Kondisi resettlement pengungsian di Desa Kalimas, Kecamatan Seungai Kakap kini telah maju pesat. Berbeda dengan kedaan 40 tahun yang silam. Kala itu kawasan tersebut merupakan hutan nipah yang amat lebat. Lokasinya amat terpencil, jauh dari hangar bingar kota. Seperti apa kisah penghuni kawasan Kasih Kalimas ini?
Catatan Pringgo—Kalimas
SETELAH setengah jam menyusuri jalan raya Pontianak-Sungai Kakap, akhirnya mobil dinas milik Unit Pengobatan Paru-Paru (UP4) Kalimantan Barat yang kami tumpangi tiba di Pasar Desa Kalimas. Turut serta dalam rombongan kecil ini, pendiri UP4 Kalbar, dr Muherman Harun berserta istri; mantan Direktur RSUD Soedarso Pontianak, dr JK Sinyor MQIH beserta istri, Kepala TU UP4 Kalbar, Hamdi S. Bafiroes SH.MKes serta saya sendiri, wartawan Pontianak Post.
Saat tiba di Pasar Kalimas, rombongan kami sempat ragu akan kebenaran tempat yang akan di tuju. Maklum, Desa Kalimas yang sekarang terlihat jauh lebih maju. Kepada salah seorang warga, Muherman bertanya tentang alamat kediaman dari salah seorang sahabatnya yang bernama Ahui. Ahui merupakan warga pengungsian resettlement di Kalimas. “Bapak belok kanan saja. Jalan saja lurus. Begitu ketemu jembatan kayu, langsung belok kiri. Rumahnya persis ujung sebelah kiri dari jembatan tersebut,” jelas wanita paruh baya itu dengan nada ramah.
Karena merasa belum paham penar dengan informasi yang di peroleh, dr Sinyor pun mencoba menghubungi Ahui, lewat telpon selularnya. Kepada Ahui, dia menginformasikan bahwa rombongan telah tiba di Pasar Kalimas. Mendapat kabar yang demikian, Ahui yang berada di ujung telpon sana menjawab “baik, sebentar saya datang menyusul”.
Tidak seberapa lama yang tinanti pun tiba. Ahui datang dengan mengendarai Vario biru yang terlihat masih baru. Setelah sejenak berbincang, rombongan kami pun membuntuti laju sepeda motor Ahui. Tak sampai lima belas menin kemudian, kami pun tiba di kediaman Ahui. Disana, beberapa warga Tionghoa yang usinya sudah tidak lagi muda terlihat menanti kedatangan kami. “Perkenalkan, ini dr Muherman Harun, pendiri dan penggagas proyek Kasih Kalimas,” terang Ahui memperkenalkan.
Dengan penuh rasa hormat, rombongan pun di persilahkan masuk. Kepada seluruh tamu dan undangan, Ahui menjelaskan bahwa keberadaan para pengungsian di Kalimas telah memasuki tahun ke-40. Berdasarkan catatan yang ada, penempatan tahap pertama warga Tionghoa ke kawasan Kalimas ini berlangsung pada tahun 1969-1970.
Kala itu, penempatan pengungsian gelombang pertama di sebut proyek A, dengan jumlah 68 kepala keluarga. Pada tahun 1972, proyek B kembali digelar dengan menempatkan 52 kepala keluarga. Khusus untuk pelaksanaan proyek C, jumlah pengungsi warga Tionghoa mulai di kurangi hingga tinggal 25 persen, selebihnya adalah warga suku Bali, Jawa, Bungis, Melayu, Dayak serta Batak. Jumlah mereka yang ditempatkan di Kalimas kala itu mencapai 152 kepala keluarga. Pola yang sama juga di terapkan dalam pelaksanaan proyek D, di tahun 1979, dengan jumlah warga 65 kepala keluarga.
“Karena kawasan Kasih Kalimas telah padat dengan warga pengungsian, akhirnya pemerintah mengeluarkan kebijakan baru, yakni menempatkan pengungsi ke Sungai Punggur. Kegiatan ini terkenal dengan sebutan proyek Kasih 2,” jelas Ahui.
Di Sungai Punggur, sekarang bernama Desa Punggur, pada tahun 1981 jumlah pengungsi yang di tempatkan disana mencapai 820 kepala keluarga. Angka ini perlahan di kurangi menjadi 400 kepala keluarga pada penempatan tahun 1982-1987. Seiring dengan perjalananan waktu, kawasan Kasih Kalimas menjelma menjadi sebuah desa yang padat akan penduduk. Sebagaimana diungkapkan Sekdes Kalimas, Sudirman, saat ini jumlah dusun di Desa Kalimas ada lima, yakni Dusun Beringin, Dusun Cempaka, Dusun Mawar, Dusun Melati dan Dusun Anggrek. “Nah, lokasi pengungsian warga Tionghoa berpusat di Dusun Beringin,” terangnya.
Berdasarkan data statistik kependudukan yang ada di Desa Kalimas, kata Sudirman, mayoritas penduduk di desanya bermata pencaharian sebagai petani. Tak mengherankan apabila desa Kalimas terkenal sebagai salah satu sentra padi dan sayur mayur di Kecamatan Sungai Kakap.
Untuk bisa hidup layak seperti saat ini, semua warga Desa Kalimas, khususnya warga pengungsi Tionghoa harus bekerja keras dalam membuka dan mengolah lahan pertanian. seperti di kisahkan Ahui, ketika pertama kali datang ke kawasan Kasih Kalimas, yang pertama kali dilihatnya adalah rerimbunan hutan nipah. Lokasi tempat mereka tinggal di kelilingi oleh sungai yang lebar dan panjang berliku. “Saya ingat benar, kala itu sampan adalah satu-satunya alat transportasi yang paling efektif. Waktu itu jalan darat sangat sulit dilalui. Tidak seperti sekarang,” kenangnya.
Untuk memulai hidup baru, Ahui sekeluarga harus rela mendiami rumah berukuran 4x6 meter. Rumah sangat sederhana itu dinding dan atapnya terbuat dari daun nipah yang dianyam. Hanya dinding depan rumah saja yang terbuat dari papan semperan. Sebagai modal awal, dia dan seluruh keluarga di pengungsian Kalimas di beri jatah hidup oleh pemerintah selama satu tahun penuh. Tidak hanya itu saja, setiap kepala keluarga menerima perabotan masak memasak, peralatan berkebun, serta sejumlah bibit padi dan sayuran mayur. “Kalau ingat masa-masa sulit seperti itu, hati kami menjadi sedih. Dalam keterbatasan yang ada, kesabaran kami benar-benar di uji oleh Tuhan Yang Maha Esa,” ungkapnya penuh rasa haru.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar