mempawah yang bergelar Pangeran Mas Surya Negara ini menjejakkan kaki pertama kali di ‘Bumi Galaherang’ Mempawah sekitar tahun 1148 Hijriah atau 1737 Masehi.

Dalam prosesi ritual yang berlangsung khitmat tersebut, Pangeran Ratu Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim, memimpin pembacaan doa selamat kehadirat Allah SWT untuk Opu Daeng Menambon beserta para leluhur lainnya. Usai memimpin doa, kepada para kerabat, laskar serta masyarakat yang hadir, Raja Mempawah berpesan agar seluruh masyarakat kabupaten Pontianak, khususnya generasi muda, untuk jangan pernah melupakan sejarah.

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu ingat akan sejarah bangsanya sendiri. Oleh karenanya, saya berpesan kepada seluruh masyarakat kabupaten Pontianak dengan tanpa terkecuali untuk ingat akan sejarah daerahnya. Ingat, kesultanan Mempawah bukan milik dari etnis Melayu saja, tetapi merupakan milik dari semua etnis,” katanya dengan suara lantang.

Sebagai pelurusan jati diri, lanjutnya, terbentuknya kesultanan Mempawah ini tidak lepas dari dukungan semua etnis. Baik itu Bugis, Melayu, Dayak bahkan Tiong Hoa. Sebagai bukti catatan sejarah, armada perang laut kesultanan Mempawah dahulu kala pernah dipegang oleh seorang Laksamana Tiong Hoa yang bernama Lo Tai Pak. Berangkat dari keanekaragaman suku bangsa yang ada, kesultanan Mempawah bertekad untuk menempatkan posisi Istana Amantubillah, Mempawah sebagai simbol kebudayaan dan payung untuk semua budaya. Berbekal semangat ke-Bhineka Tunggal Ika-an, Istana Amantubillah ingin menjadi payung sekaligus mendorong terciptanya budaya multi-kultural, bahkan multi-agama.(go)

Tidak ada komentar: