Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini tengah dihadapkan dengan persoalan disintegrasi bangsa. Menyadari akan adanya ancaman disintegrasi bangsa tersebut, pemerintah bersama masyarakat bersatu padu untuk mempererat persatuan dan kesatuan melalui peranan nilai tradisional. Tapi sayang, ditengah upaya merajut kesamaan visi dan misi itu ternyata muncul sebuah fenomena primordialisme gaya baru. Seperti apa wujudnya, berikut Dr. Ir. Pangeran Ratu Mardan Adijaya, MSc dari Istana Amantubillah Mempawah, memaparkannya.
Catatan Pringgo—Pontianak
KEHIDUPAN masyarakat Kalimantan Barat di jaman kerajaan yang silam terbilang sangat harmonis. Pola hidup saling hormat menghormati ini terus berkembang hingga ke Negara Bagian Sabah dan Sarawak (Malaysia) serta Brunei Darussalam. Seiring dengan perkembangan jaman, semangat yang diwariskan para leluhur itu kian lama kian memudar.
Puncak dari pergerusan budaya ini terjadi ketika bangsa Indonesia dilanda badai kerisis moneter di tahun 1998. Akibat dasyatnya kerisis berkepanjangan ini, lama kelamaan krisis moneter berubah bentuk menjadi krisis multi dimensi. Ditengah kondisi bangsa yang morat-marit tersebut, stagnansi dalam kehidupan masyarakat pun terjadi. Karena merasa tak kuat menanggu tekanan hidup, masyarakat menjadi galau sehingga berakibat pada munculnya fenomena kekeraan dan main hakim sendiri (social violent).
Disisi lain, memanifestasikan ekspresi masyarakat terhadap ketidak-percayaannya terhadap sistem keadilan hukum, sosial dan ekonomi yang terjadi sebelum dan pada saat reformasi itu berlangsung. Masyarakat kehilangan rasa aman, sebagai konsekuensi logisnya, mereka menciptakan rasa aman itu dengan cara mengkristalisasikan dirinya dalam kelompok-kelompok yang memiliki ciri homophilis (banyak kesamaan), terutama
Kondisi yang demikian dipandang sebagai dampak negatif dari reformasi dan otonomi daerah. Walhasil, fenomena ini dianggap sebagai sebuah euphoria demokrasi. Situasi tampak semakin buruk manakala kelompok-kelompok primordial gaya baru mulai bermunculan. “Indikasinya dapat terlihat dari terbentuk kembali ikatan paguyuban (gemeinschaft) di lingkungan masyarakat perkotaan (urban area) yang mengacu pada primordialisme. Sementara di perkotaan sendiri (yang notebene mencerminkan modernisasi) muncul kelompok-kelompok patembayan (gesselschaft) yang lebih mengacu pada profesionalisme,” jelas Mardan.
Kendati tampak berseberangan, lanjutnya, namun secara struktur sosial tercipta sebuah keselarasan nilai, antara unsure tradisionalisme dan modernisme. Keduanya mampu hidup berdampingan dalam struktur masyarakat, baik dalam fisik maupun psikis.
Masyarakat sekarang lebih menginginkan adanya sentra-sentra sosial dan budaya yang bisa mengikat secara lebih natural. Secara histories, sentra-sentra sosial budaya (simpul sosio-kultural) itu diaktualisasikan kedalam bentuk Istana atau Keraton. Istana Amantubillah di Mempawah, misalnya. Keberadaan istana ini merupakan simpul dari sosiokultural kemasyarakatan. Di Kalbar, kehadiran istana merupakan perwujudan dari sentra budaya daerah. Disebut demikian karena Istana Amantubillah di Mempawah memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan keraton-keraton lain yang ada di Jawa atau Bali.
Di Kalimantan Barat, kata Mardan, tidak dikenal adanya budaya dominan, sehingga pola interaksi masyarakatnya cenderung kepada proses amalgamasi. Sejarah berdirinya keraton-keraton tersebut bila dikaji lebih jauh, mencerminkan suatu amalgansi budaya dari berbagai etnis besar yang ada di nusantara serta dari luar. Contoh kasus, Istana Amantubillah dulunya merupakan pusat Kerajaan Mempawah (Kalimantan Barat). Keraton/istana lain yang ada di Kalimantan Barat pada umumnya mempunyai banyak kesamaan dalam adat-istiadatnya. Dan yang lebih menarik adalah kenyataan antara satu kerajaan dengan kerajaan lainnya ada keterkaitan kekerabatan. Raja-raja yang pernah memerintah di Istana Amantubillah adalah keturunan dari berbagai etnis, bukan dari latar belakang satu etnis seperti kerajaan kebanyakan.
Lahir Dari Keberagaman Warna Budaya
Sebagai gambaran dapat dilihat dari ringkasan silsilah Kerajaan Mempawah. Raja Mempawah pertama Panembahan Adijaya Kesuma Jaya, adalah anak dari Pangeran Mas Surya Negara (Opu Daeng Menambon) dari etnis bugis dan Ratu Agung Sinuhun (Ratu Kesumba) anak dari sultan Zainuddin yang berdarah Majapahit dan Mas Indrawati yang berdarah dayak dan melayu. Kemudian kalau dicermati lebih lanjut, terlihat raja-raja dan kerabat-kerabat istananya, sangat terbuka dalam hal memilih pasangan hidup ; dari Jawa, Sunda, Arab, Cina, dll. Sehingga darah keturunan mereka sangat beragam, tidak dapat dikatakan lagi hanya berdarah bugis dan melayu. Hal ini dapat dikatakan sebagai kepiawaian Opu Daeng Menambon (keturunan raja bugis dari kerajaan Luwu’ Sulawesi Selatan) beserta empat orang adik beradiknya (Opu Daeng Perani, Opu Daeng Marewa, Opu Daeng Chelak dan Opu Daeng Kemaseh) dalam mengimplementasikan sistem nilai budaya diplomasi yang dianutnya.
Kepiawaian mereka inilah yang membuat mereka terkenal di seantero kerajaan bagian barat nusantara, termasuk di daerah semenanjung Malaysia, Malaysia Timur dan Kamboja. Sebagai perantau dari tanah bugis (Sulawesi Selatan), Opu adik beradik memegang prinsip telu’ pacak (tiga ujung) sebagai bekal dalam berinteraksi dengan orang lain di tempat yang mereka kunjungi. Tak dapat dipungkiri bahwa keberanian dan ketangguhan dalam ilmu kemaritiman, serta keteguhan pada prinsip tiga ujung diataslah, yang pada akhirnya memperluas tali silaturrahmi/kekerabatan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dengan kerajaan-kerajaan lainnya diseantero nusantara. Hasil dari penerapan tiga ujung oleh Opu lima beradik, menjadikan hubungan perdagangan, pertahanan dan keamanan bersama yang kuat pada kerajaan-kerajaan di kawasan tersebut, seperti Riau, Selangor, Johor, Sambas, Pontianak, Batavia, Jawa, Banjar dan Sulawesi Selatan.
Adapun uraian dari tiga prinsip di atas dapat dipaparkan secara ringkas sebagai berikut. Ujung pertama merupakan ujung lidah, dimana dalam berhubungan dengan orang lain (seperti perdagangan dan perluasan wilayah gerak) diutamakan cara diplomasi. Bilamana cara diplomasi tidak memberikan hasil yang memuaskan, maka cara kedua yang ditempuh ujung laso (kemaluan lelaki), yaitu mempertautkan dua kerajaan melalui ikatan perkawinan. Hal tersebut juga berlaku pada sebagian besar raja-raja di nusantara pada saat itu, sehingga tidaklah mengherankan bila raja beristrikan lebih dari satu orang. Bilamana cara diplomasi dan cara perkawinan tidak juga memberikan hasil, barulah ujung badik (peperangan) sebagai cara terakhir dalam menyelesaikan perkara; cara-cara kekerasan dipilih sebagai jalan terakhir.
Adat dan budaya yang diwariskan secara turun-temurun merupkan kekayaan yang tak ternilai harganua. Berbahagialah lingkungan Istana Amantubillah khususnya, serta istana atau keraton lain pada umumnya yang masih memegang teguh amanah dari para leluhur. Di istana yang satu ini, adat serta budayanya merupakan hasil amalgamasi dari etnis Melayu, Bugis, Dayak, Arab, Jawa, dll. Hal ini dapat diungkapkan dari berbagai upacara adat dan keseniannya, pola interaksi yang dianut dan benda hasil karya atau peninggalan sejarahnya.
Keanekaragman warna budaya ini tersaji dalam upacara adat buang-buang atau tolak bala. Upacara ini dilakukan dengan sarana telur mentah yang telah diolesi minyak ‘bau’(khas bugis), sirih seleka dan beberapa perlengkapan lainnya yang dilarung (dihanyutkan) di sungai, bukanlah murni kebudayaan bugis. Maksud dari upacara buang-buang ini adalah untuk tolak bala juga serta mengingat keberadaan saudara “buaya” yang merupakan anak keturunan panembahan Senggaok atau juga dikenal sebagai Panembahan Kudong/Tak Berpusar (Dayak) dengan Ratu Buaya yang bermukim di Lubuk Sauh (Sungai Mempawah).
Adapun tujuannya adalah untuk pemberitahukan kepada yang hidup dan para leluhur tentang niat dari si pemilik acara. Ketika acara pernikahan, misalnya. Malam hari sebelum acara pernikahan dimulai, biasanya oleh para orang tua dilakukan upacara Buang-Buang. Di tanah Jawa, upacara serupa dikenal dengan nama Malam Widodaren. Adat ini juga berlaku ketika upacara sunatan atau pengukuhan gelar kebangsawanan. “Adat Buang-Buang ini merupakan campuran adat Melayu dan Bugis,” jelas Dr. Ir. Pangeran Ratu Mardan Adijaya, MSc dari Istana Amantubillah Mempawah.
Dilihat dari sudut pandang seni suara, seni musik serta seni pentas, Istana Amantubillah mempunyai kaitan dengan unsur budaya tanah Arab, seperti Berzanji (cerita Nabi Muhammad yang didendangkan) serta permainan Hadrah dengan alat musik tar atau rebana. Unsur budaya Jawa terlihat pada adanya perangkat musik Senenan (sejenis gamelan dan gendang). Sementaraa unsur budaya Melayu terdapat alat musik Tanjidor.
Untuk seni panggung, dikalangan Istana Amantubillah Mempawah dikenal Mendu. Seni drama ini dikemas dalam bentuk komedi yang berlatarbelakang sejarah, peristiwa atau hayalan. Mendu ini merupakan seni panggung yang lahir dari perpaduan unsur budaya Melayu-Bugis, Cina dan lainnya. Hal yang sama Seni juga terjadi pada seni beladiri.
Sikap tenggang rasa dan kekeluargaan di antara keluarga Istana Amantubillah dan masyarakat Mempawah terbilang sangat kental. Pada prinsipnya tiga etnis utama yang bermukim pada masa Kerajaan Mempawah (Dayak, Melayu dan Bugis) mempunyai akar budaya yang hampir sama.
Sebagai contoh ungkapan “laut berpagar pasir ,darat berpagar adat” menunjukkan kepatuhan terhadap adat dan “tak pernah lengkang de’panas, tak pernah lapuk de’ ujan“ menunjukkan tekad harus berhasil mencapai cita-cita adalah dari etnis dayak di Mempawah hulu; “tidak sekali-kali adat orang mati dua kali, jika sudah habis dianya punya perkara” menunjukkan kesabaran sudah habis bila terus ditekan. “kau jual, aku beli” menunjukkan kita tidak memulai permusuhan, namun bila orang lain memulai maka dilayani, dan “ biar pecah diperot, jangan pecah dimulot” menunjukkan kemampuan dalam menyimpan rahasia antara dua pihak yang sepakat. Semuanya itu berasal dari khasanah sastra Melayu; ungakapan “sekali layar terkembang, surut kita berpantang” menunjukkan dalam meraih cita-cita tidak ada kata mundur, dan “mati jua yang tenang setelah gugur nekat. Yang nekat mati jua, yang tenang mati jua, maka lebih baik mati nekat” merupakan bagian hukum siri’ dalam mempertahankan harga diri berasal dari etnis Bugis.
Sebagai kelengkapan adat, Istana Amantubillah memiliki berbagai jenis senjata tradisional, mulai dari meriam yang “dikeramatkan” yakni Sigondah dan Raden Mas beserta derivasinya ‘anaknya’, tombak, keris dan pedang bergaya melayu dan jawa, cudik dan badik bergaya bugis, sumpit dan mandau bergaya dayak, meriam VOC dan payung kebesaran bergaya campuran budaya. Dari segi peninggalan/situs sejarah, ada makam/kuburan raja dan kerabat istana serta para panglima dan prajurit, jelas terlihat dari nama – namanya, mereka berasal dari berbagi etnis tersebut diatas, misalnya Makam Lo Wai Pak dan Lo Tai Pak sebagai Panglima Perang dari Etnis Cina; Makam Panembahan Senggaok, Patih Gumantar, dan Panglima Itam (Puang Sompu) dari suku Dayak; Makam Damar Wulan dan Wulan Durejo (puteri) dan Syekh Salim Hambal (adik Pangeran Samber Nyawa), dari Jawa; Makam Karaeng Siti Fatimah, K.Talibe, K.Parewang dan K.Pareweng dari Bugis; Makam Panglima Imam Kulat dan Sigentar Alam dari Melayu;
Makam Pangeran Yusuf dari Palembang; Makam Aji Muhammad Saleh dari Kutai Kertanegara; Makam Syayid Al Habib Husin Al – Qadri ( Besannya Opu Daeng Menambon) dan rekannya Syeikh Ali bin Fakih al Fatani yang merupakan penyebar (guru besar/mufti) agama Islam dari Arab dan Thailand Selatan, dan masih banyak lagi makam –makam lainnya.
Keberadaan tahta kerajaanpun dari masa – masa menurut Mardan merupakan hasil dukungan luas dari masyarakatnya yang nota–bene dari berbagai etnis. Peristiwa penyumpahan di tepi sungai lubuk gundul pada jaman Panembahan Adijaya Kesuma Jaya, yang intinya pengakuan setia kepada Raja Keturunan Patih Gumantar oleh 14 Binua Mempawah Hulu (saudara suku Dayak), yang diikuti kehendak rakyatnya merebut kembali kekuasaan dari Belanda, yang hendak di kembalikan kepada Rajanya yang Sah (Panembahan Adijaya Kesuma Jaya), merupakan contoh Kemanunggalan (kesatuan) rakyat dan Rajanya. Kemudian peristiwa pengukuhan Panembahan terakhir ( Pangeran Gusti Jimmi Mohammad Ibrahim), merupakan desakan dari para temenggung Dayak dan tokoh masyarakat Melayu-Bugis, setelah mereka kehilangan Panembahan Thaufik Acchamadin yang terbunuh oleh kekejaman tentara Jepang.
Demikian pula dengan prosesi penobatan kembali raja–raja/pemangku adat di seluruh Istana/Keraton di Kalbar saat ini, lebih dikarenakan oleh keinginan dan kebutuhan masyarakat sekitar istana/kraton, yang menghendaki adanya tokoh panutan dan “tempat bertanya” terhadap permasalahan keseharian yang mereka hadapi. Sebagai sentra sosial-budaya, keberadan Istana Amantubillah diharapkan dapat menjadi centripetal force (kekuatan pengikat) dalam rangka mengakomodir berbagai kepentingan kelompok primordial. Sekaligus meredusir sisi negatif akibat munculnya kembali fenomena kelompok–kelompok primordial tersebut. “Jadi yang ingin kami tegaskan disini, disamping ada kesamaan mendasar fungsi istana/kraton di Jawa dan Luar Jawa, khususnya di Kalimantan Barat, yakni sebagai “kiblat” sosio-kultural dan symbol pemersatu masyarakat, juga terdapat perbedaan yang substansial yakni kalau di Jawa terdapat budaya dominan, maka di Luar Jawa, khususnya di Kalimantan Barat adalah budaya amalgamasi yang perlu dikelola secara lebih arif,” terang Mardan.
2 komentar:
ane pernah berbincang ringan dengan Pangeran Ratu..orangnya hangat. Ucapannya yang paling berkesan adalah saat saya tanya apa hakikat keraton buat seorang Mardan Adijaya.
Dia menjawab dengan pelan namun tegas. "Keraton itu di sini," kata dia seraya menunjuk hatinya sendiri.
boss...apa kabar neh...betah di pinyuh?
Pernah baca dikoran Pontianak post
Posting Komentar