MEMPAWAH--Kejadian Mandor Berdarah merupakan bagian footprint dari periode penjajahan Jepang. Ketika menjajah bumi pertiwi, Jepang sempat meninggalkan catatan kelam bagi masyarakat Kalimantan Barat. Ratusan, bahkan mungkin puluhan ribu petinggi negeri serta kaum cerdik pandai di binasakan secara keji, tanpa mengindahkan batasan prikemanusiaan. Sebagai pewaris bangsa, haruskan para generasi muda wajib melupakan sejarah kelam itu?
Pertanyaan yang cukup menggelitik ini merupakan dampak dari ‘cause and effect’ sejarah. Footprint tersebut hanya bisa dipahami bila para generasi muda mau menghargai jasa setiap pahlawannya. Pola pikir yang demikian lazim disebut sebagai proses rebound. Tapi sayang seribu kali sayang, oleh pemerintah proses rebound baru diaktulasiasikan dengan pembuatan monument bersejarah.
Letak kesalahan mulai jelas terlihat manakala para generasi muda sekarang hanya mampu melihat sejarah dari kulitnya saja. Buktinya, monument baru dihargai dalam arti yang sebenarnya. Cara pandang yang keliru ini menurut DR. Ir. Pangeran Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim harus diluruskan. Penguasa Kerajaan Mempawah ini sangat tidak setuju ada generasi muda yang memaknai monument Makam Juang Mandor sebagai sebuah bangunan mati tak bermakna.
“Adalah sebuah kesalahan besar bagi kita semua jika ada anak negeri tidak tahu sejarah bangsanya sendiri. Jika tidak sedari dini para generasi muda diberi pengetahuan sejarah daerahnya, tidak menutup kemungkinan jika di kemudian hari nanti mereka akan menjadi bangsa yang kehilangan jati dirinya,” ungkap Mardan.
Secara umum, yang dimaksud dengan monumen oleh banyak pihak hanyalah merupakan suatu bangunan yang bercerita tentang kejadian besar di masa lalu. Pandangan yang demikian sangatlah sempit. Mengapa demikian? Karena bagi orang timur, monument merupakan sebuah bangunan yang memiliki kekuatan energy besar yang sanggup membangkitkan potensi emosional diri terhadap sesuatu.
Coba lihat monument Hiroshima dan Nagasaki. Masyarakat Jepang menyebutnya sebagai bangunan pemicu kemajuan bangsa.
Secara konsisten, bangsa Jepang menurunkan rasa pedih tersebut dari generasi ke generasi. Tujuannya tidak lain adalah mengingatkan para generasi muda akan sejarah perjuangan banganya sendiri. Monument dijadikan monument tersebut sebagai pemantik kemajuan bangsa Jepang seutuhnya. Kita semua sepakat bahwa mereka berhasil.
Lalu bagi masyarakat Kalbar? Apakah kejadian Mandor dianggap angin lalu? Atau, karena bangsa kita memang bangsa yang pemaaf sehingga kejadian pedih tersebut dilupakan begitu saja? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu hanya bia terjawab jika bangsa ini memiliki penghargaan yang tinggi terhadap jasa para pahlawannya. “ Saya rasa kita semua akan merasa malu untuk mengatakan “ya”, mengingat Kalbar sudah mengalami konflik etnis paling sedikit 10 kali. Kalau memang kita bangsa yang pemaaf tentunya kejadian konflik etnis tersebut tidak perlu terjadi. Yang pasti, kita bersamamungkin telah lupa akan jati diri bangsa,” terangnya.(go)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar