Rabu, 12 Maret 2008

Pelaksanaan Robo-Robo di Kuala Mempawah

Mempererat Persatuan dan Kesatuan Bangsa Lewat Budaya

Raja Mempawah, Pangeran Ratu Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim, mengatakan bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki budaya. Lewat pengembangan nilai-nilai budaya yang ada, persatuan dan kesatuan bangsa dapat dipererat. Aktualisasi jiwa budaya itu dapat disimak dari pelaksanaan ritual Robo-Robo. Seperti apa prosesinya?

Catatan Pringgo—Mempawah

AWAN mendung yang sedari pagi menggantung di atas ‘Bumi Galah Herang’ Mempawah ternyata tidak membuat surut niat masyarakat setempat dalam menggelar ritual Robo-Robo. Dibawah rintik hujan, suasana di sekitar daerah Benteng hingga Kuala Mempawah tampak penuh sesak oleh masyarakat yang ingin menyaksikan prosesi Robo-Robo tersebut. Maklum saja. Ritual yang telah dilaksanakan secara turun temurun ini dipimpin langsung oleh penguasa kerajaan Mempawah beserta para keluarga dan kerabat Istana Amantubillah.

Jika ditilik dari asal muasalnya, pelaksanaan Robo-Robo sebenarnya dilakukan sebagai bentuk penghormatan atas kedatangan rombongan Opu Daeng Menambon beserta istrinya, Ratu Kesumba, di Kuala Mempawah. Rombongan datang dengan menggunakan 40 buah Perahu Bedar atau Bidar dari tanah Kerajaan Matan (sekarang kabupaten Ketapang). Karena kedatangan dari keluarga Pangeran Mas Surya Negara ini jatuh pada Rabu terakhir bulan Syafar, tahun 1148 Hijriah atau 1737 Masehi, maka peristiwa bersejarah tersebut dikenang dengan acara Robo-Robo.

Dalam pelaksanaan Robo-Robo itu sendiri, prosesinya dimulai dengan kegiatan makan Syafaran di alam terbuka. Acara ini dipusatkan dihalaman Istana Amantubillah, Mempawah, dengan melibatkan seluruh kerabat keraton. Kegiatan yang sama juga dilakukan oleh masyarakat kabupaten Pontianak. Uniknya, dalam makan Syafaran ini siapa saja boleh ikut bersantap bersama tanpa harus saling kenal terlebih dahulu.

Usai menggelar makan Syafaran, Raja Mempawah beserta rombongan keluarga kerajaan meninggalkan Istana Amantubillah untuk menuju ke perairan di daerah Benteng. Dari sana, dengan kawalan Laskar Amantubillah rombongan Raja Mempawah berlayar menuju Muara Sungai Mempawah dengan menggunakan Perahu Bedar atau Bidar. Prosesi ini merupakan bagian dari acara napak tilas perjalanan Opu Daeng Menambon dari kerajaan Matan menuju Mempawah.

Setelah tiba di Muara Sungai Mempawah, Pangeran Ratu Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim memimpin ritual Buang-Buang. Acara yang sarat akan unsur magis ini merupakan symbol dari penyingkiran hawa jahat yang diyakini akan mengganggu kelancaran perjalanan rombongan. Dalam ritual Buang-Buang ini, Raja Mempawah membuang beberapa sesaji ke laut. Isi dari sesaji tersebut antara lain telur ayam putih, beras kuning serta sekapur sirih. Pembuangan sesaji ini diiringi dengan pembacaan doa tolak bala.

Selesai bermunajat kehadirat Allah SWT, rombongan kembali melanjutkan perjalanan menuju tepian Kuala Mempawah. Menurut catatan sejarah yang ada, zaman dahulu kala ketika Perahu Bedar atau Bidar yang ditumpangi rombongan Opu Daeng Menambon hendak bersandar di tepian Kuala Mempawah, dari atas perahu Opu Daeng Menambon melemparkan seluruh bekal makanan yang tersisa kearah masyarakat pesisir yang menyambutnya. Saat itu, masyarakat saling berebutan untuk mencicipi bekal dari Opu Daeng Menambon. Ini semua dilakukan hanya karena ingin memperoleh berkah dari Opu Daeng Menambon. Rentetan peristiwa bersejarah ini oleh para keturunan Opu Daeng Menambon terus dilestarikan sebagai upaya penghargaan atas nilai-nilai sejarah serta leluhur.

Karena seluruh rombongan Raja Mempawah telah tiba dengan selamat di Kuala Mempawah, maka oleh masyarakat kedatangan tamu agung tersebut dirayakan dengan menggelar Makan Saprahan. Acara makan bersama ini dilakukan di Istana Amantubillah Mempawah dengan menyuguhkan aneka menu istimewa, khas keraton.

Adapun menu istimewa yang dipersembahkan kepada para tamu agung itu antara lain nasi dengan lauk opor ayam putih, sambal serai udang, selada timun, ikan masak asam pedas dan sop ayam putih. Untuk panganan pencuci mulut, disuguhkan kue sangon, kue jorong, bingke ubi, putu buloh serta pisang raja. Sementara untuk minumannya, disediakan air serbat yang berkhasiat memulihkan stamina badan.

Dalam makan saprahan ini, pelaksanaannya harus dilakukan sesuai dengan aturan. Sesuai dengan adapt istiadat yang ada, makan saprahan ini dipimpin oleh seorang kepala saprah. Dia merupakan orang yang dituakan yang paham akan seluk beluk agama. Sebelum mulai bersantap, kepala saprah akan memanjatkan doa syukur kehadirat Allah SWT atas nikmat makanan dan minuman yang diberikan-Nya.

Tata cara yang sama jauh sebelumnya telah diterapkan oleh Pangeran Adipati dalam menjamu Opu Daeng Menambon. Ketika itu, Pangeran Adipati merasa sangat bernyukur kepada Allah SWT yang telah memberi nikmat keselamatan kepada rombongan Opu Daeng Menambon. Sembari menikmati hidangan saprahan yang ada, Pangeran Adipati melakukan diskusi-diskusi ringan kepada Opu Daeng Menambon.

Persoalan yang dibahas kala itu adalah seputar tata pemerintahan serta hukum Negara. Dari dialog ringan itu, muncul ide-ide baru dalam meningkatkan pembangunan kerajaan. Salah satu ide yang tercetus kala itu adalah penerapan system hukum Syara’ atau hukum Islam yang mengatur tentang ibadat, mu’amalat, munakahat serta kinayat. Ibadat, yakni hukum yang mengatur persoalan peribadatan seperti sholat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya. Mu’amalat, yakni hukum yang mengatur tentang jual-beli, sewa menyewa, pinjaman, membuka perusahaan, pertanahan dan lain sebagainya. Munakahat, adalah hukum yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan perdata seperti masalah kekeluargaan, pernikahan, warisan, perceraian dan sebagainya. Sementara Kinayat sama dengan hukum pidana yang mengatur pencurian, perampokan, pembunuhan dan sebagainya.

Belajar dari makan saprahan yang ada, Pangeran Ratu Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim, melihat ada sebuah makna yang tersirat didalamnya. Makna yang dimaksud adalah semangat kebersamaan dalam menjalin persatuan dan kesatuan bangsa. Sebagai pewaris Istana Amantubillah, dirinya merasa terpanggil untuk menjadikan institusi yang dipimpinnya sebagai wadah penyatuan simpul sosio cultural. Sebagai pamong budaya, Istana Amantubillah ingin mengubah image keraton sebagai merupakan cagar budaya.

Melalui upaya merevitalisasi nilai-nilai luhur serta mensinergiskan peran sitana senagai paying dalam system social kemasyarakatan, Istana Amantubillah ingin menggandeng pemerintah dan pihak-pihak lainnya untuk melestarikan budaya warisan leluhur. Lewat gelaran ritual Robo-Robo yang ada, Istana Amantubillah akan berupaya keras merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan menjalin kerjasama lintas etnis serta lintas agama.

Tidak ada komentar: