Kamis, 27 Desember 2007

Hakekat Berkurba Dalam Realitas Sosial

Memaknai Keikhlasan Lewat Simbolisasi

Berkurban merupakan perintah yang sangat dianjurkan bagi kaum muslimin yang memiliki kemampuan menunaikannya. Ia merupakan salah satu bentuk ibadah maaliyah ijtimaiyah, memiliki efek ganda, yaitu ketauhidan dan manfaat sosial. Bagaimana sebaiknya umat Islam menyikapi semangat berkurban ini?

Catatan Pringgo—Pontianak


SEORANG muslim akan mampu menghilangkan rasa memiliki yang berlebihan terhadap harta hanya lewat pengembangan sikap ikhlas kepada Allah SWT. Ditilik dari sisi manfaat sosial, bentuk kongkrit dari ikhlas hati ini dapat terlihat dengan adanya kegiatan kurban. Bagi umat muslim, berkurban merupakan jembatan penghubung antara kaum papa dan yang berada.

Melalui ibadah berkurban, ikatan tali persaudaraan antara satu dengan yang lain pasti akan semakin kokoh terjalin.Ibadah kurban selayaknya membuat jalinan silaturrahmi aghniyaa-dhuafa menjadi semakin erat. Kaum dhuafa sama-sama dapat merasakan kebahagiaan dalam menyambut salah satu hari besar bagi umat Islam ini.

Perintah berkurban telah Allah turunkan dalam Al-Quran Surat 22 ayat 34: “Dan bagi tiap-tiap ummat, Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk kepada-Nya.”

Berangkat dari semangat berkurban tersebut, Lembaga Pendidikan Kesantrian Darul Ihya Pontianak melalui Lembaga Amil Zakat Nasionalnya bersedia menjadi fasilitator bagi muqorib dan mustahik. Bagi mereka yang tidak memiliki cukup waktu, relatif terbatas relasi pendistribusiannya, dan ingin mendapatkan pelayanan plus dalam melaksanakannya. Untuk itu Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhiid menyelenggarakan program tebar kurban dengan tema “Kurban Peduli Negeri”.

Penceramah kondang KH Abdullah Gimnasiar atau yang lebih akrab disapa AA Gym pernah mengatakan sehebat apapun suatu amal bila tidak ikhlas, tidak ada apa-apanya dihadapan Allah SWT, sedang amal yang sederhana saja akan menjadi luar biasa dihadapan Allah SWT bila disertai dengan ikhlas. Tidaklah heran seandainya shalat yang kita kerjakan belum terasa khusyu, atau hati selalu resah dan gelisah dan hidup tidak merasa nyaman dan bahagia, karena kunci dari itu semua belum kita dapatkan, yaitu sebuah keikhlasan.
Syaikh Ahmad Ibnu Athaillah berkata dalam kitab Al Hikam, “Amal perbuatan itu sebagai kerangka yang tegak, sedang ruh (jiwa) nya adalah tempat terdapatnya rahasia ikhlas (ketulusan) dalam amal perbuatan”. Ciri-ciri dari orang yang memiliki keikhlasan antara lain hidupnya jarang sekali merasa kecewa. Orang yang ikhlas dia tidak akan pernah berubah sikapnya seandainya disaat dia berbuat sesuatu kebaikan ada yang memujinya, atau tidak ada yang memuji/menilainya bahkan dicacipun hatinya tetap tenang, karena ia yakin bahwa amalnya bukanlah untuk mendapatkan penilaian sesama yang selalu berubah tetapi dia bulatkan seutuhnya hanya ingin mendapatkan penilaian yang sempurna dari Allah SWT.
Kedua, tidak tergantung / berharap pada makhluk. Sayyidina ’Ali pun pernah berkata, orang yang ikhlas itu jangankan untuk mendapatkan pujian, diberikan ucapan terima kasih pun dia sama sekali tidak akan pernah mengharapkannya, karena setiap kita beramal hakikatnya kita itu sedang berinteraksi dengan Allah, oleh karenanya harapan yang ada akan senantiasa tertuju kepada keridhaan Allah semata.
Ketiga, tidak pernah membedakan antara amal besar dan amal kecil. Diriwayatkan bahwa Imam Ghazali pernah bermimpi, dan dalam mimpinya beliau mendapatkan kabar bahwa amalan yang besar yang pernah beliau lakukan diantaranya adalah disaat beliau melihat ada seekor lalat yang masuk kedalam tempat tintanya, lalu beliau angkat lalat tersebut dengan hati-hati lalu dibersihkannya dan sampai akhirnya lalat itupun bisa kembali terbang dengan sehat. Maka sekecil apapun sebuah amal apabila kita kerjakan dengan sempurna dan benar-benar tiada harapan yang muncul pada selain Allah, maka akan menjadi amal yang sangat besar dihadapan Allah SWT.
Keempat, banyak amal kebaikan yang rahasia. Mungkin ketika kita mengaji dilingkungan orang banyak maka kita akan mengaji dengan enaknya, lama dan penuh khidmat, ketika kita shalat berjamaah apalagi sebagai imam kita akan berusaha khusyu dan lama, tapi apakah hal tersebut akan kita lakukan dengan kadar yang sama disaat kita beramal sendirian ? apabila amal kita tetap sama bahkan cenderung lebih baik, lebih lama, lebih enak dan lebih khusyuk maka itu bisa diharapkan sebagai amalan yang ikhlas. Namun bila yang terjadi sebaliknya, ada kemungkinan amal kita belumlah ikhlas.
Kelima, tidak membedakan antara bendera, golongan, ras, atau organisasi. Fitrah manusia adalah ingin mendapatkan pengakuan dan penilaian dari keberadaannya dan segala aktivitasnya, namun pengakuan dan penilaian makhluk, baik perorangan, organisasi atau instansi tempat kerja itu relatif dan akan senantiasa berubah, banyak orang yang pernah dianggap sebagai pahlawan namun seiring waktu berjalan adakalanya berubah menjadi sosok penjahat yang patut diwaspadai. Maka tiada penilaian dan pengakuan yang paling baik dan yang harus senantiasa kita usahakan adalah penilaian dan pengakuan dari Allah SWT.
Begitu besar pengaruh orang yang ikhlas itu, sehingga dengan kekuatan niat ikhlasnya mampu menembus ruang dan waktu. Seperti halnya apapun yang dilakukan, diucapkan, dan diisyaratkan Rasulullah, mampu mempengaruhi kita semua walau beliau telah wafat ribuan tahun yang lalu namun kita senantiasa patuh dan taat terhadap apa yang beliau sampaikan.
Bahkan orang yang ikhlas bisa membuat iblis (syaitan) tidak bisa banyak berbuat dalam usahanya untuk menggoda orang ikhlas tersebut. Ingatlah, apapun masalah kita kita janganlah hati kita sampai pada masalah itu, cukuplah hanya ikhtiar dan pikiran saja yang sampai pada masalah tersebut, tapi hati hanya tertambat pada Allah SWt yang Maha Mengetahui akan masalah yang kita hadapi tersebut. Semoga Allah SWT membimbing kita pada jalan-Nya sehingga kita bisa menjadi hamba-Nya yang ikhlas. Amiin.

Pendidikan Non Formal

Tantangan dan Peluang Pembangunan SDM

Sejarah telah mencatat bahwa pendidikan dan belajar merupakan bagian dari kegiatan yang dilakukan manusia dimanapun dan kapanpun. Dalam konteks perubahan, belajar bukan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan melakukan sesuatu atau mengoperasikan peralatan tertentu. Belajar lebih diartikan sebagai suatu upaya untuk mempertahankan hidup dan hidup bersama orang lain. Oleh karenanya, perubahan kebudayaan dan peradaban manusia menuntut satu hal, yakni terus menerus belajar.

Catatan Pringgo—Pontianak


Dalam laporan yang dikeluarkan UNESCO PROPAP pada sidangnya di Bangkok, 1996, disebutkan bahwa permasalahan pendidikan di negara dunia ketiga adalah lebih mengedepankan kebijakan program pendidikan sekolah yang lebih memberikan perhatian lebih kepada mereka yang pandai. Sementara yang kurang pandai dan kurang beruntung—karena factor ekonomi, geografis dan social bidaya—terabaikan.

Salah satu butir rekomendasi dalam laporan UNIESCO tersebut menyebutkan bagi negara-negara anggota perlu lebih menggalakkan program Pendidikan Non Formal (PNF), seperti menuntaskan buta aksara (illiteracy) dan kesempatan untuk belajar sepanjang hayat bagi mereka yang kurang pandai dan kurang beruntung, juga bagi mereka yang putus sekolah serta yang ingin mengembangkan pendidikan lanjutan selepas dari bangku sekolah.

Menurut DR. M. Syukri, MPd, pakar PNF dari FKIP Universitas Tanjungpura, Pontianak, penekanan kebijakan pada PNF sesungguhnya dilandasi oleh dua alasan pokok. Pertama, mengatasi kelemahan pendidikan sekolah (pendidikan formal), dimana pendidikan formal dinilai tidak cukup memenuhi pemenuhan peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan serta keterampilan. Dan yang kedua, terjadinya kecendrungan global yang menuntut dilakukannya peningkatan SDM yang dilakukan secara cepat dan efektif. “Upaya ini hanya mungkin dilakukan apabila masyarakat yang masih buta huruf dituntaskan programnya dan pendidikan berkelanjutan terus diupayakan,” terangnya.

Terkait upaya peningkatan kualitas SDM melalui PNF, Syukri memiliki beberapa konsep penyelenggaraan PNF yang memiliki keterkaitan dengan ruang lingkup, karakteristik, fungsi, asas, jenis serta kedudukan dari PNF itu sendiri.


Pengertian, Tujuan dan Sasaran PNF
Konsep awal dari PNF ini muncul sekitar akhir tahun 60-an hingga awal tahun 70-an. Philip Coombs dan Manzoor A., P.H. (1985) dalam bukunya The World Crisis In Education mengungkapkan pendidikan itu pada dasarnya dibagi menjadi tiga jenis, yakni Pendidikan Formal (PF), Pendidikan Non Formal (PNF) dan Pendidikan In Formal (PIF). Khusus untuk PNF, Coombs mengartikannya sebagai sebuah kegiatan yang diorganisasikan diluar system persekolahan yang mapan, apakah dilakukan secara terpisahatau bagian terpenting dari kegiatan yang lebih luas dilakukan secara sengaja untuk melayani anak didik tertentu untuk mencapai tujuan belajarnya.

Penjelasan yang sama terdapat pula di UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang System Pendidikan Nasional (SPN), dimana disana dijelaskan bahwa pendidikan diselenggaran di dua jalur, yakni jalur sekolah (pendidikan formal) dan jalur luar sekolah (PNF dan PIF). Dalam perubahan UU tentang SPN yang diperbaharui menjadi UU Nomor 20 Tahun 2003, istilah jalur pendidikan sekolah dan pendidilan luar sekolah berubah menjadi system PF, PNF dan PIF. “Dalam UU ini dijelaskan bahwa PNF adalah jalur pendidikan diluar PF yang dapat dilaksanakan secata terstruktur dan berjenjang. Sedangkan PIF merupakan jalur pendidikan keluarga dan lingkungan,” terang Syukri.

DalamUU Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 26 ayat 1 dijelaskan bahwa PNF diselenggaran bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/atau pelengkap PF dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Lebih lanjut dalam ayat 2 dijelaskan PNF berfungsi mengembangkan potensi peserta didik (warga belajar) dengan penekanan pada pengusasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian professional.

Sementara di ayat 3, disana disebutkan bahwa PNF meliputi pendidikan kecakapan hidup(life skills); pendidikan anak usia dini; pendidikan kepemudaan; pendidikan pemberdayaan perempuan; pendidikan keaksaraan; pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja; pendidikan kesetaraan; serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.

Ditilik dari satuan pendidikannya, pelaksanaan PNF terdiri dari kursus; lembaga pelatihan; kelompok belajar; Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM); majelis taklim; serta satuan pendidikan yang sejenis (pasal 26 ayat 4). Disamping itu, dalam pasal 26 ayat 5, disana dijelaskan bahwa kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hasil pendidikan keaksaraan dapat dihargai setara dengan hasil program PF setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemda dengan mengacu pada SPN (pasal 26 ayat 6).

Sasaran dan Karakteristik PNF
Sasaran PNF dapat ditinjau dari beberapa segi, yakni pelayanan, sasaran khusus, pranata system pengajaran dan pelembagaan program. Titilik dari segi pelayanan, sasaran PNF adalah melayani anak usia sekolah (0-6 tahun), anak usia sekolah dasar (7-12 tahun), anak usia pendidikan menengah (13-18 tahun), anak usia perguruan tinggi (19-24 tahun). Ditinjau dari segi sasaran khusus, PNF mendidik anak terlantar, anak yatim piatu, korban narkoba, perempuan penghibur, anak cacat mentau maupun cacat tubuh.

Dari segi pranata, penyelenggaraan kegiatan pembelajaran dilakukan dilingkungan keluarga, pendidikan perluasan wawasan desa dan pendidikan keterampilan.

Di segi layanan masyarakat, sasaran PNF antara lain membantu masyarakat melalui program PKK, KB, perawatan bayi, peningkatan gizi keluarga, pengetahuan rumah tangga dan penjagaan lingkungan sehat. Dilihat dari segi pengajaran, sasaran PNF sebagai penyelenggara dan pelaksana program kelompok, organisasi dan lembaga pendidikan, program kesenian tradisional ataupun kesenian modern lainnya yaitu menjadi fasilitator bahkan turut serta dalam program keagamaan, seperti mengisi pengajaran di majelis taklim, di pondok pesantren, dan bahkan di beberapa tempat kursus.sedangakn sasaran PNF ditinjau dari segi pelembagaan, yakni kemitraan arau bermitra dengan berbagai pihak penyelenggara program pemberdayaan masyarakat berkoordinasi dengan desa atau pelaksana program pembangunan.

Bagaimana dengan karakteristik PNF? Secara khusus PNF memiliki spesifikasi yang ‘unik’ dibanding pendidikan sekolah, terutama dari berbagai aspek yang dicakupinya. Ini terlihat dari tujuan PNF, yakni memenuhi kebutuhan belajar tertentu yang fungsional bagi kehidupan masa kini dan masa depan, dimana dalam pelaksanananya tidak terlalu menekankan pada ijazah. Dalam waktu pelaksanannya, PNF terbilang relative singkat, menekankan pada kebutuhan di masa sekarang dan masa yang akan dating serta tidak penuh dalam menggunakan waktu alias tidak terus menerus.

Isi dari program PNF ini berpedolam pada kurikulum pusat pada kepentingan peserta didik (warga belajar), mengutamakan aplikasi dimana menekanannya terletak pada keterampilan yang bernilai guna bagi kehidupan peserta didik dan lingkungannya. Soal persyaratan masuk PNF, hal itu ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan bersama antara sesama peserta didik. Proses belajar mengajar dalam PNF pun relative lebih fleksibel, artinya diselenggarakan di lingkungan masyarakat dan keluarga. “Karena semuanya telah jelas, maka tinggal bagaimana kita saja menyikapi keberadaan PNF ini,” ungkapnya.

Senin, 17 Desember 2007

Hari Anti AIDS Sedunia 2007


Bersama Direktur Pontianak Post Group, Drs H Untung Sukarti dan para biker mania merayakan Hari Anti AIDS sedunia di Geraha Pena Pontianak Post, 1 Desember 2007

Dari Seminar Bahasa Indonesia


Mengkaji Penerapan Bahasa dalam Media Massa

Diera sebelum kemerdekaan, bahasa Indonesia merupakan simbol dari jati diri bangsa. Penghargaan ini terlihat dari dijadikannya bahasa Indoensia sebagai alat pemersatu dari berbagai kelompok etnis ke dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seiring dengan perkembangan jaman, bahasa Indonesia kemudian dijadikan sebagai bahasa negara. Selain digunakan sebagai bahasa pengantar sehar-hari, bahasa Indonesia pun digunakan pula sebagai bahasa media massa. Seperti apa penerapannya?
Catatan Pringgo—Pontianak

Media masa memang sangat memegang perna penting dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Lewat pemberitaan yang berimbang, lugas lagi terpercaya, media massa seolah menjadi wahana pemuas dahaga akan informasi bagi masyarakat. Sadar akan arti penting dari media massa tersebut, Pusat Studi Bahasa dan Masyarakat Borneo (PSBMB) bekerjasama dengan sejumlah organisasi pengkajian bahasa di Kalimantan Barat, Sabtu (15/12) lalu menggelar seminar terbuka mengenai Bahasa dalam Media Massa, di Kantor Pusat Bahasa Kalbar, Pontianak.

Seminar sehari ini digelar dalam dua sesi. Sesi pertama menampilkan enam pemateri yang dipanelkan. Mereka adalah Marluwi (Dosen STAIN Pontianak), Martina, Dewi Juliastuti, Yeni Yulianty. Ketiganya peneliti pada Pusat Bahasa Kalbar. Kemudian AR Muzammil (Dekan III FKIP Untan), dan Yanti (LPM STAIN Pontianak).

Sesi kedua akan diisi oleh enam panelis. Lima di antaranya dari Pusat Bahasa: Dedy Ari Asfar, Ika Nilawati, Prima Duantika, Irmayani, dan Wahyu Damayanti. Kemudian Rudi Mariyati dari TK Islam Al Azhar. Sedangkan sesi ketiga akan menampilkan, Nur Iskandar (Pimred Borneo Tribune), Ambaryani (LPM STAIN Pontianak), Yusriadi (Peneliti PSBMB), Sudarsono dan Martono, keduanya dari FKIP Untan.

Marluwi, dosen STAIN Pontianak, dalam makalah singkatnnya yang berjudul Bahasa dan Wacana Media (Upaya memelihara Bahasa Indonesia) mengatakan bahasa adalah identitas, entitas dan sarana komunikasi. Dengan bahasa interaksi sosial dapat dilakukan. Dengan bahasa kita dapat diperkenalkan, memperkenalkan dalam keragaman atau heterogenitas. Hubungan manusia dengan bahasa dapat dilihat sebagai keutuhan tak terpisah. Bahasa berperan dan memiliki makna dalam kehidupan manusia.

Dalam melakukan interaksi sosial bahasa menjadi tumpuan dalam komunikasi antar sesama. Dalam konteks ini bahasa dapat diidentifikasi pada dua: bahasa lisan dan bahasa tulis. Bahasa lisan secara sederhana adalah bahasa tutur yang diekspresikan melalui indera mulut (baca: lisan). Sementara bahasa tulis diekspresikan melalui ranah pena, sebagaimana banyak dipahami melalui karya ilmiah. “Menariknya, keduanya sama-sama berfungsi perankan mediasi interaksi manusia dalam alam sosial. Baik itu bahasa lisan atau bahasa tulisan berfungsi sebagai sarana komunikasi,” terangnya.

Seperti Goenawan Mohamad katakan: “Bahasa adalah medium manusia berhubungan dengan, juga mengungkapkan ataupun menggunakan bahasa Indonesia, tetapi tidak sedikit dalam setiap kolom menggunakan bahasa atau istilah asing (bahasa Inggris) yang susah dipahami oleh masyarakat awam pada umumnya. Adanya interferensi bahasa asing tersebut dipandang mengacaukan penggunaan bahasa Indonesia yang sudah ada. Misalnya interferensi kosakata bahasa Inggris shock therapy dan door prize. Sebenarnya kosakata tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia masing-masing ‘terapi kejut’ dan ‘hadiah langsung’. Hal ini bisa dimaklumi mungkin diakibatkan karena para wartawan menguasai lebih dari satu bahasa. Penggunaan kosa kata atau istilah asing tersebut boleh digunakan, tetapi penggunaannya harus benar sesuai dengan kaidah yang berlaku. Tentunya diharapkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam bentuk lisan maupun tulisan selalu kita kedepankan.

Kalimantan Barat memiliki khazanah kepelbagaian bahasa yang sangat tinggi. Kehidupan berbahasa masyarakatnya multilingual. Setiap daerah kabupaten di wilayah Kalimantan Barat memiliki bermacam-macam varian bahasa lokal yang khas. Bahasa-bahasa lokal ini memainkan peran penting sebagai bahasa lingua franca di kalangan intraetnik tempat bahasa tersebut dituturkan. Khazanah kekayaan lokal ini jarang terdokumentasikan dalam bentuk korpus data yang dapat diakses dengan mudah dan cepat.

Sadar akan kondisi yang demikian, Dedy Ari Asfar dari Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Barat mengatakan korpus data sangat penting sebagai salah satu usaha melestarikan bahasa lokal yang ada di Kalimantan Barat. Dalam tulisan singkatnya yang berjudul ‘Membina Korpus Data Bahasa Daerah dalam Media Cetak’, Dedy menilai dengan adanya korpus data bahasa daerah, dapat digali struktur bahasa lokal tersebut oleh peminat bahasa daerah. “Selain itu, korpus data bahasa daerah dapat dijadikan bahan untuk memperkaya kosakata bahasa Indonesia dan media pengajaran muatan lokal di sekolah,” ungkapnya.

Oleh karena itu, mengembangkan dan membina korpus data bahasa daerah di dalam media cetak pada satu kolom khusus bermanfaat untuk pendokumentasian dan pelestarian bahasa daerah secara berkelanjutan. Bahkan media cetak menjadi pusat rujukan dan pangkalan data korpus bahasa daerah yang bisa diakses dan dibaca dengan cepat oleh khalayak ramai

Bahasa Sastra dalam Koran
Dalam khayalan atau kenyataan, sang Pencipta melakukan ‘dialog’ yang tidak pernah tanpa tujuan dengan public—lawan bicara (bahwa jika publik itu terkadang dirinya sendiri) serta memiliki keindahan yang membuat orang betah membaca. Hal ini tertuang jelas dalam tulisan Yeni Yulianti dari Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Barat.

Dijelaskan Yeni, dalam pemberitaan media massa--terutama media cetak yang berupa harian--penggunaan bahasa sastra masih kurang populer. Media tersebut lebih sering menggunakan jenis straight news dengan bahasa yang bercirikan lugas, jelas dan tepat sasaran. Hal ini sesuai dengan perkembangan zaman yang menuntut setiap orang untuk mendapatkan informasi secepatnya.

Namun, bahasa straight news memiliki kekurangan, yaitu lebih cenderung datar dan monoton. Selain itu, aturan-aturan dalam bahasa straight news juga membatasi penulis/wartawan untuk mengembangkan beritanya secara lebih dalam. “Penulis tidak leluasa untuk menuliskan deskripsi kejadian secara detail, maupun menggambarkan emosi para pelaku dalam sebuah peristiwa,” ungkapnya.

Oleh sebab itu, penggunaan bahasa sastra dapat menjadi alternatif yang menjembatani persoalan-persoalan tersebut. Sebab, keluwesan bahasa sastra dapat membuat penulis menyampaikan informasi secara mendalam dengan menggambarkan detail kejadian, baik tempat, lingkungan, sampai pada emosi para pelaku. Sehingga, informasi dapat diterima dengan utuh, sebab pembaca dibuat seakan-akan berada ditempat kejadian dengan penulisan deskripsi yang detail.

Meski demikian, penggunaan bahasa sastra tidak bisa diterapkan pada semua berita dalam media harian. Sebab, berita yang menggunakan bahasa sastra cenderung lebih panjang. Hal ini penting untuk mempertimbangkan efektifitas penggunaan, dan jumlah halaman, sehingga mempengaruhi banyaknya berita yang dapat dimuat dalam harian tersebut. Oleh sebab itu, beberapa media harian, menggunakan bahasa sastra dalam berita tertentu saja, yakni berita yang menonjolkan sisi-sisi kemanusiaan. Karya jurnalistik dengan menggunakan bahasa pihak mana kita tidak mengerti. Tetapi secara hukum dinyatakan ruislag itu legal dan sah. Ini pegangan kita. Pemprov berkewajiban menyelamatkan ke-46 siswa ilegal yang dijadikan tameng oleh kelompok Nurlela.” Untuk menekan dan mendapat dukungan dari masyarakat, Sutiyoso menggunakan kata “tameng” (siswa sebagai tameng). Penggunaan tersebut jelas menuduh pihak Nurlela mengorbankan siswa. Masing-masing orang yang terlibat dalam konflik akan berusaha mempermalukan atau menghina lawan, tujuannya untuk mendiamkan atau menguasainya, dengan memberi komentar beberapa aspek dari penampilan atau masa lalu lawannya

Ideologi Dalam Wacana Berita di Koran
Koran merupakan sarana informasi (berita) untuk masyarakat. Informasi yang diasmpaikan wartawan sangat membantu pembaca memperoleh informasi. Informasi yang disampaikan berisi tentang sosial, agama, ekonomi, budaya, politik. Berita yang disampaikan menggunakan bahasa. Bahasa dalam pandangan analisis wacana kritis (AWK) dapat digunakan untuk memaksakan kehendak kepada orang lain.

Martono, dosen FKIP Untan Pontianak dalam tulisannya yang berjudul ‘Ideologi Dalam Wacana Berita di Koran’ menjelaskan ada keinginan untuk menanamkan ideologi kepada kelompok orang lain.

Oleh karena itu, analisis wacana kritis mempertimbangkan elemen kekuasaan (power). Setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakapan apapun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral, tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Ingat kasus SMPN 56 Melawai Jakarta! Wacana ruislag SMPN 56 Melawai Jakarta terdapat silang pendapat antara pemerintah provinsi DKI (penguasa) dengan pihak Nurlela (guru) yang mempertahankan sekolah tidak dipindahkan.

Dalam upaya memenangkan penerimaan publik, masing-masing menggunakan kosakata sendiri dan berusaha memaksa agar ideologinya diterima masyarakat. Pernyataan Sutiyoso, “kita tidak mencari menang atau kalah. Nurlela memperjuangkan suatu berita. Salah satu unsur kalimat efektif adalah penghematan yang terdiri atas penghilangan bentuk ganda dan penghematan dalam penggunaan kata.

Penggunaan kata bersinonim seperti kata adalah dan merupakan, agar dan supaya, serta hanya dan saja di dalam suatu kalimat merupakan kalimat yang tidak efektif. Hal tersebut dikarenakan penggunaan kata bersinonim dalam suatu kalimat merupakan pemubaziran kata. Tiap-tiap unsur pada pasangan kata bersinonim tersebut mempunyai arti dan fungsi yang hampir sama di dalam sebuah kalimat. Penghematan penggunaan kata berkaitan dengan makna jamak.

Di dalam bahasa Indonesia tidak dikenal bentuk jamak atau tunggal secara tata bahasa. Untuk menyatakan makna jamak, antara lain, dapat dilakukan pengulangan atau penambahan kata yang menyatakan makna jamak seperti para, beberapa, sejumlah, banyak, atau segala. Dalam surat kabar masih ditemukan penggunaan bentuk jamak dengan pengulangan atau penambahan kata yang dilakukan secara bersamaan seperti beberapa rumah-rumah yang membuat suatu kalimat menjadi tidak efektif

Berbahasa Yang Baik dan Benar Sejak Usia Dini
Bahasa menjadi komponen utama dalam proses komunikasi manusia, bahkan makhluk lainnya. Sedangkan komunikasi juga merupakan unsur yang sangat penting dalam proses kehidupan manusia, bahkan makhluk lainnya. Bahasa mencerminkan bangsa, demikian kata pepatah. Hal itu mengindikasikan bahwa demikian strategis fungsi bahasa dalam tatanan berkehidupan, khususnya berbangsa dan bernegara. Bahasa ditunjukkan oleh seorang penutur bahasa.

Dalam tulisan Rudi Maryati, Guru TK Islam Al-Azhar 21 Pontianak, berjudul ‘Berbahasa Yang Baik dan Benar Sejak Usia Dini’ menerangkan untuk menjadi seorang penutur bahasa yang baik tentu ia perlu mengindahkan unsur-unsur berbahasa yang baik dan benar. Dan untuk seorang penutur yang baik, ia perlu memelihara pemakaian bahasanya dalan kaidah yang baik dan benar. Bahkan untuk seseorang yang mampu berbahasa secara efektif diperlukan serangkaian mata rantai yang panjang sejak seseorang tersebut berada di bangku sekolah awal. “Di sinilah dibutuhkan peran pendidik bahasa yang menguasai teknik pengajaran berbahasa yang baik dan benar,” tegasnya.

Sejak usia dini seseorang telah mampu diberikan masukan pendidikan proses berbahasa yang baik dan benar. Seiring dengan waktu, proses pemeliharaan bahasa bukanlah materi pendidikan yang teory ansih atau murni teori. Namun melalui proses mendengar, menjawab, berpendapat dan menirukan kata-kata baru membantu anak mulai mengenal bahasa yang baik.

Dalam tingkat struktural di lingkup keluarga dan sekolah disebutkan agama buruk akibatnya dan tidak akan membantu dukungan. Bagi calon ini prigram jauh lebih penting dan lebih menarik. Sebagai ruang bagi public media menyediakan diri menampung isu tersebut, baik dari sudut penerimaan maupun penghujatan. Makalah ini membahas kedudukan media massa di Kalimantan Barat dalam promosi dan menolak isu etnisitas dan agama di Kalimantan Barat. Tiga media utama di Kalbar dijadikan sebagai perbandingan, yaitu Pontianak Post sebagai media utama yang dikenal softly, Harian Equator sebagai pembanding yang dikenal ‘lugas’ dan Borneo Tribune sebagai media ‘alternatif’

Sabtu, 15 Desember 2007

Melihat Rumusan Temu Tokoh Budaya Kalbar

Kebijakan Pemda Sering “Korbankan”
Sektor K
ebudayaan

Keberadaan warisan budaya saat ini perlu dibangkitkan. Tindakan ini dilakukan sebagai jawaban atas mulai memudarnya kebudayaan daerah akibat tergerus arus modernisasi. Untuk dapat melestarikan kebudayaan, diperlukan kesadaran dari para pemilik kebudayaan itu sendiri, pemerintah serta lembaga non pemerintah. Namun sayang, persoalan-perosalan dasar ini terkadang diabaikan oleh pemerintah. Parahnya lagi, pemerintah melalui kebijakannya malah sering “mengorbankan” sektor kebudayaan. Benarkan demikian?
Catatan Pringgo—Pontianak

KEBUDAYAAN merupakan produk warisan leluhur yang berfungsi menata kehidupan manusia di sekarang dan akan datang. Ia lahir sebagai sebuah proses perpaduan antara nilai-nilai lama dan baru yang berlangsung secara terus menerus. Kesamaan persepsi ini tertuang dalam seminar yang digelar Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak, 31 Oktober-1 November di Hotel Kini. Adapun tema yang diangkat adalah “Upaya Mmenumbuhkan Kesadaran dan Kepedulian Terhadap Pelestarian Warisan Budaya”.

Dalam acara pertemuan para tokoh Kalbar tersebut, Tim Perumus mencatat adanya beberapa kesepahaman. Tim Perumus itu sendiri beranggotakan Rousdy Said, S.H, M.S, Drs.H. Soedarto, Wilis Maryanto, S.H dan Drs. Gusti Suryansyah, M.Si. Kesimpulan yang diraih antara lain meliputi penciptaan keserasian hubungan antara unit sosial dengan budaya, yang dalam praktiknya memerlukan dialog antar-budaya secara terbuka dan demokratis.

Disamping itu, Peningkatan penegakan hukum untuk menciptakan rasa keadilan dan kebenaran antar unit budaya dan antar unit sosial juga perlu dilakukan. Beberapa kekhawatiran dari para tokoh diprediksi bakal terjadi di Kalbar terimplikasi dalam wujud trabaikannya situs-situs budaya yang ada, antara lain karena kepentingan maupun desakan pembangunan ekonomi. Kearifan Lokal yang semakin kurang mendapatkan perhatian, baik dari pemerintah maupun masyarakat itu sendiri.

Penjualan benda-benda budaya, oleh pemerintah atau ahli waris karena tekanan kesulitan ekonomi. Kurangnya “Concern” pemerintah terhadap persoalan-persoalan budaya. Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah sering “membawa korban” bagi sektor kebudayaan. Fasilitas terhadap (dan untuk) kepentingan pelesatrian nilai-nilai dan warisan budaya tidak jelas pengatruan dan dukungan pembiayaannya. Pelaku budaya daerah yang makin lama makin berkurang. Hilangnya nilai-nilai yang melekat dalam wujud dan unsur budaya yang diwariskan.

Disisi lain, para tokoh juga melihat adanya kerancuan dalam penanganan urusan kebudayaan. Hal ini terjadi karena banyaknya lembaga birokrasi yang menangani persoalan kebudayaan sehingga terjadi tumpang tindih dalam tugas dan fungsi. Sehingga berdampak pada perencanaan dan penyediaan anggaran untuk sektor kebudayaan.

Diperlukan kerja sama lintas sektoral dalam upaya pembinaan, pelestarian dan pengembangan budaya daerah.

Pemerintah dan masyarakat harus secara sadar mengangkat menunjukkan citra positif dari keberadaan keraton tentang budaya luhur bangsa Indonesia yang berperadaban adiluhung dengan dimulainya langkah melestarikan nilai-nilai budaya lokal yang ada di keraton maupun lembaga adat.

Ditilik dari sifatnya, warisan budaya yang bersifat Tangible (benda) dan Intangible (takbenda), selama ini telah menjadi korban dari kekurang pedulian, kekurang perhatian, serta kekurang berpihakan dari masyarakat, institusi dan pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Harusnya, Pemda beserta masyarakat mampu menindaklanjuti kebijakan-kebijakan yang bersifat nasional untuk kepentingan daerah.

Waktunya Seni Budaya Memiliki Payung Hukum
Dalam temu tokoh Kalbar yang diadakan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Pontianak, sebuah kesepakatan telah terlahir dalam melestarikan seni dan budaya daerah. Konkretnya, upaya pelestarian kebudayaan kedepan memerlukan payung hukum berbentuk Perda. Sebelum semuanya hilang, sedari dini para pewaris kebudayaan harus sudah melakukan upaya pelestarian. Agar sistematis, semua diawali dengan tindakan pemetaan, identifikasi dan inventarisasi institusi adat atau budaya, situs kesejarahan, nilai-nilai budaya yang berkembang dan masih dilestarikan dalam masyarakat, bentuk dan jenis kearifan lokal dan sebagainya.

Sebagaimana diungkapkan oleh Kepala BPSNT Pontianak, Dra Lisyawati Nurcahyani MSi, upaya pelestarian kebudayaan memerlukan campur tangan dari “pengemban budaya”, baik pemerintah maupun non pemerintah secara sadar dan konkret. Di level pemerintahan, perlu dilakukan tindakan sinkronisasi program-program pembinaan budaya dan pewarisan nilai budaya yang ada pada berbagai instansi.

Sebagai langkah awal, tidak ada salahnya apabila dilakukan inventarisasi nilai-nilai budaya dan penumbuhan kesadaran budaya melalui program-program pendidikan pada semua tingkat, jenis dan jenjang pendidikan. Guna lebih mendukung tercapainya hasil yang optimal, pengalokasian anggaran di bidang pelestarian budaya sangatlah diperlukan. Selain itu, birokrasi kepemerintahan (eksekutif) diharapkan bisa menata kembali lembaga-lembaga pemerintah yang menangani persoalan pembinaan kebudayaan, pengembangan dan pelestarian warisannya, demikian pula program-program yang ada demi efisiensi dan efektivitas pendanaan dan dukungan anggaran.

Harapan sama ditujukan pula pada adanya pemahaman akan aksi serta dukungan dalam bentuk pemikiran, perencanaan, implementasi dan penyediaan dana yang optimal dari APBN dan APBD serta sumber-sumber yang lain. “Dari kegiatan temu tokoh yang kami gelar, akhirnya dicapai empat rekomendasi penting,” katanya.

Adapun rekomendasi yang dimaksud, pertama dalam rangka membentuk Kebudayaan sebagai suatu konstruksi yang dapat membimbing manusia untuk hidup bermartabat, serta pengembangan sistem informasi dan peningkatan sumber daya manusia pengelola kekayaan kebudayaan, tahun depan diperlukan adanya kongres kebudayaan. Forum ini nantinya akan membahas dan menyepakati hal-hal yang sifatnya prinsipil, seperti kesepakatan dalam melakukan pembinaan, pengembangan, pelestarian budaya yang berbasis pada kearifan lokal yang nantinya dikemas dalam bentuk pembinaan dan pelestarian budaya daerah.

Kedua, pewujudkan Perda tentang pelestarian budaya. Produk hukum ini nantinya akan menjadi penujuk arah bagi Pemprov Kalbar dalam menetapkan kebijakan seputar upaya pelestarian budaya di daerah. Ketiga, kepala daerah--Gubernur, Bupati dan Walikota--diharapkan bisa melaksanakan dan memberikan dukungan penuh dalam setiap kegiatan pelestarian dan pengembangan budaya daerah, sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 39 Tahun 2007 tanggal 21 Agustus 2007 tentang pedoman fasilitasi organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan, keraton dan lembaga adat dalam pelestarian dan pengembangan budaya daerah.

Keempat, diperlukan kerjasama antar instansi yang berkompeten (BPSNT Pontianak, Universitas Tanjungpura, STAIN Pontianak dan perguruan tinggi lain, organisasi kemasyarakatan yang konsen di bidang kebudayaan, keraton dan lembaga adat, media massa, dan lembaga hukum dan HAM) dalam menggali, mengembangkan dan melestarikan budaya daerah dalam bentuk pengkajian atau penelitian di bidang kebudayaan daerah yang dituangkan dalam Kesepakatan Bersama.

Lisyawati juga menambahkan keempat rekomendasi ini dalam waktu dekat akan disampaikan kepada Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Gubernur Provinsi Kalimantan Barat, Bupati/Walikota se-Kalimantan Barat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Barat, Universitas Tanjungpura, STAIN Pontianak, Forum Silaturahmi Keraton Nusantara Wilayah Provinsi Kalimantan Barat, pengurus lembaga-lembaga atau paguyuban-paguyuban etnis se-Kalimantan Barat.

Menilik Simpul Sosiokultural di Kerajaan Mempawah

Primordialisme Gaya Baru Mulai Bermunculan

Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini tengah dihadapkan dengan persoalan disintegrasi bangsa. Menyadari akan adanya ancaman disintegrasi bangsa tersebut, pemerintah bersama masyarakat bersatu padu untuk mempererat persatuan dan kesatuan melalui peranan nilai tradisional. Tapi sayang, ditengah upaya merajut kesamaan visi dan misi itu ternyata muncul sebuah fenomena primordialisme gaya baru. Seperti apa wujudnya, berikut Dr. Ir. Pangeran Ratu Mardan Adijaya, MSc dari Istana Amantubillah Mempawah, memaparkannya.

Catatan Pringgo—Pontianak
KEHIDUPAN masyarakat Kalimantan Barat di jaman kerajaan yang silam terbilang sangat harmonis. Pola hidup saling hormat menghormati ini terus berkembang hingga ke Negara Bagian Sabah dan Sarawak (Malaysia) serta Brunei Darussalam. Seiring dengan perkembangan jaman, semangat yang diwariskan para leluhur itu kian lama kian memudar.

Puncak dari pergerusan budaya ini terjadi ketika bangsa Indonesia dilanda badai kerisis moneter di tahun 1998. Akibat dasyatnya kerisis berkepanjangan ini, lama kelamaan krisis moneter berubah bentuk menjadi krisis multi dimensi. Ditengah kondisi bangsa yang morat-marit tersebut, stagnansi dalam kehidupan masyarakat pun terjadi. Karena merasa tak kuat menanggu tekanan hidup, masyarakat menjadi galau sehingga berakibat pada munculnya fenomena kekeraan dan main hakim sendiri (social violent).

Disisi lain, memanifestasikan ekspresi masyarakat terhadap ketidak-percayaannya terhadap sistem keadilan hukum, sosial dan ekonomi yang terjadi sebelum dan pada saat reformasi itu berlangsung. Masyarakat kehilangan rasa aman, sebagai konsekuensi logisnya, mereka menciptakan rasa aman itu dengan cara mengkristalisasikan dirinya dalam kelompok-kelompok yang memiliki ciri homophilis (banyak kesamaan), terutama

Kondisi yang demikian dipandang sebagai dampak negatif dari reformasi dan otonomi daerah. Walhasil, fenomena ini dianggap sebagai sebuah euphoria demokrasi. Situasi tampak semakin buruk manakala kelompok-kelompok primordial gaya baru mulai bermunculan. “Indikasinya dapat terlihat dari terbentuk kembali ikatan paguyuban (gemeinschaft) di lingkungan masyarakat perkotaan (urban area) yang mengacu pada primordialisme. Sementara di perkotaan sendiri (yang notebene mencerminkan modernisasi) muncul kelompok-kelompok patembayan (gesselschaft) yang lebih mengacu pada profesionalisme,” jelas Mardan.

Kendati tampak berseberangan, lanjutnya, namun secara struktur sosial tercipta sebuah keselarasan nilai, antara unsure tradisionalisme dan modernisme. Keduanya mampu hidup berdampingan dalam struktur masyarakat, baik dalam fisik maupun psikis.

Masyarakat sekarang lebih menginginkan adanya sentra-sentra sosial dan budaya yang bisa mengikat secara lebih natural. Secara histories, sentra-sentra sosial budaya (simpul sosio-kultural) itu diaktualisasikan kedalam bentuk Istana atau Keraton. Istana Amantubillah di Mempawah, misalnya. Keberadaan istana ini merupakan simpul dari sosiokultural kemasyarakatan. Di Kalbar, kehadiran istana merupakan perwujudan dari sentra budaya daerah. Disebut demikian karena Istana Amantubillah di Mempawah memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan keraton-keraton lain yang ada di Jawa atau Bali.

Di Kalimantan Barat, kata Mardan, tidak dikenal adanya budaya dominan, sehingga pola interaksi masyarakatnya cenderung kepada proses amalgamasi. Sejarah berdirinya keraton-keraton tersebut bila dikaji lebih jauh, mencerminkan suatu amalgansi budaya dari berbagai etnis besar yang ada di nusantara serta dari luar. Contoh kasus, Istana Amantubillah dulunya merupakan pusat Kerajaan Mempawah (Kalimantan Barat). Keraton/istana lain yang ada di Kalimantan Barat pada umumnya mempunyai banyak kesamaan dalam adat-istiadatnya. Dan yang lebih menarik adalah kenyataan antara satu kerajaan dengan kerajaan lainnya ada keterkaitan kekerabatan. Raja-raja yang pernah memerintah di Istana Amantubillah adalah keturunan dari berbagai etnis, bukan dari latar belakang satu etnis seperti kerajaan kebanyakan.

Lahir Dari Keberagaman Warna Budaya
Sebagai gambaran dapat dilihat dari ringkasan silsilah Kerajaan Mempawah. Raja Mempawah pertama Panembahan Adijaya Kesuma Jaya, adalah anak dari Pangeran Mas Surya Negara (Opu Daeng Menambon) dari etnis bugis dan Ratu Agung Sinuhun (Ratu Kesumba) anak dari sultan Zainuddin yang berdarah Majapahit dan Mas Indrawati yang berdarah dayak dan melayu. Kemudian kalau dicermati lebih lanjut, terlihat raja-raja dan kerabat-kerabat istananya, sangat terbuka dalam hal memilih pasangan hidup ; dari Jawa, Sunda, Arab, Cina, dll. Sehingga darah keturunan mereka sangat beragam, tidak dapat dikatakan lagi hanya berdarah bugis dan melayu. Hal ini dapat dikatakan sebagai kepiawaian Opu Daeng Menambon (keturunan raja bugis dari kerajaan Luwu’ Sulawesi Selatan) beserta empat orang adik beradiknya (Opu Daeng Perani, Opu Daeng Marewa, Opu Daeng Chelak dan Opu Daeng Kemaseh) dalam mengimplementasikan sistem nilai budaya diplomasi yang dianutnya.

Kepiawaian mereka inilah yang membuat mereka terkenal di seantero kerajaan bagian barat nusantara, termasuk di daerah semenanjung Malaysia, Malaysia Timur dan Kamboja. Sebagai perantau dari tanah bugis (Sulawesi Selatan), Opu adik beradik memegang prinsip telu’ pacak (tiga ujung) sebagai bekal dalam berinteraksi dengan orang lain di tempat yang mereka kunjungi. Tak dapat dipungkiri bahwa keberanian dan ketangguhan dalam ilmu kemaritiman, serta keteguhan pada prinsip tiga ujung diataslah, yang pada akhirnya memperluas tali silaturrahmi/kekerabatan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dengan kerajaan-kerajaan lainnya diseantero nusantara. Hasil dari penerapan tiga ujung oleh Opu lima beradik, menjadikan hubungan perdagangan, pertahanan dan keamanan bersama yang kuat pada kerajaan-kerajaan di kawasan tersebut, seperti Riau, Selangor, Johor, Sambas, Pontianak, Batavia, Jawa, Banjar dan Sulawesi Selatan.

Adapun uraian dari tiga prinsip di atas dapat dipaparkan secara ringkas sebagai berikut. Ujung pertama merupakan ujung lidah, dimana dalam berhubungan dengan orang lain (seperti perdagangan dan perluasan wilayah gerak) diutamakan cara diplomasi. Bilamana cara diplomasi tidak memberikan hasil yang memuaskan, maka cara kedua yang ditempuh ujung laso (kemaluan lelaki), yaitu mempertautkan dua kerajaan melalui ikatan perkawinan. Hal tersebut juga berlaku pada sebagian besar raja-raja di nusantara pada saat itu, sehingga tidaklah mengherankan bila raja beristrikan lebih dari satu orang. Bilamana cara diplomasi dan cara perkawinan tidak juga memberikan hasil, barulah ujung badik (peperangan) sebagai cara terakhir dalam menyelesaikan perkara; cara-cara kekerasan dipilih sebagai jalan terakhir.

Simpul Sosiokultural Hadir di Kerajaan Mempawah
Adat dan budaya yang diwariskan secara turun-temurun merupkan kekayaan yang tak ternilai harganua. Berbahagialah lingkungan Istana Amantubillah khususnya, serta istana atau keraton lain pada umumnya yang masih memegang teguh amanah dari para leluhur. Di istana yang satu ini, adat serta budayanya merupakan hasil amalgamasi dari etnis Melayu, Bugis, Dayak, Arab, Jawa, dll. Hal ini dapat diungkapkan dari berbagai upacara adat dan keseniannya, pola interaksi yang dianut dan benda hasil karya atau peninggalan sejarahnya.

Keanekaragman warna budaya ini tersaji dalam upacara adat buang-buang atau tolak bala. Upacara ini dilakukan dengan sarana telur mentah yang telah diolesi minyak ‘bau’(khas bugis), sirih seleka dan beberapa perlengkapan lainnya yang dilarung (dihanyutkan) di sungai, bukanlah murni kebudayaan bugis. Maksud dari upacara buang-buang ini adalah untuk tolak bala juga serta mengingat keberadaan saudara “buaya” yang merupakan anak keturunan panembahan Senggaok atau juga dikenal sebagai Panembahan Kudong/Tak Berpusar (Dayak) dengan Ratu Buaya yang bermukim di Lubuk Sauh (Sungai Mempawah).

Adapun tujuannya adalah untuk pemberitahukan kepada yang hidup dan para leluhur tentang niat dari si pemilik acara. Ketika acara pernikahan, misalnya. Malam hari sebelum acara pernikahan dimulai, biasanya oleh para orang tua dilakukan upacara Buang-Buang. Di tanah Jawa, upacara serupa dikenal dengan nama Malam Widodaren. Adat ini juga berlaku ketika upacara sunatan atau pengukuhan gelar kebangsawanan. “Adat Buang-Buang ini merupakan campuran adat Melayu dan Bugis,” jelas Dr. Ir. Pangeran Ratu Mardan Adijaya, MSc dari Istana Amantubillah Mempawah.

Dilihat dari sudut pandang seni suara, seni musik serta seni pentas, Istana Amantubillah mempunyai kaitan dengan unsur budaya tanah Arab, seperti Berzanji (cerita Nabi Muhammad yang didendangkan) serta permainan Hadrah dengan alat musik tar atau rebana. Unsur budaya Jawa terlihat pada adanya perangkat musik Senenan (sejenis gamelan dan gendang). Sementaraa unsur budaya Melayu terdapat alat musik Tanjidor.

Untuk seni panggung, dikalangan Istana Amantubillah Mempawah dikenal Mendu. Seni drama ini dikemas dalam bentuk komedi yang berlatarbelakang sejarah, peristiwa atau hayalan. Mendu ini merupakan seni panggung yang lahir dari perpaduan unsur budaya Melayu-Bugis, Cina dan lainnya. Hal yang sama Seni juga terjadi pada seni beladiri.

Manunggal Dalam Cipta, Rasa dan Karsa
Sikap tenggang rasa dan kekeluargaan di antara keluarga Istana Amantubillah dan masyarakat Mempawah terbilang sangat kental. Pada prinsipnya tiga etnis utama yang bermukim pada masa Kerajaan Mempawah (Dayak, Melayu dan Bugis) mempunyai akar budaya yang hampir sama.

Sebagai contoh ungkapan “laut berpagar pasir ,darat berpagar adat” menunjukkan kepatuhan terhadap adat dan “tak pernah lengkang de’panas, tak pernah lapuk de’ ujan“ menunjukkan tekad harus berhasil mencapai cita-cita adalah dari etnis dayak di Mempawah hulu; “tidak sekali-kali adat orang mati dua kali, jika sudah habis dianya punya perkara” menunjukkan kesabaran sudah habis bila terus ditekan. “kau jual, aku beli” menunjukkan kita tidak memulai permusuhan, namun bila orang lain memulai maka dilayani, dan “ biar pecah diperot, jangan pecah dimulot” menunjukkan kemampuan dalam menyimpan rahasia antara dua pihak yang sepakat. Semuanya itu berasal dari khasanah sastra Melayu; ungakapan “sekali layar terkembang, surut kita berpantang” menunjukkan dalam meraih cita-cita tidak ada kata mundur, dan “mati jua yang tenang setelah gugur nekat. Yang nekat mati jua, yang tenang mati jua, maka lebih baik mati nekat” merupakan bagian hukum siri’ dalam mempertahankan harga diri berasal dari etnis Bugis.

Sebagai kelengkapan adat, Istana Amantubillah memiliki berbagai jenis senjata tradisional, mulai dari meriam yang “dikeramatkan” yakni Sigondah dan Raden Mas beserta derivasinya ‘anaknya’, tombak, keris dan pedang bergaya melayu dan jawa, cudik dan badik bergaya bugis, sumpit dan mandau bergaya dayak, meriam VOC dan payung kebesaran bergaya campuran budaya. Dari segi peninggalan/situs sejarah, ada makam/kuburan raja dan kerabat istana serta para panglima dan prajurit, jelas terlihat dari nama – namanya, mereka berasal dari berbagi etnis tersebut diatas, misalnya Makam Lo Wai Pak dan Lo Tai Pak sebagai Panglima Perang dari Etnis Cina; Makam Panembahan Senggaok, Patih Gumantar, dan Panglima Itam (Puang Sompu) dari suku Dayak; Makam Damar Wulan dan Wulan Durejo (puteri) dan Syekh Salim Hambal (adik Pangeran Samber Nyawa), dari Jawa; Makam Karaeng Siti Fatimah, K.Talibe, K.Parewang dan K.Pareweng dari Bugis; Makam Panglima Imam Kulat dan Sigentar Alam dari Melayu;

Makam Pangeran Yusuf dari Palembang; Makam Aji Muhammad Saleh dari Kutai Kertanegara; Makam Syayid Al Habib Husin Al – Qadri ( Besannya Opu Daeng Menambon) dan rekannya Syeikh Ali bin Fakih al Fatani yang merupakan penyebar (guru besar/mufti) agama Islam dari Arab dan Thailand Selatan, dan masih banyak lagi makam –makam lainnya.

Keberadaan tahta kerajaanpun dari masa – masa menurut Mardan merupakan hasil dukungan luas dari masyarakatnya yang nota–bene dari berbagai etnis. Peristiwa penyumpahan di tepi sungai lubuk gundul pada jaman Panembahan Adijaya Kesuma Jaya, yang intinya pengakuan setia kepada Raja Keturunan Patih Gumantar oleh 14 Binua Mempawah Hulu (saudara suku Dayak), yang diikuti kehendak rakyatnya merebut kembali kekuasaan dari Belanda, yang hendak di kembalikan kepada Rajanya yang Sah (Panembahan Adijaya Kesuma Jaya), merupakan contoh Kemanunggalan (kesatuan) rakyat dan Rajanya. Kemudian peristiwa pengukuhan Panembahan terakhir ( Pangeran Gusti Jimmi Mohammad Ibrahim), merupakan desakan dari para temenggung Dayak dan tokoh masyarakat Melayu-Bugis, setelah mereka kehilangan Panembahan Thaufik Acchamadin yang terbunuh oleh kekejaman tentara Jepang.

Demikian pula dengan prosesi penobatan kembali raja–raja/pemangku adat di seluruh Istana/Keraton di Kalbar saat ini, lebih dikarenakan oleh keinginan dan kebutuhan masyarakat sekitar istana/kraton, yang menghendaki adanya tokoh panutan dan “tempat bertanya” terhadap permasalahan keseharian yang mereka hadapi. Sebagai sentra sosial-budaya, keberadan Istana Amantubillah diharapkan dapat menjadi centripetal force (kekuatan pengikat) dalam rangka mengakomodir berbagai kepentingan kelompok primordial. Sekaligus meredusir sisi negatif akibat munculnya kembali fenomena kelompok–kelompok primordial tersebut. “Jadi yang ingin kami tegaskan disini, disamping ada kesamaan mendasar fungsi istana/kraton di Jawa dan Luar Jawa, khususnya di Kalimantan Barat, yakni sebagai “kiblat” sosio-kultural dan symbol pemersatu masyarakat, juga terdapat perbedaan yang substansial yakni kalau di Jawa terdapat budaya dominan, maka di Luar Jawa, khususnya di Kalimantan Barat adalah budaya amalgamasi yang perlu dikelola secara lebih arif,” terang Mardan.

Jumat, 14 Desember 2007

Hari Anti Korupsi Sedunia

Tahu atau Pura-Pura Tidak Tahu?

PONTIANAK—Hari Anti Korupsi Sedunia yang diperingati setiap tanggal 9 Desember sepertinya belum begitu memasyarakat. Di Kota Pontianak, momentum itu hanya diperingati dengan pemasangan spanduk, tanpa disertai aksi yang ‘menggigit’. Ini membuktikan bahwa masyarakat telah menganggap aksi pemberantasan korupsi hanya lips service semata.

Kegundahan ini disampaikan Prof. DR. Hj Redatin Parwadi, MA, pakar ilmu Koruptologi dari Fisip Untan, ketika menyikapi potret buram pemberantasan korupsi di Kalbar. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII), katanya, institusi kepolisian, parlemen, lembaga peradilan serta partai politik menduduki peringkat teratas sebagai lembaga terkorup di Indonesia.

Fakta ini menurut Redatin merupakan hal yang amat memprihatinkan. Lembaga yang seharusnya bersikukuh memberantas praktik korupsi ternyata diam-diam malah melakukannya. “Saya menilai saat ini masyarakat kita tengah dilanda krisis kepercayaan. Lembaga-lembaga yang dipercaya mampu membongar praktik busuk korupsi ternyata malah menghianati amanah yang diberikan rakyat,” ujarnya kepada Pontianak Post, Selasa (11/12) kemarin.

Akibat tergerusnya rasa kepercayaan rakyat tersebut, korupsi terasa semakin merajalela. Sebagian kalangan melihat korupsi sebagai praktik ‘pelacuran’. Disebut demikian karena semua pihak sama-sama merasakan kenikmatan. Korupsi juga diidentikkan dengan segerombolan tikus-tikus berdasi yang sangat licik dan licin. Jerat hukum yang disediakan ternyata mampu dihindari dengan sangat mudah.

Gambaran yang lebih mengerikan terhadap korupsi di dengan lukiskan dengan penyakit kanker akut. Penyakit ini terbilang sangat sulit disembuhkan karena telah mengakar hingga ke seluruh jaringan tubuh. Kalau sudah begini, masyarakat tentu beranggapan bahwa korupsi merupakan sebuah prilaku yang sulit untuk dihapuskan dari muka bumi.

Anggapan ini tidak selamanya benar. Redatin melihat bahwa korupsi sebenarnya bisa diberantas apabila semua pihak mau berkomitmen. Lewat ketegasan sikap yang dibentuk, korupsi pasti bisa diberantas. Caranya cukup sederhana, yakni tanamkan sedini mungkin perinsip hidup jujur. “Mulailah dari lingkungan terkecil, seperti keluarga, kemudian meluas ke lingkungan hidup kemasyarakatan serta lingkungan kantor,” terang alumnus S3 Pascasarjana UGM Yogyakarta tahun 2002 ini.(go)

Pontianak Post Crew


Foto bareng Kapolda Kalbar Brigjen Drs Zainal Abidin Ischak di depan Graha Pena Pontianak Post Group

Kamis, 13 Desember 2007

Waktunya Kembali ke Sapta Pesona

Catatan Pringgo—Pontianak

Pemerintah pusat sepertinya semakin serius dalam menata kembali wajah dunia pariwisata nasional dan daerah. Lewat optimalisasi gerakan ‘Sadar Wisata’, seluruh pihak yang terkait diajak untuk kembali mengamalkan ‘Sapta Pesona’. Kesimpulan ini berhasil diperoleh setelah diadakan workshop kampanye nasional sadar wisata di Bandung, 24 November lalu. Seperti apa hasil rekomendasinya?

PERAN pariwisata sebagai salah satu penggerak utama pembangunan nasional memang tak terbantahkan. Lewat jalur pembangunan yang satu ini, ketergantungan terhadap sektor unggulan terdahulu, minyak dan gas bumi, perlahan akan mulai tergantikan dalam perolehan devisa nasional. Disebut demikian karena pariwisata merupakan sektor yang tidak akan habis di eksplorasi dan di eksploitasi.

Secagai contoh, dengan pembangunan di sektor kepariwisataan maka secara tidak langsung akan meningkatkan pendapatan daerah serta kesejahteraan masyarakat. Artinya, peran pariwisata sangat strategis dalam penciptaan peluang usaha, penyerapan tenaga kerja dan instrumen pemerataan pembangunan.

Menurut Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kalbar, Rihat Natsir Sillahi, pariwisata juga bisa berfungsi sebagai perekat semangat nasionalisme, penyubur kebanggaan identitas, serta instrumen pengendalian dan pelestarian lingkungan. “Karakteristik sektor pariwisata ini sifatnya multisektoral, multi regional dan multi stakeholder,” jelasnya terbuka.

Untuk bisa menggapai cita-cita yang telah digariskan tersebut, workshop kampanye nasional sadar wisata mengamatkan pentingnya perwujudan ‘Sadar Wisata’ sebagai prasyarat utama bagi tumbuh dan berkembangnya kegiatan pariwisata, baik di daerah maupun di tingkat nasional, serta pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan kepariwisataan nasional. Adapun modal dasar yang diperlukan adalah terciptanya suasana keamanan, keselamatan, ketertiban dan kesehatan. Modal dasar ini nantinya akan menjadi nilai jual bagi pengembangan dan pertumbuhan daya saing kepariwisataan suatu negara, termasuk Indonesia.

Dikatakan Rihat, berdasarkan hasil pelaksanaan workshop kampanye nasional sadar wisata di Bandung, setidaknya ada beberapa hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan. Adapun kesimpulannyameliputi pengembangan sadar wisata membutuhkan komitmen, koordinasi, dukungan dan peran serta dari semua pemangku kepentingan, baik di tingkat pusat, daerah maupun swasta dan masyarakat.

Kampanye sadar wisata mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam rangka peningkatan kinerja pembangunan pariwisata yang hasilnya bukan hanya peningkatan devisa dan pertumbuhan wilayah, namun yang lebih penting adalah terciptanya peningkatan kesejahteraan rakyat. instrumen yang sangat strategis digunakan untuk kampanye sadar wisata adalah perluasan makna dan re-interpretasi dari Sapta Pesona (Aman, Tertib, Bersih, Sejuk, Indah, Ramah dan Kenangan) terutama dalam perwujudan Kesejahteraan Rakyat melalui sektor pariwisata.

Pengembangan sadar wisata berdimensi ganda, yaitu memposisikan masyarakat bukan saja sebagai tuan rumah (pemangku kepentingan, pelaku dan penerima manfaat), akan tetapi juga sebagai wisatawan (guest) untuk mengenali dan mencintai tanah air.

Prasyarat yang sangat penting untuk disadari bersama dalam penciptaan Sadar Wisata melalui Sapta Pesona adalah tumbuhnya peran serta dan dukungan dari semua pihak dalam penciptaan keamanan dan keselamatan (safety and security). Kredibilitas dan kepercayaan merupakan faktor penting dalam memulihkan citra dalam rangka peningkatan daya saing destinasi pariwisata, terutama terkait dengan isu keamanan, keselamatan dan ketertiban.

Berangkat dari berbagai kesimpulan diatas, akhirnya direkomendasikan adanya upaya yang terus menerus untuk menumbuhkan kesadaran dan peran seluruh komponen masyarakat dalam mewujudkan Sapta Pesona, yang terdiri dari: Aman, Tertib, Bersih, Sejuk, Indah, Ramah Tamah, dan Kenangan, di seluruh wilayah nusantara, agar tercipta iklim yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya Pariwisata Indonesia yang makin berdaya saing.

Adanya langkah-langkah yang sistematik dan terpadu untuk menggerakkan motivasi, kemampuan, dan kesempatan bagi masyarakat untuk mengenali dan mencintai tanah air Indonesia. Adanya langkah yang konsisten, terarah dan terpadu untuk menggerakkan aktifitas kepariwisataan yang dapat memberikan nilai manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Menggalang dukungan program dari segenap unsur terkait dalam rangka mengembangkan Sadar Wisata secara Nasional.

Penggalangan dukungan penciptaan keamanan dan ketertiban di bidang pariwisata perlu dikembangkan dengan koordinasi intensif (reciprocal interdependence) antar sektor (Pemda, Polri, Depbudpar), penataan organisasi polisi pariwisata di tingkat satuan wilayah, serta secara bersama-sama mengoptimalkan peran Kepolisian dan memberdayakan kapasitas modal lembaga sosial masyarakat (misalnya: Pecalang, Pagar Negari) yang merupakan bagian dari kearifan budaya lokal.

2 nd Anniversary TC 125 Chapster Pontianak'07


Ulang Tahun Thunder Community 125 Chapster Pontinak, 18 Agustus 2007

Koruptologi, llmu Pengetahuan dan Kebijakan Pemberantasan Korupsi

Catatan Pringgo—Pontianak

Korupsi merupakan tindak kejahatan yang pada mulanya masuk dalam studi kriminologi. Namun, karena korupsi telah berkembang dan merupakan tindak kejahatan yang berbeda dengan kejahatan pada umumnya, maka diperlukan penelaahan yang lebih spesifik. Oleh karena itu, dengan pertimbangan kebebasan akademik, lahirlah sebuah cabang ilmu baru yang diberi nama "koruptologi" sebagai sempalan dari kriminologi. Seperti apa bentuk dari ilmu baru ini? Berikut ulasan dari Prof. DR. Hj. Redatin Parwadi, M.A, Guru Besar pada Fisip Universitas Tanjungpura.

Korupsi sekarang telah menjadi isu pembangunan dunia (global issue). Seirinng dengan bertambahnya waktu, korupsi cendrung menunjukkan peningkatan yang semakin meluas. Akibatnya, keberadaannya semakin mengancam eksistensi bangsa Indonesia. Untuk menanggapi kondisi demikian, penyelenggara negara seperti MPR, DPR, Pemerintah, dan lembaga tinggi lainnya terpanggil dengan memberikan komitmen yang tinggi terhadap pemberantasan korupsi. Komitmen tersebut diwujudkan dalam ketetapan, berbagai undang-undang, dan keputusan/instruksi presiden tentang pemberantasan korupsi. Pemerintah sendiri telah menetapkan tanggal 9 Desember sebagai Hari Pemberantasan Korupsi, dan diikuti dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No.5 Tahun 2004, tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Berangkat dari kondisi yang demikian, lahirlah koruptologi sebagai ilmu. Disebut demikian karena koruptologi telah memenuhi persyaratan ilmiah. Poedjawijatna (1982), menyatakan bahwa pengetahuan dapatdimasukkan ke dalam kategori ilmu, jika memenuhi beberapa sifat ilmiah yaitu: berobyek, bermetode, bersistem dan universal.

Koruptologi terdiri dari kata korupsi, corrupt, corruptus, yang berarti korupsi dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Koruptologi adalah ilmu pengetahuan sistematik yang menelaah korupsi dalam berbagai aspek, termasuk peraturan perundang-undanngan, dan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan mengenai korupsi.

Dilihat dari asal katanya, korupsi berasal dari bahasa Latin, corruptus yang berawal dari akar kata corrumpere yang berarti merusak dan menghancurkan (Amir Satoso, 2004), atau coruptio (Nurdjana, 2005), yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Di dalam bahasa Inggris, korupsi berasal dari kata corrupt, yang berarti jahat (Kamus Inggris-lndonesia, 1992). Dengan demikian pengertian korupsi dilihat dari asal katanya, berarti suatu tindak kejahatan yang mempunyai akibat kerusakan, kebobrokan, dan kehancuran.

Ditilik dari aspek definisinya, Syed Hussein Alatas (dalam Azra, 2004), mengartikan korupsi sebagai penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi (corruption is the abuse of trust in the interest of private gain).

Berdasarkan definisi tersebut menurutnya ada beberapa macam korupsi: 1) korupsi transaktif, yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan dua pihak dalam bentuk suap, dimana yang memberi dan yang diberi sama-sama mendapatkan keuntungan; 2) korupsi ekstortif, yaitu korupsi yang dilakukan dengan pemaksaan oleh pejabat, sebagai pembayaran jasa yang diberikan kepada pihak luar, si pemberi tidak ada alternatif lain; 3) korupsi investif, yaitu korupsi yang dilakukan seorang pejabat karena adanya iming-iming tentang sesuatu yang akan menghasilkan dimasa mendatang; 4) korupsi nepotistik, yaitu korupsi yang terjadi karena adanya perlakuan khusus bagi keluarganya atau teman dekat atas sesuatu kesempatan mendapatkan fasilitas; 5) korupsi otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat mendapat keuntungan, dengan jalan memberikan informasi kepada pihak luar yang sebenarnya harus dirahasiakan; dan 6) korupsi suportif, yaitu korupsi yang dilakukan secara berkelompok dalam satu bagian atau divisi dengan tujuan untuk melindungi tindak korupsi yang mereka lakukan secara kolektif.

Berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. UU Nomor 20 Tahun 2001, KPK menjabarkan tindak korupsi menjadi 7 kelompok dan diperinci lagi menjadi 30 jenis tindak korupsi dan Tindak Pidana Lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi berjumlah 6 jenis. Ke 7 kelompok tersebut adalah: Korupsi yang mengakibatkan kerugian negara (ada 2 jenis tindak korupsi); Korupsi yang berkaitan dengan suap-menyuap (ada 12 jenis tindak korupsi); Korupsi yang berkaitan dengan penggelapan dalam jabatan (ada 5 jenis tindak korupsi); Korupsi yang berkaitan dengan pemerasan (ada 3 jenis tindak korupsi); Korupsi yang berkaitan dengan perbuatan curang (ada 6 jenis tindak korupsi); Korupsi yang berkaitan dengan benturan kepentingan dalam pengadaan (ada 1 jenis tindak korupsi); dan Gratifikasi (ada 1 jenis tindak korupsi).

Koruptologi Sebagai Cabang Ilmu
Koruptologi sebagai cabang ilmu baru memenuhi syarat ilmiah berikut ini: Koruptologi sebagai ilmu pengetahuan harus berobyek. Ilmu pengetahuan membatasi pembahasan pada pokok soal tertentu sebagai obyek. Obyek koruptologi adalah perbuatan yang dikategorikan tindak korupsi, orang (manusia) yang melakukan tindak korupsi, dan masyarakat dimana pelaku korupsi berada.

Korupsi kini telah melanda negara diseluruh dunia. Korupsi bukan tindakan mencuri uang, tetapi lambat laun sudah merasuk ke dala mental, moral, tata nilai, dan cara berfikir, sehingga menimbulkar daya rusak yang luar biasa terhadap sikap, perilaku, dan nalar berfikir seseorang. Walaupun pemerintah dan masyarakat Indonesia sekarang sedang giat-giatnya memberantas korupsi, namun hasilnya belum sesuai dengan tuntutan rakyat. Pemberantasan korupsi terkesan seperti berjalan ditempat. Sangat menarik pendapat Faisal Jabar (Koran Tempo, 9 Agustus 2007), yang menyatakan: "Saya merinding membayangkan jutaan manusia ditangkap karena melakukan korupsi. Undang Undang Anti Korupsi merumuskan 30 jenis tindak korupsi. Bila Undang Undang Nomor31 Tahun 1999 konsisten ditegakkan, maka semua pegawai negeri sipil akan antre didepan penjara. Negara serta merta berantakan bila penegak hukum menerapkan ke-30 jenis korupsi itu". Lebih ekstrem lagi pernyataan Abdullah Hehamahua (dalam Koran Tempo, 9Agustus 2007) yang menyatakan: "Berdasarkan 30 jenis perbuatan korupsi yang ditetapkan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999, maka harus ditangkap 3,7 juta PNS, semua anggota DPR, DPRD, Presiden, Wakil Presiden, para menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, DirekturBUMN/BUMD, para Rektor, dosen, guru, pemimpin pesantren, dan mahasiswa".

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia telah sedemikian endemis, meluas seperti penyakit yang menghinggapi hampir seluruh masyarakat. Senayan yang seharusnya mem-back-up, ternyata didalamnya sedang dilanda gonjang-ganjing terjadinya korupsi, seperti diungkapkan dalam Sorga Para Korutor, dalam sub judul Bancaan Uang Rakyat di Senayan. Korupsi di Indonesia semakin menjadi-jadi, bergeser meluas ke daerah setelah manajemen pemerintahan berubah melalui kebijakan otonomi, dimana dana APBN sekitar 80% dialokasikan di daerah. Kekhawatiran saya dalam pemekaran suatu wilayah, adanya alasan tersembunyi yaitu ikut-ikutan berebut kueh nasional untuk dikorup. Hal ini, menyimpang dari tujuan utama otonomi yaitu mendekati kepentingan rakyat dan mempercepat pembangunan di daerah.

Dua pernyataan tersebut (Jabar dan Hehamahua) harus dimaknai bahwa korupsi di Indonesia sudah pada tahap yang mengkhawatirkan, dan perlu segera diberantas. "Sakitnya" bangsa ini akibat korupsi. Hal ini seperti diungkapkan Sjahrir (2004) bahwa korupsi di Indonesia saat ini seperti penyakit kanker pada stadium yang tidak bisa disembuhkan. Kita tinggal menunggu matinya sang penderita: Republik Indonesia tercinta. Pemberantasan korupsi di Indonesia sudah pada jalan yang benar. Perangkat lunak berupa peraturan perundang-undangan sudah disiapkan, demikian pula perangkat keras berupa organisasi dan lembaga yang menangani korupsi telah tersedia. Sistem dan mekanisme kerja sudah ditetapkan. Data terakhir di tahun 2007, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia, menunjukkan peningkatan dari tahun yang lalu. Berikut ini disajikan beberapa contoh korupsi yang terjadi dalam era reformasi. Di lembaga perbankan kasus korupsi yang menonjol adalah kerugian negara akibat BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) sebesar Rp.150 trillyun, Kasus korupsi paling akhir adalah pembobolan bank BNI sebesar Rp. 1,7 trillyun. Di legislatif dalam hitungan milliar, hampir seluruh DPRD (provinsi, kota, kabupaten) melanggar PP.110 Tahun 2000 (dana operasional dewan). Korupsi di legislatif ini telah menyeret seluruh anggota dewan di suatu provinsi, bahkan mantan ketua DPRD ada yang dihukum karena kasus korupsi. Di lingkungan eksekutif korupsi sudah berlangsung lama, antara lain kasus yang menonjol dilakukan oleh seorang kepala bagian di suatu kabupaten sebesar Rp. 36 milliar dan kasus korupsi yang sama telah menyeret seorang gubernur kepenjara. Di lingkungan yudikatif korupsi dilakukan dalam bentuk jual beli perkara, uang sogok untuk memperingan tuntutan dan hukuman. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa korupsi yang dilakukan oleh birokrat hanya merupakan bagian kecil yang muncul dari sebuah gunung es (korupsi).

Disamping korupsi dilakukan para pejabat negara, banyak kekayaan negara yang dicuri dengan jalan diselundupkan (pasir laut, bahan baker minyak, kayu, kekayaan laut, satwa langka, dan lain-lain), yang keseluruhannya mencapai jumlah Rp.300 trilliun setiap tahun, suatu jumlah yang luar biasa fantastis.

Penanganan Korupsi
Langkah penting dalam menangani korupsi adalah menetapkan kebijakan pemberantasan korupsi. Kebijakan yang dimaksud disini adalah kebijakan publik. Kebijakan publik diputuskan oleh lembaga-lembaga negara atau pemerintah suatu negara, karena masyarakat menghadapi masalah. Contoh: Kebijakan Pengentasan Kemiskinan dikeluarkan, karena masyarakat Indonesia menghadapi masalah kemiskinan. Pada saat ini, rakyat Indonesia sedang menghadapi masalah korupsi. Oleh karena itu, diputuskan Kebijakan Pemberantasan Korupsi. Dengan demikian, hakekat kebijakan adalah sebagai problem solver. Kebijakan publik menurut Anderson (1979), adalah rancangan program-program yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga dan pemerintah, untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di masyarakat. Senada dengan pendapat Anderson, Edwards dan Sharkansky (1978), mengartikan kebijakan publik sebagai suatu tindakan pemerintah yang berupa program-program pemerintah untuk pencapaian sasaran atau tujuan. Definisi terakhir mempunyai makna lebih sempit yaitu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, sedangkan pendapat Anderson lebih luas, selain kebijakan pemerintah, lembaga lain dapat mengeluarkan kebijakan yang akan menjadi acuan bersama dalam suatu program, misalnya MPR mengeluarkan ketetapan sebagai dasar penyusunan undang-undang yang dibuat DPR bersama Pemerintah.

Kebijakan Pemberantasan Korupsi di Indonesia, antara lain tertuang dalam UUD 1945; Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998, tentang Penyelenggara Negara Bebas Korupsi Kolusi, dan Nepotisme; UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Besih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; UU No. 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. UU No. 20 Tahun 2001, Keppres dan Inpres (Inpres 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi), serta peraturan perundangan-undangan lain sebagai pendukung.

Kebijakan pemberantasan korupsi mencakup dua aspek yaitu: pertama, pemberantasan atau penindakan terhadap kasus korupsi yang telah dan sedang terjadi melalui tahapan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai proses peradilan selesai; kedua, pencegahan yaitu usaha untuk menghalangi, bersifat tindakan berkesinambungan dengan tujuan untuk meminimalisir atau menghilangkan terjadinya tindak korupsi di kemudian hari. Pelaksanaan penindakan korupsi ditinjau dari aspek manajemen dapat dilakukan dengan menerapkan fungsi-fungsi manajemen. Menurut Terry (dalam Manullang, 2002), secara sederhana fungsi pokok manajemen terdiri atas: planning, organizing, actuating, dan controlling, yang biasa disingkat POAC. Demi kepentingan analisis, fungsi-fungsi tersebut dapat dibedakan seperti penjelasan berikut ini.

Planning (Perencanaan). Perencanaan adalah suatu kegiatan untuk memutuskan apa-apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian perencanaan bersifat futuristik. Pengorganisasian (Organizing). Fungsi pengorgani-sasian meliputi penyusunan lembaga, pengisian personil, pengaturan hubungan antara lembaga-lembaga, termasuk pembagian kerjanya. Prinsip organisasi yang penting dalam penindakan korupsi adalah pembagian kerja dengan membagi habis fungsi penindakan korupsi dalam lembaga yang telah dibentuk, menumbuhkan persepsi yang sama antar lembaga tentang visi dan misi penindakan korupsi, serta koordinasi.

Actuating (Pelaksanaan). Setelah perangkat lunak dipersiapkan, lembaga telah dibentuk, prosedur kerja ditetapkan, dan segala sumber daya disiapkan, langkah selanjutnya adalah tahap pelaksanaan. Obyek penindakan korupsi adalah tindakan (perilaku) yang dapat dikategorikan sebagai tindak korupsi sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Sebelum dilakukan pemeriksaan oleh lembaga lembaga pengawasan, terlebih dahulu disusun jadual kegiatan pemeriksaan, yang disebut Rencana Program Kerja Pengawasan Tahunan (RPKPT).

Pada saat ini, pemberantasan korupsi di Indonesia berada pada situasi yang kondusif. Indonesia telah mengalami perubahan penting menuju masyarakat yang dicita-citakan, yaitu komitmen seluruh rakyat untuk bersama-sama memberantas korupsi. Presiden dan kabinetnya mempuyai komitmen kuat dalam usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat, dengan salah satu program strategis pemberantasan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin berperan dengan dukungan instansi penegak hukum lainnya. Rakyat semakin berani untuk memperoleh informasi serta melaporkan dugaan adanya korupsi yang dilakukan oleh siapapun. Gerakan pemberantasan korupsi telah menjadi gerakan massal, dengan slogan-slogan yang selalu mengingatkan untuk tidak berbuat tindak korupsi, seperti Jangan Coba-Coba Korupsi, Berantas Tikus-Tikus Koruptor, Koruptor Identik Teroris, KoruptorTidak Layak Hidup di Indonesia, Korupsi adalah Kejahatan yang Harus Diberantas.Pada saat ini pemberantasan korupsi memang mengedepankan tindakan represif, tetapi untuk kepentingan jangka panjang tindakan preventif sangat penting, mengingat bahwa korupsi di Indonesia sudah merambah dalam segala aspek kehidupan. Seperti yang dijelaskan Ismawan (1999) bahwa korupsi yang menjamur, oleh banyak pihak dipercaya sebagai budaya. Oleh karena itu, dalam pencegahannya harus ada visi preventif, berupa usaha perubahan orientasi prinsip kehidupan dari materialistis menuju kebahagiaan berdasar agama.