Senin, 12 Oktober 2009

Perspektif Islam Terhadap HaKI

Kisruh klaim budaya Indonesia oleh Malaysia masih menghiasai berita-berita utama media massa kita. Lalu bagaimana Islam memandang khasanah kekayaan intelektual –salahsatunya adalah karya seni—sebagai aset dan bagaimana Islam memposisikan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI)?

Catatan Pringgo—Pontianak

MEMANG tidak ada ayat khusus dalam Al Qur'an yang mengatur soal HaKI, dengan kata lain masalah HaKI tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al Qur'an. Lagi pula masalah perlindungan HaKI ini termasuk masalah baru yang belum dikenal pada masyarakat dahulu.

Secara implisit, perlindungan hak intelektual tetap ditemukan dalam sistem hukum Islam. Karena konsep hak itu sendiri yang dalam perspektif hukum Islam, tidak baku dan bisa berkembang secara fleksibel. Fleksibilitas penerapan dengan sasaran yang jelas itulah termasuk salah satu ciri khas hukum Islam.

Karena ketiadaan ketentuan eksplisit, maka sumber hukum yang digunakan adalah maslahah mursalah (kemaslahatan umum). Yaitu, setiap sesuatu atau tindakan yang sesuai dengan tujuan syariat Islam, dan mempunyai nilai mendatangkan kebaikan dan menghilangkan kerusakan, namun tidak mempunyai dalil eksplisit, hukumnya harus dijalankan dan ditegakkan. Kemaslahatan tersebut misalnya bisa dilihat dari aspek bahwa pencipta atau penemu temuan baru tersebut telah membelanjakan begitu besar waktu, biaya dan pikirannya untuk menemukan suatu temuan baru. Karena itu sudah selayaknya dilindungi temuannya tersebut. Kemudian, temuan baru tersebut mempunyai nilai harga dan bisa komersial, seperti terlihat bila itu dijual akan mendapatkan keuntungan yang tidak sedikit. Karena itu melindungi temuan baru tersebut tidak ada bedanya dengan melindungi harta yang sifatnya fisik. (huquq maliyyah)

Menurut pendapat Iman Sulaeman, aktivis social yang juga Branch Manager Rumah Zakat Indonesia Cabang Pontianak, menempatkan HaKI sebagai harta otomatis akan menempatkan hukum-hukum atas kepemilikan harta untuk mengambil hukum atas HaKI. Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa Islam melindungi kepemilikan individu. "Sesungguhnya darah (jiwa) dan hartamu adalah haram (mulia, dilindungi)" (H.R. al-Tirmizi). Hadist lain mengatakan Ketahuilah: tidak halal bagi seseorang sedikit pun dari harta saudaranya kecuali dengan kerelaan hatinya" (H.R. Ahmad).

HaKI Bertentangan dengan Islam? Ketika masih tinggal di Bandung, Iman mendengar ada sebuah komunitas yang bermarkas di Jl.Multatuli menyuarakan anti HaKI. Alasan mereka adalah barang berbentuk seperti buku, sesungguhnya merupakan kumpulan ilmu pengetahuan hasil dari karunia Allah SWT. Maksudnya, ilmu pengetahuan yang tertulis dalam buku itu adalah ciptaan Allah SWT. (HaKI yang sedang dipermasalahkan kala itu adalah hak cipta buku). Sedangkan manusia atau penulisnya, menurut mereka hanya sekadar menggali dan menuliskannya. Itu pun kalau dikehendaki oleh Allah SWT. Karena, banyak juga orang menulis tetapi tidak dikehendaki oleh-Nya sehingga tidak jadi sebuah buku atau gagal diterbitkan.

Alasan lainnya adalah: karya (barang atau seni) apa pun itu merupakan karunia dari Allah SWT. Oleh karena itu, tidak layak kalau diklaim sebagai hasil ciptaannya. Biarkan orang lain turut memanfaatkannya. Boleh jadi pendapat ini berangkat dari isi dalam salah satu ayat Al Qur'an, yaitu surat Al Imran (QS 3:189) dan surat Al Baqoroh (QS 2:29). Kedua ayat tersebut memuat firman Allah yang intinya menyatakan bahwa kepemilikan mutlak adalah pada Allah, manusia hanya didelegasikan.

Iman mengaku kurang sependapat dengan penggunaan kedua ayat tersebut untuk menghilangkan hak atas karya ihtiar manusia menghasikan karya tebaiknya. Hemat penulis, pengakuan atas HaKI bukan semata-mata penafian atas sifat Maha Pencipta dari Allah SWT, melainkan sebagai bentuk penghargaan dan pengakuan atas kapasitas seseorang dalam mengoptimalkan daya pikirnya menghasilkan karya terbaik yang bermanfaat bagi manusia. Tentu saja HaKI dimaksud tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Selanjutnya, kaat Iman, alasan perlindungan HaKI ini sebagai salah satu produk dari budaya kapitalisme mungkin ada benarnya. Pasalnya, perlindungan ini sepintas mengandung salah satu ciri khas budaya kapitalisme yang menjunjung tinggi hak-hak individualistis di atas kepemilikan bersama. Lihat saja beberapa pasal dalam UU Hak Cipta dan UU HKI lainnya yang memberikan hak eksklusif bagi pencipta atau penemu untuk memanfaatkan dan memonopoli ciptaannya selama jangka waktu tertentu. Kepada siapa saja yang hendak ikut memanfaatkannya harus membayar sejumlah uang sebagai royalti kepada pencipta atau penemu tersebut.

Dari satu sudut pandang tertentu, perlindungan seperti itu di satu pihak bisa menjadi perangsang bagi seseorang untuk mencipta dan mencipta. Namun di lain pihak, perlindungan itu bisa menghambat orang lain untuk merasakan manfaat yang sama. Misalnya, kemajuan teknologi yang selama ini didominasi oleh bangsa Barat. Bahkan Indonesia sendiri pernah berpandangan seperti itu dan memutuskan untuk keluar dari konvensi tentang Hak Cipta sedunia. “Indonesia merasa terhambat untuk ikut memanfaatkan kemajuan teknologi, karena harus membayar royalti kepada bangsa asing,” ujarnya.

Adalah Perdana Menteri Djuanda, yang pada 1958 menyatakan bahwa Indonesia keluar dari Konvensi Bern. Tujuan beliau antara lain agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta dan karsa bangsa asing, tanpa harus membayar royalti. Namun demikian, ternyata keputusan yang diharapkan dapat memacu intensitas penelitian tidak dimanfaatkan oleh para intelektual kita. Akibatnya keluarnya Indonesia dari konvensi tersebut, tidak menambah kaya khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia.

Saat ini pun teknologi dirasa masih sangat mahal. Umumnya, buku-buku berisi teori-teori yang berkaitan dengan perkembangan teknologi informasi keluaran luar negeri tidak dijual dengan murah. Kondisi serupa juga terjadi di bidang komputer. Software yang sudah terlanjur akrab di kalangan pengguna Indonesia harga aslinya bisa melebihi harga komputer itu sendiri.

Kembali ke permasalahan awal, klaim budaya Indonesia oleh Malaysia. Jika dalam kehidupan internasional, individu kita ibaratkan sebuah bangsa, tak elok rasanya bila negara tetangga menggunakan kekayaan intelektual negara ini sebagai bahan promosi negaranya. Karena Islam mengakui adanya hak milik individu yang melekat pada setiap ummatnya. “Hikmah yang bisa kita petik adalah saatnya kita introspeksi, jangan-jangan kita telah melakukan pembajakan juga terhadap karya bangsa atau orang lain. Naudzubillah,” pungkas Iman.

Tidak ada komentar: