Selasa, 20 Oktober 2009

Resettlement Pengungsian Kalimas 1969-2009 (habis)

Berhasil di Kalimas, Liu Liang Kit Enggan Pulang ke Monterado

Liu Liang Kit kini sudah tidak lagi muda. Di usia senjanya, dia telah hidup dengan tenteram di Kalimas. Baginya, Kalimas merupakan surga. Hutan belantara yang dulunya terasa begitu menyeramkan, kini telah berubah menjadi sebuah perkampungan yang amat menyenangkan. Seperti apa perjuangan hidupnya di Resettlement Pengungsian Kalimas?


Catatan Pringgo—Kalimas


MULANYA Liu merasa sedikit enggan untuk berbagi cerita tentang pengalaman hidupnya di kompleks Kasih Kalimas. Dia beranggapan hal itu tidaklah penting untuk di ketahui. Menurutnya, cukup istri dan anak-anak saja yang tahu kisah perjalanan hidupnya di tanah rantau, Kalimas.

Namun semua menjadi lain manakala Dr Muherman Harun dan istri tercintanya datang menemui Lui di Kalimas, Jumat (16/10) lalu. Dengan penuh rasa haru, Liu menyalami tokoh pendiri sekaligus pengagas proyek Kasih Kalimas tersebut. Saat diminta menceritakan kisah hidupnya selama di Kalimas oleh Muherman, Liu pun dengan senang hati mau bercerita.

Dikisahkan, sebelum mengikuti program Kasih Kalimas, Liu muda sempat tinggal selama dua tahun di barak pengungsian di Singkawang. Oleh orangtuanya, Liu diminta untuk melanjutkan sekolah ke Pontianak. Anjuran dari kedua orangtuanya itu ternyata hanya bisa di jalani selama tiga bulan saja. Selebihnya, Liu memilih untuk mengadu nasib di Kalimas. Keputusan yang berani ini dia ambil pada tahun 1970.

Seperti kebanyakan pengungsi Tionghoa lainnya, Liu yang pada saat itu masih hidup membujang berhasil menemukan tambatan hati di Kalimas. Kepada istri tercintanya, Liu berjanji akan memberikan kebahagiaan di tanah penuh harapan, Kalimas. Jalan menuju terwujudnya janji itu ternyata sangat panjang dan berliku. Perjalanan hidup Liu yang semula terasa ringan, kian lama terasa cukup berat. Beban hidup terasa begitu sulit ketika satu persatu cahaya matanya lahir.

“Hati ini terasa sedih jika mengingat masa-masa sulit itu. Ketika anak sakit, saya harus pergi membawanya ke rumah mantri kesehatan yang kala itu jaraknya cukup jauh. Untuk sampai ke sana butuh perjuangan berat. Maklum, akses transportasi yang ada kala itu hanya sampan kayuh,” tutur lelaki asal Monterado ini.

Cobaan yang di hadapi Liu tidak berhenti sampai disitu saja. Ketika musim tanam tiba, ladang pertaniannya sempat terendam air pasang. Bila sudah begini, jadwal tanam pun menjadi tertunda. Bagi kaum tani, kondisi yang demikian jelas merupakan sebuah kerugian yang cukup besar. Agenda tanam yang harusnya bisa dua atau tiga kali tanam dalam setahun, semua berubah. Dalam setahun, terkadang Liu hanya bisa bercocok tanam satu atau dua kali saja.

Belajar dari pengalaman yang ada, Liu pun berupaya mengatur pola tanam dengan lebih memperhatikan factor iklim serta perubahan cuaca. Hasilnya ternyata sangat menggembirakan. Secara bertahap hasil panen padi serta sayur mayur menjadi bertambah banyak. “Kegagalan dalam bercocok tanam di musim lalu ternyata menjadi guru bagi saya. Melalui pola tanam yang terencana, akhirnya saya bisa berhasil,” ungkapnya bahagia.

Kini kehidupan ekonomi Liu telah berubah. Liu yang dulu hidup susah sekarang bisa tersenyum gembira. Anak-anak sekarang telah bisa hidup mandiri. Rumah pemberian pemerintah yang dulunya beratap dan berdinding daun nipah sekarang telah lebih permanent. Jalan aspal yang dulu pernah di impi-impikan sekarang telah terbentang mulus di depan mata. Kebahagiaan hati terasa lebih lengkap manakala layanan listri dari PLN bisa di nikmati oleh warga Kalimas. “Dulu, apabila hendak pergi ke Sungai Jawi, kami harus berkayuh sampai sampai setengah hari lamanya. Keadaan terasa semakin sulit manakala air sungai surut. Bila sudah demikian, kami pun tidak bisa mudik ke kampung,” kenang Liu.

Ketika Dr Muherman Harun menawarkan kepada Liu untuk pulang ke Monterado, kampung halamannya, dengan berat hati Liu pun menolak. Alasannya sangat sederhana, yakni Liu telah jatuh hati dengan Kalimas. Kalau pun Liu berkunjung ke Monterado, disana dia tentu banyak menemui wajah-wajah baru yang tidak di kenalinya. “Lebih baik disini, di Kalimas,” imbuhnya sembari tersenyum.

Tidak ada komentar: