Saat membaca buku Francis Fukuyama, The Great Disruption: Human Nature and the Reconstruction of the Social Order, NY: The Free Press, 1999, disana ditemukan sebuah kesadaran baru yang berkembang di negara-negara maju. Uniknya, kesadaran baru tersebut ramai-ramai ditiru oleh sejumlah Negara “kurang maju”. Inti dari kesadaran baru itu adalah kembali kearah sesuatu yang “tidak kelihatan” sebagai dasar mentalitas manusia untuk situasi baru (globalisasi). Seperti apa yang dimaksud dengan yang tidak kelihatan itu?
Catatan Pringgo--Mempawah
Menurut penjabaran dari REV. FR. Johanes Robini Marianto , O.P, Direktur Centre for Research and Inter-Religious Dialogue (CRID) Indonesia, yang dimaksud dengan tidak kelihatan disini ini bukanlah nilai-nilai agama (paling tidak menurut Francis Fukuyama), tetapi nilai-nilai yang akan menjadi pijakan bersama di dalam hidup bermasyarakat. Nilai-nilai tersebut akan menjadi perekat dan titik tolak di dalam hubungan kemasyarakatan.
Apa arti dari Social Capital (SC) dalam benak Francis Fukuyama? SC itu merupakan seperangkat nilai-nilai yang diyakini atau disepakati dan dihidupi bersama oleh sebuah kelompok masyarakat sehingga mereka bisa hidup bersama sebagai satu unit masyarakat dan saling bekerjasama. Nilai yang paling dasar adalah kepercayaan (trust) yang bisa merekatkan semua pihak. Masih menurut Francis Fukuyama, nilai-nilai seperti kebenaran, kewajiban satu dengan yang lain dan saling berbagi dan kolaborasi. Sepenting apakah SC itu? Francis Fukuyama dalam bukunya mengatakan tanpa SC sebagai perekat maka sebuah masyarakat akan terdisintegrasi (pecah). Kalau ditilik lebih dalam, konsep SC akan menjadi sangat pentingbagi kehidupan masyarakat, tidak hanya masyarakat modern (negara maju), tetapi juga bagi masyarakat yang hidup di jaman globalisasi.
Globalisasi yang intinya semua pihak bisa saling bertemu dan dipertemukan, terutama oleh kemajuan tehnologi informasi dan komunikasi membutuhkan sebuah perangkat untuk bisa hidup bersama secara damai. Dengan hadirnya era globalisasi dengan segala tawaran yang ada orang di hadapkan pada pengambilan sikap. Dalam pengambilan sikap ini, lanjut Robini, bisa berbentuk positif (menerima begitu saja globalisasi) atau negative (menolak begitu saja globalisasi). Namun masalahnya bukan “either…or…” (pilih atau menolak). “Kita menerima atau tidak dunia ini bergerak terus setiap saat. Kita hidup sekarang pada sebuah kenyataan yang namanya globalisasi. Ini sebuah fakta lepas dari keputusan menerima atau menolak. Pengambilan sikap yang arif bukanlah menerima atau menolak, tetapi bagaimana menyiasasti sebuah kenyataan,” ujar Robini yang kerap disapa Romo ini.
Kebudayaan Dalam Jendela Commensurate Pluralism
Satu masalah yang paling besar ketika berhadapan dengan kenyataan globalisasi adalah bagaimana menyikapi “yang satu dan yang jamak”. Lima puluh tahun yang silam, kita mungkin masih bisa menerima ada masyarakat yang tertutup dan tidak terjamah oleh pengaruh luar. Bahkan masyarakat bisa saja homogen. Namun sekarang, kita hidup di lingkungan dimana setiap orang saling bertemu antara satu dengan lain, dalam keadaan yang berbeda.
Di sinilah kita bisa melihat bahwa integrasi sosial lama menjadi kabur dan bisa saja menjadi dipertanyakan kevalidannya. Orang bisa saja mengatakan menolak total dan kembali kepada yang orang punyai (yang satu/tunggal/monolitik), namun pilihan tersebut sama tidak mungkinnya dengan mengatakan memilih semua (jamak/pluralisme total). Yang pertama akan mengalami sebuah clash (konflik) dan yang kedua akan kehilangan jati-diri. Di sinilah konsep SC sangatlah diperlukan. Kita perlu mencari sebuah konsensus baru kemasyarakatan di mana terdapat aturan-aturan atau nilai-nilai yang bisa saja baru atau sudah ada dan dimiliki oleh semua kebudayaan yang kiranya bisa menjadi basis bersama/konsensus bersama sehingga tidaklah terjadi disintegrasi sosial.
Untuk kembali kepada jaman firdaus (monolitik) tampaklah tidak mungkin lagi dan hanyalah khayalan utopia. Dan untuk memaksakkan semua orang ikut apa yang kita mau (monolitik) jugalah tidak mungkin. Semua pihak harus mempunyai kapasistas untuk saling menyesuaikan diri. Ungkapan “di mana bumi dipijak, langit dijunjung” menjadi setengah benar. Karena pihak lain yang datang pun perlu diterima dan semua pihak perlu menyesuaikan diri kembali karena masyarakat tidaklah monolitik lagi. Di dalam situasi demikian, pencarian SC menjadi penting dan untuk menemukan SC yang bisa merekatkan bersama perlulah sebuah paradigma baru, yaitu pluralisme.
Pluralisme yang dimaksud disini, kata Romo Robini, bukanlah total pluralisme kehilangan jati-diri, melainkan “commensurate pluralism,” yang artinya membedakan antara isi (substansi) dan bentuk (format). Di setiap kebudayaan pasti ada nilai-nilai yang bisa merekatkan hidup bersama (mis. Toleran, saling berbagi, dsb) dan ini merupahkan jati diri dari setiap kebudayaan sebagai shared-values sebuah kelompok. Ketika bertemu dengan pihak (kebudayaan) lain yang mempunyai nilai-nilai (konsep) demikian yang kurang lebih sama maka akan keluar sebuah konsensus baru yang intinya ada nilai-nilai yang di-share bersama dan dijadikan sebagai titik tolak komunikasi antar kebudayaan sehingga bisa menjadi perekat di situasi baru.
Nilai-nilai tersebut tentu nantinya tidaklah mono-interpretasi lagi (dimonopoli oleh sebuah kelompok), melainkan bisa berkembang kearah extended-meaning (arti/makna yang telah diperluas) di dalam situasi baru justru karena pertemuan antar budaya tersebut. Namun arti yang diperluas bukanlah total baru di dalam karena masing-masing pihak punya konsep tersebut (berakar di dalam tradisi) dan hanya karena pertemuan dengan pihak lain akhirnya sama-sama saling menyumbangkan arti dan menafsirkan kembali arti dari sebuah hal yang sama-sama dimiliki sehingga bisa diterima semua pihak dan menjadi perekat hidup bersama di dalam situasi baru. “Inilah format baru tanpa menghancurkan isi (jati diri),” terangnya.
Bhineka Tunggal Ika
Motto atau falsafah hidup bangsa Indonesia, Bhineka Tunggal Ika, memang menarik untuk disimak. Inti dari motto tersebut adalah biarpun jamak, namun tetap membentuk satu kesatuan. Lantas, apa yang menyebabkan terjadinya kesatuan? Jawabannya sederhana, yakni adanya kesamaan visi kebangsaan. Visi kebangsaan itu timbul karena adanya pengalaman sejarah (pengalaman kolonialisme dan perjuangan kemerdekaan). Pelajaran pertama dari motto tersebut adalah membentuk sebuah komunitas atau masyarakat pluralis yang sehat dan merekatkan perlu ada dua elemen dasar, yaitu visi bersama dan pengalaman sejarah.
Visi bersama di dalam pembahasan kita untuk semangat/mentalitas pluralisme adalah visi kebangsaan/nasionalisme itu sendiri (bahwa kita semua bangsa Indonesia tanpa kecuali) dan kita ingin hidup bersama secara damai demi pembangunan. Tanpa adanya visi tersebut, yang intinya semangat kebangsaan (nasionalisme) dan keterbukaan akan pihak lain untuk hidup berdamai demi sesuatu yang berguna bagi kemajuan, hal ini tidaklah mungkin. Hal kedua adalah pengalaman sejarah. Apakah kita bisa menggali pengalaman sejarah yang membuat kita terdorong untuk meninggalkan cara pandang monolitik dan berganti ke arah pluralis?
Untuk ke arah pluralisme kita memerlukan sebuah paradigma baru. Inti paradigma baru itu adalah kesatuan sebagai visi dasar, mencari kesamaan fundamental di antara perbedaan yang tampak, dan melihat kenyataan dari sisi atau dimensi lain. “Inilah yang saya maksud dengan mencoba lakukan dengan menawarkan dua konsep yang mungkin filosofis, namun merupahkan paradigma yang bisa berguna, yaitu konsep kesatuan transcendental dan konsep analogi. Kedua konsep ini berhubungan satu sama lain dan mengandaikan satu sama lain,” papar Romo Robini yang juga Vice Director Centre for Studies of East Asia Area (PUKKAT) State Islamic University (UIN) “Syarif Hidayatullah” Jakarta.
Dilihat dari maksudnya, kesatuan yang ingin dituju bukanlah kesatuan monolitik, artinya semua sama saja (homogenitas). Ini namanya univocal. Di balik semua yang kelihatannya berbeda tetap ada kesamaan, minimal sesame manusia. Adalah tidak mungkin bila tidak ada berbeda tanpa disertai kesamaan. Perbedaan total yang ada adalah sesuatu yang mustahil. Kondisi seperti itu dinamakan ekuivokal. Di balik semua, yang berbeda mesti diklasifikasikan lagi, baik antara perbedaan substansial maupun perbedaan aksidental.
Perbedaan substansial hanyalah terjadi apabila substansi/esensi/zat hal yang satu berbeda dengan hal yang lain, misanya antara binatang dengan manusia. Antara zat/esensi/substansi yang sama mungkin atau bisa saja atau bahkan ada yang pasti terdapat perbedaan. Namun perbedaan ini tidaklah merubah zat/esensi/substansi. Inilah yang dinamakan perbedaan aksidental. Apa implikasinya bagi kesatuan transcendental? Bahwa kesatuan yang kita tuju itu berdasarkan kesamaan substansi/zat/esensi/kodrat tanpa menghilangkan perbedaan yang aksidental. Ini adalah kesatuan di dalam perbedaan. Kesatuan demikian tidaklah akan menciptakan homogenitas (semua sama saja dan harus sama saja). Kesatuan homogen mengkhianati kodrta terdalam dari tata ciptaan dan semesta.
Setiap kebudayaan tentulah ada persamaan: sama-sama dihasilkan manusia dan demi manusia serta anggota sebuah kelompok kebudayaan adalah manusia dan mempunyai/memiliki nilai-nilai universal yang di semua kebudayaan ada (mis: tidak boleh membunuh sesame, tidak boleh mencuri, dsb). Manifestasi atau bagaimana menwujudkannya di dalam norma-norma kongkret dan “bungkusnya” akan berbeda satu sama lain. Maka jauh dari saling menegasi/konflik, seharusnya semua kebudayaan bisa menyatu dan berkolaborasi. Maka adalah sikap yang aneh dan terbelakang kalau kita berani menghakimi sebuah kebudayaan superior atau inferior. Kita harus berterima kasih kepada aliran post-modernisme yang membantu kita meninggalkan sikap “orientalisme” yang merupahkan aliran klasik abad XVIII-XIX yang membedakan kebudayaan modern (maju dan pasti bagus/positif) dan tradisional/primitive (pasti negative dan terbelakang). Semua kebudayaan sama uniknya dan sama-sama mempunyai eksistensi yang sah di dunia ini.
“Konsep lain yang perlu kita kembangkan adalah analogi. Analogi mengatakan dua hal, pertama mengungkap realitas ada persamaan dan perbedaan pada waktu yang sama. Ini hal yang sama ketika menjelaskan kesatuan transcendental (maka tidak perlu dielaborasi lebih lanjut). Kedua berbicara realitas lebih besar dari pada yang kita bisa definisikan. Realitas itu bukan hanya dilihat/didefinisikan dari segi “apa itu,” tetapi bukan ini serta bukan itu,” ungkapnya.
Kemampuan manusia untuk menangkap realitas itu terbatas, terutama usaha untuk mendefinisikan sebuah realitas. Kadangkala kita begitu yakin dengan definisi kita sendiri atas kelompok kita sendiri dan kelompok orang lain. Padahal ini hanya satu sisi yang kita bisa tangkap. Dunia realitas adalah dunia yang tetap ada “misteri” yang tidak bisa diterangkan secara lengkap, apalagi didefinisikan. Maka ada tempat di mana terdapat “ruang kosong penuh misteri yang harus mengundang kekaguman dan kontemplasi.” Kebudayaan dalam bentuk manifestasinya yang tampak hanyalah ekspresi atau ungkapan lahir yang bisa dibaca dari realitas kemanusiaan yang misteri dan tidak bisa didefinisikan total.
Kalau S. Freud mengakui bahwa ada peranan “bawah sadar,” maka banyak tokoh-tokoh kebudayaan setelah dia bicara juga pengaruh “bawah sadar” dalam kebudayaan. Dan kalau kita bicara “bawah sadar” kita bicara mengenai sesuatu yang misteri (tidak gampang digali total). Maka dari itu setiap hal yang melibatkan manusia pasti ada sisi misterinya karena manusia sendiri adalah sebuah misteri. Maka dari itu, adalah terlalu cepat untuk menghakimi dengan gaya “orientalisme” tentang sebuah kebudayaan, apalagi ekspresinya. Sikap yang kedua yang dibutuhkan dalam paradigma pluralisme adalah: memberikan “ruang kosong” pada rasio dan hati menghadapi sebuah misteri hidup dan manusia dengan segala manifestasinya.
Kembali Kepada Social Capital (SC)
Di dalam ekonomi dikenal financial capital, yakni hal yang berhubungan dengan uang atau permodalan, human capital (berhubungan dengan SDM), bahkan Physical capital (gedung dan pra-sarana). Francis Fukuyama mengatakan masih perlu ditambah satu, yaitu social capital. SC inilah yang akan membuat masyarakat tidak akan disintegrasi (pecah) dan konflik. Dalam konteks globalisasi tampaknya pertemuan budaya satu sama lain akan semakin terasa. Hal ini tentu tentu tidak bisa kita hindari. Di dalam bukunya yang terbaru Anthony Giddens, Runaway World: How Globalization is Reshaping Our Lives, London: Profile Books, 2002, dikatakan bahwa globalisasi tidak hanya membuat orang tertarik keluar dari dirinya menuju dunia, namun juga membuat orang semakin tertarik ke dalam dirinya, yaitu sadar akan identitasnya yang lain.
Khusus mengenai hal kedua (tertarik ke dalam) akan terjadi penguatan identitas diri dan kalau tidak dilakoni dengan baik akan membawa benturan satu sama lain (konflik). Justru karena indikasi serius demikian perlulah diubah cara pandang kita akan “yang lain” dengan paradigma (cara pandang) yang baru. Selain itu perlu ditemukan kembali SC yang pasti terdapat di masing-masing kebudayaan yang karena di era global ini bertemu satu sama lain akan saling memberi-menerima sehingga terciptalah semua consensus baru kebudayaan manusia yang lebih baik dan manusiawi. Ini yang disebut oleh A. Guddens sebagai “cosmopolitan tolerance.” Semoga.