Sabtu, 15 Desember 2007

Melihat Rumusan Temu Tokoh Budaya Kalbar

Kebijakan Pemda Sering “Korbankan”
Sektor K
ebudayaan

Keberadaan warisan budaya saat ini perlu dibangkitkan. Tindakan ini dilakukan sebagai jawaban atas mulai memudarnya kebudayaan daerah akibat tergerus arus modernisasi. Untuk dapat melestarikan kebudayaan, diperlukan kesadaran dari para pemilik kebudayaan itu sendiri, pemerintah serta lembaga non pemerintah. Namun sayang, persoalan-perosalan dasar ini terkadang diabaikan oleh pemerintah. Parahnya lagi, pemerintah melalui kebijakannya malah sering “mengorbankan” sektor kebudayaan. Benarkan demikian?
Catatan Pringgo—Pontianak

KEBUDAYAAN merupakan produk warisan leluhur yang berfungsi menata kehidupan manusia di sekarang dan akan datang. Ia lahir sebagai sebuah proses perpaduan antara nilai-nilai lama dan baru yang berlangsung secara terus menerus. Kesamaan persepsi ini tertuang dalam seminar yang digelar Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak, 31 Oktober-1 November di Hotel Kini. Adapun tema yang diangkat adalah “Upaya Mmenumbuhkan Kesadaran dan Kepedulian Terhadap Pelestarian Warisan Budaya”.

Dalam acara pertemuan para tokoh Kalbar tersebut, Tim Perumus mencatat adanya beberapa kesepahaman. Tim Perumus itu sendiri beranggotakan Rousdy Said, S.H, M.S, Drs.H. Soedarto, Wilis Maryanto, S.H dan Drs. Gusti Suryansyah, M.Si. Kesimpulan yang diraih antara lain meliputi penciptaan keserasian hubungan antara unit sosial dengan budaya, yang dalam praktiknya memerlukan dialog antar-budaya secara terbuka dan demokratis.

Disamping itu, Peningkatan penegakan hukum untuk menciptakan rasa keadilan dan kebenaran antar unit budaya dan antar unit sosial juga perlu dilakukan. Beberapa kekhawatiran dari para tokoh diprediksi bakal terjadi di Kalbar terimplikasi dalam wujud trabaikannya situs-situs budaya yang ada, antara lain karena kepentingan maupun desakan pembangunan ekonomi. Kearifan Lokal yang semakin kurang mendapatkan perhatian, baik dari pemerintah maupun masyarakat itu sendiri.

Penjualan benda-benda budaya, oleh pemerintah atau ahli waris karena tekanan kesulitan ekonomi. Kurangnya “Concern” pemerintah terhadap persoalan-persoalan budaya. Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah sering “membawa korban” bagi sektor kebudayaan. Fasilitas terhadap (dan untuk) kepentingan pelesatrian nilai-nilai dan warisan budaya tidak jelas pengatruan dan dukungan pembiayaannya. Pelaku budaya daerah yang makin lama makin berkurang. Hilangnya nilai-nilai yang melekat dalam wujud dan unsur budaya yang diwariskan.

Disisi lain, para tokoh juga melihat adanya kerancuan dalam penanganan urusan kebudayaan. Hal ini terjadi karena banyaknya lembaga birokrasi yang menangani persoalan kebudayaan sehingga terjadi tumpang tindih dalam tugas dan fungsi. Sehingga berdampak pada perencanaan dan penyediaan anggaran untuk sektor kebudayaan.

Diperlukan kerja sama lintas sektoral dalam upaya pembinaan, pelestarian dan pengembangan budaya daerah.

Pemerintah dan masyarakat harus secara sadar mengangkat menunjukkan citra positif dari keberadaan keraton tentang budaya luhur bangsa Indonesia yang berperadaban adiluhung dengan dimulainya langkah melestarikan nilai-nilai budaya lokal yang ada di keraton maupun lembaga adat.

Ditilik dari sifatnya, warisan budaya yang bersifat Tangible (benda) dan Intangible (takbenda), selama ini telah menjadi korban dari kekurang pedulian, kekurang perhatian, serta kekurang berpihakan dari masyarakat, institusi dan pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Harusnya, Pemda beserta masyarakat mampu menindaklanjuti kebijakan-kebijakan yang bersifat nasional untuk kepentingan daerah.

Waktunya Seni Budaya Memiliki Payung Hukum
Dalam temu tokoh Kalbar yang diadakan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Pontianak, sebuah kesepakatan telah terlahir dalam melestarikan seni dan budaya daerah. Konkretnya, upaya pelestarian kebudayaan kedepan memerlukan payung hukum berbentuk Perda. Sebelum semuanya hilang, sedari dini para pewaris kebudayaan harus sudah melakukan upaya pelestarian. Agar sistematis, semua diawali dengan tindakan pemetaan, identifikasi dan inventarisasi institusi adat atau budaya, situs kesejarahan, nilai-nilai budaya yang berkembang dan masih dilestarikan dalam masyarakat, bentuk dan jenis kearifan lokal dan sebagainya.

Sebagaimana diungkapkan oleh Kepala BPSNT Pontianak, Dra Lisyawati Nurcahyani MSi, upaya pelestarian kebudayaan memerlukan campur tangan dari “pengemban budaya”, baik pemerintah maupun non pemerintah secara sadar dan konkret. Di level pemerintahan, perlu dilakukan tindakan sinkronisasi program-program pembinaan budaya dan pewarisan nilai budaya yang ada pada berbagai instansi.

Sebagai langkah awal, tidak ada salahnya apabila dilakukan inventarisasi nilai-nilai budaya dan penumbuhan kesadaran budaya melalui program-program pendidikan pada semua tingkat, jenis dan jenjang pendidikan. Guna lebih mendukung tercapainya hasil yang optimal, pengalokasian anggaran di bidang pelestarian budaya sangatlah diperlukan. Selain itu, birokrasi kepemerintahan (eksekutif) diharapkan bisa menata kembali lembaga-lembaga pemerintah yang menangani persoalan pembinaan kebudayaan, pengembangan dan pelestarian warisannya, demikian pula program-program yang ada demi efisiensi dan efektivitas pendanaan dan dukungan anggaran.

Harapan sama ditujukan pula pada adanya pemahaman akan aksi serta dukungan dalam bentuk pemikiran, perencanaan, implementasi dan penyediaan dana yang optimal dari APBN dan APBD serta sumber-sumber yang lain. “Dari kegiatan temu tokoh yang kami gelar, akhirnya dicapai empat rekomendasi penting,” katanya.

Adapun rekomendasi yang dimaksud, pertama dalam rangka membentuk Kebudayaan sebagai suatu konstruksi yang dapat membimbing manusia untuk hidup bermartabat, serta pengembangan sistem informasi dan peningkatan sumber daya manusia pengelola kekayaan kebudayaan, tahun depan diperlukan adanya kongres kebudayaan. Forum ini nantinya akan membahas dan menyepakati hal-hal yang sifatnya prinsipil, seperti kesepakatan dalam melakukan pembinaan, pengembangan, pelestarian budaya yang berbasis pada kearifan lokal yang nantinya dikemas dalam bentuk pembinaan dan pelestarian budaya daerah.

Kedua, pewujudkan Perda tentang pelestarian budaya. Produk hukum ini nantinya akan menjadi penujuk arah bagi Pemprov Kalbar dalam menetapkan kebijakan seputar upaya pelestarian budaya di daerah. Ketiga, kepala daerah--Gubernur, Bupati dan Walikota--diharapkan bisa melaksanakan dan memberikan dukungan penuh dalam setiap kegiatan pelestarian dan pengembangan budaya daerah, sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 39 Tahun 2007 tanggal 21 Agustus 2007 tentang pedoman fasilitasi organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan, keraton dan lembaga adat dalam pelestarian dan pengembangan budaya daerah.

Keempat, diperlukan kerjasama antar instansi yang berkompeten (BPSNT Pontianak, Universitas Tanjungpura, STAIN Pontianak dan perguruan tinggi lain, organisasi kemasyarakatan yang konsen di bidang kebudayaan, keraton dan lembaga adat, media massa, dan lembaga hukum dan HAM) dalam menggali, mengembangkan dan melestarikan budaya daerah dalam bentuk pengkajian atau penelitian di bidang kebudayaan daerah yang dituangkan dalam Kesepakatan Bersama.

Lisyawati juga menambahkan keempat rekomendasi ini dalam waktu dekat akan disampaikan kepada Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Gubernur Provinsi Kalimantan Barat, Bupati/Walikota se-Kalimantan Barat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Barat, Universitas Tanjungpura, STAIN Pontianak, Forum Silaturahmi Keraton Nusantara Wilayah Provinsi Kalimantan Barat, pengurus lembaga-lembaga atau paguyuban-paguyuban etnis se-Kalimantan Barat.

Tidak ada komentar: