Minggu, 28 Juni 2009

Anak Hantu di Bagikan Secara Percuma

Rektor Universitas Tanjungpura (Untan), Prof DR H Chairil Effendi MS punya gaya yang unik dalam acara pengukuhan dirinya sebagai guru besar Untan. Dalam acara tersebut, dia membagikan “Anak Hantu”. Karya sastra lisan yang di bukukan itu

merupakan rekaman dari penuturan Marjani, warga Kampung Sejangkung, Kecamatan Sejangkung, Kabupaten Sambas. Apa yang menjadi alasan Chairil membagikan karya sastra lawas tersebut?

Catatan Pringgo—Pontianak

MENDENGAR nama anak hantu, dalam imajinasi kita tentu akan muncul sosok yang menyerankanAnak hantu mungkin di gambarkan sebagai mahluk yang berkulit hitam legam, bertubuh tinggi besar, bertaring serta berambut panjang yang awut-awutan. Benarkah demikian? Ternyata desktipsi tentang sosok Anak Hantu itu salah besar.

Folklore Anak Hantu itu sebenarnya memuat petuah bijak tentang sifat hidup manusia. Berdasarkan penuturan Marjani yang kemudian di rekam, di deskripsikan, di terjemahkan dan di tulis oleh Chairil Effendi. Buku Anak Hantu itu sendiri menceritakan kisah seorang putri raja yang tengah jatuh sakit. Kondisi putri yang amat memprihatinkan itu telah membuat hati sang raja risau.

Berbagai cara telah dilakukannya untuk menyembuhkan sang putri. Tapi sayang, ikhtiarnya tidak membuahkan hasil. Suatu ketika, raja bermimpi mendapat bisikan gaib Kepadanya, suara gaib itu memberi tahu kalau sang putri hanya bisa di sembuhkan oleh seorang miskin yang tinggal di ujung wilayah kerajaan. Suara gaib itu juga mengingatkan kepada sang raja untuk tidak inkar janji.

Keesokan harinya, sang raja memerintahkan kepada patih untuk memanggil seorang miskin tinggal di ujung kerajaan. Si miskin itu setiap hari bekerja sebagai pencari miding (tanaman paku-pakuan) di hutan. Ketika sampai di hadapan raja, si miskin langsung membuat air penawar. Ajaib. Dalam sekejab sang putri langsung sembuh seperti sedia kala. Merasa senang hati, raja pun menawarkan hadiah kepada si miskin. Kepada sang raja, si miskin hanya mengajukan satu permintaan, yakni berikan hadiah kepada tiga anak hantu yang saat ini tengah berkeliaran di luar sana.

Siapa gerangan tiga anak hantu yang dimaksud? Anak hantu yang pertama memiliki rambut yang panjang diikat, pipi di beri pupur, suka berteriak-teriak sewaktu orang sedang sembahyang Magrib. Yang perempuan selalu tampil dengan dandannan lelaki dan senang mengenakan celana pendek. Anak hantu yang kedua selalu berjalan tilanggak-langgak, bersiul-siul, sepak kiri-kanan, dan ketika berjumpa barang orang selalu dirusakkan. Sementara anak hantu ketiga selalu mengurangi timbangan. Sekilo dikatakan delapan ons, delapan ons dikatakan sekilo.
Kisah tiga anak hantu itu sebenarnya merupakan gambaran dari sifat manusia yang mulai lupa akan nilai-nilai kehidupan. Sikap hidup yang seharusnya penuh kasih sayang, sopan santun, serta ikhlas hati ternyata telah berganti dengan sifat benci, angkuh, sombong, serta riak. “Anak Hantu ini merupakan satu dari lima cerita rakyat yang ada dalam seri dongeng Melayu. Lima cerita lain yang juga terbit dalam buku Anak Hantu ini adalah kisah Si Bondang, Si Arif dan Si Bahlul, serta kisah Si Jalal dan Si Jalil, serta kisah Si Rancah Matahari dan Si Rancah Bulan,” terang Chairil yang 9 Mei lalu berulang tahun ke-52.

Ketertarikan Chairil terhadap cerita rakyat ini bermula saat Nek Keti, nenek dari sisi ayahnya. Kira-kira empat puluh lima hingga empat puluh tahun lalu, saya beserta kakak dan adik-adik saya, setiap malam, menjelang tidur, selalu “didongengi”[1] oleh nenek. Setiap malam, selama bertahun-tahun, nenek men-“dongeng”-kan berbagai cerita: cerita tentang kehidupan binatang, cerita tentang kehidupan orang-orang pandir, cerita tentang kehidupan orang-orang miskin, cerita tentang kehidupan para peri, cerita tentang kehidupan para raja dan putri-putrinya yang cantik nan jelita, cerita tentang kehidupan para wira, cerita tentang kehidupan para dewa di kayangan, dan sebagainya.

Nenek saya pandai sekali men-“dongeng”. Ia campin mendeskripsikan tampilan fisik dan karakter para tokohnya sehingga kami sering berdecak kagum membayangkan kecantikan putri kayangan dan kegagahan tokoh divine being—manusia setengah dewa; benci dan takut membayangkan tokoh-tokoh raksasa seperti Nenek Gergasi; atau, tertawa terbahak-bahak membayangkan kebodohan Pak Pandir, Pak Belalang, Lebai Malang, atau Pak Salui. Dalam pada itu, ia juga piawai menjalin berbagai kejadian dan peristiwa sehingga kami selalu penasaran dan menyela penceritaan nenek untuk mengetahui kelanjutan jalan ceritanya dengan kata-kata “terus apalagi, Nek”, “lalu bagaimana nasib si putri”, dan sebagainya. Meskipun demikian, tidak jarang pula kami terlelap sebelum nenek menyelesaikan ceritanya. Menurut cerita ibu kepada kami, setelah kami dewasa, ibu kerap melihat nenek terus men-“dongeng” sementara kami telah berlayar di alam mimpi.

Setelah lama nenek meninggal dunia kerap muncul pertanyaan dalam benak saya bagaimana nenek dapat melakukan semua itu? Bagaimana proses dia menjadi pen-“dongeng handal”? Dari siapa dan bagaimana dia mendapatkan cerita-ceritanya? Mungkinkah dia menghafal cerita yang jumlahnya banyak itu? Apakah dengan mendongeng itu nenek semata-mata ingin mendongeng atau ingin menyampaikan sesuatu kepada kami? Mengapa semakin hari semakin sedikit orang yang pandai mendongeng?

“Pertanyaan-pertanyaan itu sangat menggoda. Seperti air mengalir, sejak tahun 1977, saya mulai mempelajari dan menggeluti dunia sastra sebagai satu disiplin ilmu. Dan Alhamdulillah, dari cerita rakyat yang di kisahkan oleh Nek Keti itu saya dikukuhkan sebagai guru besar dengan menyandang gelar professor,” ungkap pria kelahiran Singkawang, 9 Mei 1957 ini.


Tidak ada komentar: