Catatan Pringgo—Pontianak
TIDAK seperti bentuk mesjid kebanyakan, bangunan Mesjid Jami Sultan Syarif Abdurrahman, Pontianak terlihat begitu megah. Meski arsitekturnya terbilang sederhana, namun nuansa keislamanya terlihat amat kentara. Masjid ini bentuk atapnya berundak empat. Makin keatas, bentuk dan ukurannya semakin kecil. Atap mesjid jami terbuat dari bahan sirap.
Jika di perhatikan secara lebih mendalam, bentuk dari bangunan mesjid jami cendrung mengadopsi ciri bangunan ala Eropa. Hal ini terlihat dari adanya mahkota pada puncak atap. Di bagian dalam mesjid jami, pada ruang utama disana berdiri 6 tiang utama dengan diameter 60 cm. Tiang-tiang itu terbuat dari bahan kayu belian dan di perkirakan telah berusia lebih dari 180 tahun.
Di sisi kanan dan kiri mesjid jami terdapat sejumlah pintu dan jendela berukuran besar. Bentuknya terbilang unik, yakni berciri Eropa. Sentuhan arsitektur Islam ala negeri Timur Tengah baru terlihat pada bagian kubah dan mimbar. Catatan sejarah menyebutkan bahwa mesjid jami ini didirian pada 23 Oktober 1771 M, oleh Pangeran Syarif Abdurrahman, Sultan Pontianak. Pada tahun 1821 M, Sultan Syarif Usman melakuan pemugaran dengan memeperluas bangunan masjid sehingga menjadi panjang 33,27 m dan lebar 27,74 m.
Seperti diungkapkan M Natsir, peneliti dari Balai Pelestarian Sejarah Pontianak, masjid jami merupakan salah satu bangunan bersejarah yang harus terus di lestarikan. Disebut bersejarah karena pendiriannya dilakukan seiring dengan berdirinya Kraton Kadriah, Pontianak.
“Selain berfungsi sebagai pusat ibadah, mesjid jami juga digunakan sebagai wadah bagi penyebaran syiar Islam. Beberapa ulama terkenal terbilang pernah mengajarkan agama Islam di masjid ini. Mereka itu adalah Muhammad Al-Kadri, Habib Abdullah Zawawi, Syekh Zawawi, Syekh Madani, H. Ismail Jabbar dan H. Ismail Kelantan,” terangnya.
Seorang sejarawan Belanda, VJ. Verth, dalam bukunya Borneos Wester Afdeling, menerangkan bahwa Syarif Abdurrahman Alqadrie merupakan putra dari ulama Syarif Hussein bin Ahmad Alqadrie atau yang lebih di kenal Al Habib Husin. Sebagai putra ulama besar, Syarif Abdurrahman ternyata terpanggil untuk mensyiarkan Islam. Bersama rombongan yang kala itu berjumlah 14 buah perahu Lancang Kuning, mereka menyusuri Sungai Kapuas ke arah hulu.
Pada 23 Oktober 1771 M, rombongan Syarief Abdurrahman Alqadrie akhirnya sampai di muara persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Oleh sebagian orang, daerah itu konon dulunya di penuhi oleh mahluk halus Kuntilanak. Untuk menjauhkan mahluk halus yang ada, Syarif Abdurrahman Alqadrie kemudian menembakkan meriam. Dia berikrar dimana pun peluru meriam itu jatuh, maka disanalah wilayah kesultanannya didirikan. Peluru meriam itu ternyata jatuh melewati simpang tiga Sungai Kapuas dan Sungai Landak yang kini lebih dikenal dengan Beting Kampung Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur.
Setelah mengetahui letak jatuhnya peluru meriam, Syarif Abdurrahman Alqadrie beserta rombongan kemudian naik ke darat. Mereka menebas hutan belantara untuk dijadikan daerah pemukiman baru yang di kemudian gari dinamakan Pontianak. Di daerah baru tersebut, Syarif Abdurrahman Aqadrie kemudian membangun sebuah masjid dan istana untuk sultannya.
Awalnya, masjid jami dibangun dengan beratapkan daun rumbia. Konstruksinya terbuat kayu belian. Pada tahun 1808 M, Syarif Abdurrahman meninggal dunia. Sebenarnya, Syarif Abdurrahman memiliki seorang putera bernama Syarif Usman. Namun karena belum dewasa, maka, sebagai penerus pemerintahan, adiknya bernama Syarif Kasim kemudian naik menjadi sultan, sambil menunggu Syarif Usman dewasa.
Ketika dewasa, Syarif Usman kemudian naik menggantikan pamannya, Syarif Kasim sebagai Sultan Pontianak (1822-1855 M). “Di masa Syarif Usman inilah, pembangunan masjid yang telah dirintis oleh ayahnya dilanjutkan kembali. Setelah selesai, masjid itu dinamakan Masjid Abdurrahman, sebagai penghormatan dan untuk mengenang jasa-jasa ayahnya,” terang Natsir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar