PONTIANAK—Mampukah gerakan social dan politik di gabungkan. Pertanyaan yang cukup menggelitik ini ternyata banyak menuai tangapan dari sejumlah elemen masyarakat. Dalam di diskusi public yang di gelar di Hotel Kini, Senin (20/4) kemarin, oleh eLPaGaR (Lembaga Pemberdayaan Pergerakan Rakyat) dan Demos (Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi), para peserta sependapat bahwa kedua gerakan tersebut layak untuk di sandingkan.
Kesamaan cara pandang ini ada setelah Christina Dwi Susanti (Demos) memaparkan hasil Resurvai Nasional (2007) dengan tema “Satu Dekade Reformasi,Maju dan Mundurnya Demokrasi di Indonesia”. Dalam risetnya, Demos menemukan adanya indeks (semakin besar angkanya, semakin buruk) yang memperlihatkan ketidakpercayaan masyarakat yang memburuk kepada para elite, baik politisi maupun aparat pemerintah, dua tahun belakangan ini jika dibandingkan dengan riset Demos sebelumnya (2003–2004).
Misalnya soal kepatuhan pejabat pemerintah dan pejabat publik terhadap rule of law (indeks 2004, 16; 2007, 45), kemampuan parpol atau kandidat untuk memperjuangkan isu-isu vital dan kepentingan publik (indeks 2004, 24; 2007, 36), kemampuan partai dan kandidat untuk membentuk dan menjalankan pemerintahan (indeks 2004,24; 2007,38).
Meski tidak sepenuhnya merupakan representasi masyarakat, sedikit banyak kajian ini memperlihatkan adanya indikasi ketidakpercayaan masyarakat yang semakin tinggi. Jika pemerintah tidak hati-hati, maka derajat kepercayaan masyarakat bisa menggiring pada sebuah kondisi ketidakpatuhan sosial.
“Kondisi yang demikian secara tidak langsung telah memunculkan gerakan sosial. Tapi sayang, gerakan sosial yang ada cendrung terkotak-kotak. Misalnya, kelompok buruk getol memperjuangkan kenaikan UMP, kelompok guru minta peningkatan kesejahteraan, kelompok perempuan ingin diakui kesamaan haknya dan lain sebagainya,” terangnya di hadapan peserta diskusi public yang sebagian besar adalah akademisi, aktivis social, jurnalis dan politisi professional.
Mampukah kelompok social ini melakukan perubahan? Untuk bisa melakukan sebuah perubahan, ternyata kelompok social ini tidak bisa melakukannya sendiri. Mereka sadar, bahwa keberadaannya tidak memiliki nilai tawar yang tinggi dalam pengambilan kebijakan. Sebagai solusinya, banyak dari anggota kelompok social yang melakukan gerakan politik tanpa harus bergabung dengan partai politik. Dengan berjuang di jalur politik, setidaknya suara dari kelompok gerakan social bisa menjadi bahan referensi dalam pembahasan kebijakan public di tingkat parlemen.
Guna menjembatani kepentingan social dan politik, Demos memandang perlu adanya Blok Politik Demokratis (BPD). Melalui BPD, Demos yakin akan tercipta kesamaan visi dan misi dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. “Anggota BPD ini bisa datang dari individu, kelompok social, masyarakat adat, tokoh masyarakat dan lain sebagainya,” jelas Christina.
Adanya penggabungan antara gerakan social dan politik ini dibenarkan oleh Sentot Setyosiswanto dari Elsam (lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat). Menurutnya, gerakan social dan politik memilikihubungan korelasi yang positif. Keduanya saling mengisi. Corak perjuangan dari gerakan social dan politik terasa semakin jelas dan focus setelah pemerintah membuka keran demokrasi di Pemilu 9 April lalu. Melalui system suara terbanyak, semua calon legislative dan calon anggota DPD-RI memiliki peluang yang sama untuk mewakili kepentingan rakyat. “Dalam pemilu kali ini, perinsip keterwakilan langsung benar-benar di junjung tinggi. Rakyat diberi kewenangan penuh untuk memilih wakil-wakilnya secara langsung,” ungkapnya.
Ungkapan yang sama juga di sampaikan oleh S Masiun (POR Pancur Kasih). Dikatakannya, produk kebijakan public yang ada saat ini erat kaitannay dengan kepentingan politik. Untuk bisa membuat sebuah produk kebijakan public, maka diperlukan campur tangan kelompok politik. Bicara mengenai persoalan politik, maka hal itu merupakan rencana kerja jangka panjang. Untuk bisa melakukan perubahan social yang revolusioner, diperlukan pemaduan kekuatan gerakan social dan politik. “Gerakan social tidak akan ada artinya jika tanpa di barengi dengan gerakan politik. Begitu pula sebalikmya,” tegas dia.
Cerminan adanya penggabungan antara gerakan social dan politik ini sekarang ada di Nangroe Aceh Darussalam. Berdasarkan peraturan perundangan yang ada, pemerintah pusat membolehnya partai local ikut menjadi kontestan pemilu. Partai local yang dimaksud antara lain Partai Aceh, Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), Partai Bersatu Atjeh (PBA), Partai Daulat Atjeh (PDA), Partai Rakyat Aceh (PRA) dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA). “Partai local di Nangore Aceh Darussalam ini ada karena pemerintah memberi hak otonomi khusus. Dengan munculnya fenomena partai local, maka celah memperjuangan kepentingan rakyat menjadi lebih terbuka,” paparnya.
Munculnya gerakan social dan politik yang teraktulasiasi dalam bentuk partai local ini menurut Gusti Suryansah, pengamat politik dari Universitas Tanjungpura, merupakan sebuah fenomena yang wajar. Mengapa demikian? Karena adanay sebuah keseragaman dalam menjadikan semuanya perjuangan suci dan doktrin itu berhasil menampilkan pengabdian, nafsu mengejar kekuasaan, persatuan dan kerela berkobanan yang militan. Semuanya lahir dalam rahim rasa kekecewaan atau ketidak puasan. Alasan inilah yang menjadi pendorong utama dari adanya berbagai perubahan yang terjadi terhadap realita social, politik dan ekonomi. “Tujuan dari gerakan social dan politik ini hanya satu, yakni ingin mengubah sebuah keadaan menjadi lebih baik di masa yang akan datang,” pungkasnya.(go)